Pages

Monday 16 May 2011

Tata Cara Tilang Lalu Lintas

ebagian dari masyarakat banyak yang belum tahu bagaimana kalau mereka di tilang oleh anggota Polisi Lalu Lintas di jalan raya, ada yang sebagian tidak rela apabila mereka di tilang, ada yang pasrah atau ikhlas dan ada pula yang tak mau ambil pusing yaitu selesai ditempat (dengan jalan damai).
Sampai sekarang banyak masyarakat bertanya-tanya apa yang harus dilakukan apa bila sudah di tilang oleh Polisi, hal yang menarik untuk di ketahui oleh kalangan masyarakat kita ! Salah satu yang perlu di ketahui adalah tilangan yang diberikan diantaranya :

1. Tilang berwarna MERAH, yaitu Pelanggar harus akan diberikan sanksi untuk mengikuti sidang di Pengadilan Negeri setempat dimana Polisi tersebut menuliskan tanggal Sidangnya kapan akan dilaksanakan untuk mengambil Barang Bukti Tilang, contohnya saja ; "Penilangan terjadi diwilayang Tangerang berarti Pelanggar harus mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Tangerang". yang selanjutnya setelah melaksanakan sidang pelanggar harus membayar Denda yang tertera pada Tilang sesuai dengan Pelanggaran, dan pelanggar di perbolehkan mengambil Barang Bukti setelah membayarnya.
2. Tilang berwarna BIRU, yaitu pelanggar Lalu lintas akan diberikan sanksi Denda dimana pembayaran Denda dilakukan di Bank yang telah ditunjuk seperti Bank BRI. Setelah Pelanggar membayar Denda di Bank, akan diberikan bukti pembayaran selanjutnya pelanggar membawa bukti pembayaran tersebut membawa ke Kantor Polisi setempat sesuai dengan wilayah hukum terjadinya pelanggaran, sebagai contoh Pelanggar terjadi di wilayah Kota Tangerang maka mengambilnya Barang Buktinya di Polres Metro Tangerang.

Hal baru yang perlu diketahui bahwa apabila Pelanggar belum juga menebus Barang Bukti tersebut, Barang Bukti akan di serahkan ke Kejaksaan Negeri wilayah. Di sana pelanggar akan diberikan sanksi lebih berat salah satunya Denda yang akan di bayar lebih besar dari Jumlah Denda sesuai Pasal yang mengaturnya. Jadi sebagai masyarakat yang baik dan taat terhadap Hukum kita harus mengerti mau mengikuti Prosedur hukumnya pula, baiknya tidak melakukan Pelanggaran Hukum walaupun itu tidak seberapa sanksi.

Thursday 5 May 2011

Analisa Alat Bukti Elektronik di dala Sidang

Dalam praktik hukum, penggunaan alat perekam dan hasil rekaman telah merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana. Di dalam KUHAP tidak diatur mengenai hasil rekaman sebagai alat bukti (Pasal 184) kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditegaskan, setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun (Pasal 40) kecuali untuk keperluan proses peradilan pidana rekaman pembicaraan melalui jaringan telekomunikasi tidak dilarang (Pasal 42 ayat [2]).
Penegasan dibolehkannya penggunaan rekaman itu diperkuat dengan ketentuan bahwa pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi untuk kepentingan peradilan pidana bukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 40 di atas.

Di dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi Elektronik ditegaskan, alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Dokumen elektronik dirumuskan, setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau se-jenisnya,yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik.

Di dalam UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU No. 31 Tahun l999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hasil rekaman termasuk alat bukti perunjuk (Pasal 26 A).
Pasal 26 A UU tersebut memperluas bukti petunjuk, termasuk alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

KUHAP mendefinisikan, petunjuk, sebagai suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena perse-suaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat [1]).
Meski demikian, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya (Pasal 188 ayat [3]).

Pembentuk UU memasukkan ketentuan ayat (3) tersebut karena alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang masih memerlukan alat bukti lain untuk kesempurnaan pembuktian. Kesempurnaan pembuktian dimaksud tersirat dalam KUHAP (Pasal 183) yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Merujuk pada ketentuan mengenai bukti petunjuk di atas, jelas bahwa bagi seorang hakim diwajibkan untuk menggali alat bukti lain sebagaimana telah diuraikan di atas.

Selain itu, terhadap alat bukti petunjuk dituntut kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

Sudah tentu untuk kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik (electronic evidence) sehingga hakim memiliki keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya, hakim memerlukan bantuan seorang ahli (keterangan ahli), kecuali pembicara dalam rekaman tersebut mengakuinya bahwa suara yang diperdengarkan di muka sidang pengadilan adalah suara dirinya.

Berlainan halnya dengan kekuatan pembuktian rekaman di dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang, hasil rekaman atau alat bukti elektronik tersebut telah ditetapkan sebagai alat bukti tersendiri, tidak termasuk bukti petunjuk sebagaimana di dalam UU Pemberantasan Korupsi.

Pasal 38 menegaskan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, termasuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, juga alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan dokumen sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 26 A UU Nomor 20 tahun 2001 di atas.

Terlepas dari kontroversi penggunaan alat perekam sehingga telah terjadi penyadapan atas telepon seseorang yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana, sesuai dengan bunyi Pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, di dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan dan perekaman dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia sehingga semakin jelas bahwa perkara tindak pidana korupsi merupakan perkara luar biasa (extra-ondinary cases) karena memang tindak pidana korupsi, termasuk tindak pidana suap, merupakan perkara yang sulit pembuktiannya sehingga memerlukan cara penanganan yang luar biasa, termasuk menyadap dan merekam pembicaraan.

Hal ini tidak berarti bahwa kepolisian dan kejaksaan tidak memiliki wewenang penyadapan dan merekam pembicaraan karena UU Telekomunikasi telah memberikan alasan hukum kepada kedua lembaga penegak hukum tersebut untuk melakukan penyadapan. Bedanya dengan KPK, kepolisian atau kejaksaan diwajibkan terlebih dulu menyampaikan permintaan tertulis, sedangkan KPK tidak memerlukan prosedur seperti itu.

Sesungguhnya wewenang penyadapan bukan monopoli KPK saja; hanya masalahnya tergantung dari komitmen pimpinan lembaga penegak hukum untuk sungguh-sungguh menuntaskan kasus korupsi sampai ke akar- akarnya.

Thursday 28 April 2011

Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi

           Soal Grasi, Amnesti & Rehabilitasi merupakan ketentuan konstitusional dalam bab kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD'45 ditentukan bahwa "Presiden memberi Grasi, Amnesti dan Rehabilitasi". Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa "Amnesti dan Rehabilitasi hanya dapat diberikan dengan Undang- Undang ataupun atas kuasa Undang-Undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung".
          Dalam sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada "semua orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Jogyakarta) dan Kerajaan Belanda". Pelaksanaan ini dituangkan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1954.
Hak Prerogatif dalam fungsinya selaku figur can do no wrong kepala negara memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan, a.n. negara, bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara. Dalam bidang hukum, kepala negara, a.n. negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’ maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, diatur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (UUD).

A. GRASI
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
Grasi adalah hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan hukuman kepada terpidana atas putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Grasi harus dimohonkan langsung oleh terpidana. Substansi grasi adalah bahwa terpidana telah menginsyafi dan menyadari kesalahannya. Kepala Negara a.n. negara memberi pengampunan kepada terpidana setelah menerima pertimbangan/masukan dari Ketua Mahkamah Agung, lembaga legislatif, dan/atau pemuka masyarakat.
Grasi juga adalah pengampunan dari kejahatan dan hukuman yang terkait dengannya. Hal ini diberikan oleh seorang kepala negara, seperti raja atau presiden, atau oleh otoritas gereja yang kompeten,yang berarti mengurangi hukuman kejahatan tanpa memaafkan kejahatan itu sendiri.

B. AMNESTI
Amnesti (dari amnestia Yunani,yang artinya dilupakan) adalah tindakan legislatif atau eksekutif di mana suatu negara mengembalikan orang-orang yang mungkin telah bersalah karena melakukan kejahatan terhadap pihak yang tidak bersalah. Hal ini mencakup lebih dari maaf.Kata Amnesti memiliki akar yang sama dengan amnesia
Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.
Amnesti adalah hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan artinya tidak memberlakukan proses hukum terhadap warganegara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya umumnya bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum, tokoh politik, dan/atau tekanan internasional.

C. ABOLISI
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
Abolisi adalah hak kepala negara untuk meniadakan putusan hukum atau meniadakan proses hukum. Melalui abolisi putusan atau proses hukum dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi. Abolisi bisa dilakukan terhadap proses hukum yang kacau (misal, akibat sarat rekayasa atau karena hakim berada di bawah bayang-bayang kekuasaan, atau tercium adanya permainan kotor yang melatarbelakangi proses peradilan.), atau pada putusan hukum yang dinilai tidak adil/cacat hukum yang mengusik rasa keadilan masyarakat (putusan hukum bertentangan dengan kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis). Perkara yang menuai kemarahan publik bahkan tidak tertutup kemungkinan mengundang tekanan internasional, apabila dibiarkan, akan berdampak pada merosotnya kredibikitas negara. Dengan kata lain yakni tindakan penghapusan atau pembatalan, merupakan sarana praktek yang ada hukum.

D. REHABILITASI
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya
Rehabilitasi adalah hak kepala negara untuk memulihkan nama baik warganegara yang sebelumnya tercemar oleh putusan hukuman yang kemudian terbukti bahwa hukuman tersebut ternyata oleh satu dan lain hal terbukti keliru. Kepala negara a.n. negara memulihkan nama baik warganegara yang dirugikan oleh putusan dimaksud.
Substansi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi adalah pengakuan atas keterbatas manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf, bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah ‘might be wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalam bidang hukum’.

Monday 18 April 2011

Perkembangan Lembaga Negara UUD1945


A.    Undang – Undang Dasar 1945 (periode 18 agustus 1945 – 27 desember 1949)
secara yuridis formal :
Pada periode ini Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan BPK belum terbentuk. Meskipun secara yuridis formal ketiga lembaga ini telah diakui eksistensinya, terbukti dengan diaturnya ketiga lembaga ini dalam Undang – Undang Dasar 1945. Pada saat itu berdasarkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi ” sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, dibentuk menurut Undang – undang dasar segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional “. Untuk memperkuat Komite Nasional, kemudian dikeluarkan maklumat Wakil Presiden No. X (eks) tahun 1945. Dalam maklumat tersebut ditentukan bahwa sebelum MPR dan DPR dibentuk, kepada Komite Nasional diberikan kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan garis – garis besar haluan Negara. Dengan kata lain Komite Nasional diberi kedudukan sebagai badan legislatif. Dengan demikian khusus mengenai penetapan undang – undang hanya dijalankan oleh Presiden, yang dalam menjalankan kekuasaannya dibantu oleh Komite Nasional. Apabila hal ini kita hubungkan dengan pasal 5 ayat (1) UUD 1945, maka hal itu mengandung arti bahwa kekuasaan untuk menetapkan Undang – undang dijalankan oleh Presiden dengan persetujuan Komite Nasional.     
Bahkan kemudian dikeluarkan sebuah maklumat Pemerintah tanpa nomor tertanggal 14 november 1945 yang berisi :       
1.      Susunan Kabinet Sjahrir I ; dan
2.      Ketentuan, bahwa Kabinet bertanggung jawab kepada Komite nasional
Jadi, lembaga – lembaga Negara yang ada pada periode ini adalah :
a)      Presiden dan Wakil Presiden yang menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara ( bab III)
b)      Dewan Pertimbangan Agung, yang memberi jawab atas pernyataan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah ( bab IV)
c)      Mahkamah Agung, menjalankan kekuasaan kehakiman ( bab IX )
d)     Komite Nasional Indonesia Pusat ( pasal IV aturan peralihan jo Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 oktober 1945
e)      Menteri – menteri (Maklumat Pemerintah tanpa nomor tanggal 14 november 1945)

B.     Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( periode 27 desember 1949 – 17 agustus 1950 )
Dalam periode ini, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer pola Inggris, sebagai akibat perundingan dan persetujuan konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, antara delegasi Indonesia, delegasi panitia permusyawaratan urusan federal ( Bijeenkomst voor Federal Overleg ), dan delegasi dari Kerajaan Belanda. Sehingga pada periode ini yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat.      
Yang dimaksud dengan Pemerintah pada periode ini adalah Presiden dan Menteri – menteri { pasal 68 ayat (1) Konstitusi RIS }, dimana Presiden sebagai kepala Negara { pasal 69 ayat (1) Konstitusi RIS } dan mengangkat Perdana menteri dan menteri – menteri. Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat merupakan lembaga perwakilan yang masing – masing mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri dari 150 anggota { pasal 98 Konstitusi RIS } dan yang mewakili daerah – daerah bagian { pasal 80 ayat (1) Konstitusi RIS}.
Berdasarkan pasal 127 Konstitusi RIS, Lembaga Negara yang berwenang menetapkan undang – undang federal adalah ;
a)      Pemerintah, bersama – sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, sepanjang mengenai peraturan – peraturan yang khusus mengenai satu daerah bagian, beberapa daerah bagian, atau semua daerah bagian atau bagian – bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah – daerah yang diatur dalam pasal 2 Konstitusi RIS ( meliputi seluruh daerah Indonesia ),
b)      Pemerintah bersama – sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan yang bukan merupakan pengaturan hal – hal yang disebut dalam point (a) atau selebihnya dari yang telah disebutkan. Yang menarik pada periode ini adalah adanya badan Konstituante yang diatur dalam bab V Konstitusi RIS yang bersama – sama dengan pemerintah yang bertugas (selekas – lekasnya) menetapkan Konstitusi Rapublik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi Sementara { pasal 186 Konstitusi RIS }. Berdasarkan pasal 188 ayat (2) bahwa rapat gabungan Dewan Perwakilan Rakyat dan senat dengan jumlah anggota dua kali lipat, itulah Konstituante. Konstituante dibentuk dengan jalan memperbesar Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih menurut pasal 111 dan Senat baru yang ditunjuk menurut pasal 97, dengan anggota – anggota luar biasa sejumlah anggota kedua majelis { pasal 188 ayat (1) } dan yang menjadi Ketua Konstituante adalah adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan yang menjadi wakilnya adalah Ketua Senat { pasal 188 ayat (3)}.
C. UUD Sementara 1950 ( periode 17 agustus 1950 – 5 juli 1959 )
Bentuk Negara Serikat tidak bertahan lama, hanya berlangsung kurang lebih 8 bulan. Melalui pasal 90 konstitusi ( R.I.S. ) kemudian dilakukan perubahan – perubahan terhadap konstitusi (R.I.S.) dengan mengubah bagian – bagian yang merupakan unsur – unsur Negara serikat menjadi Negara Kesatuan. Hal itu dilakukan melalui Undang – Undang Federal No. 7 / 1950 ( Lembaran Negara No. 56/ 1950 ). Dengan kata lain, Undang – Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuknya adalah Perubahan Konstitusi Sementara R.I.S.  
Perbedaan yang paling mendasar dari Konstitusi sebelumnya adalah dihapuskannya Senat, yang menjadi Badan Perwakilan adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Selama Dewan Perwakilan Rakyat belum tersusun maka Dewan Perwakilan Rakyat Sementara terdiri atas gabungan Dewan Perwakilan Rakyat R.I.S., Senat, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan Dewan Pertimbangan Agung. Meskipun susunan keanggotaan ini dipandang kurang tepat, karena pada saat Negara Kesatuan terbentuk keempat badan itu tidak ada lagi, dan juga dengan susunan demikian seakan – akan menentukan bahwa peraturan – peraturan tentang ( keanggotaan) lembaga – lembaga tersebut masih berlaku bagi masing – masing ( penjelasan UU No. 7/ 1950 ).
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara bersama – sama dengan Komite Nasional Indonesia Pusat, dinamakan Majelis Perubahan Undang – Undang Dasar yang mempunyai hak mengadakan perubahan – perubahan dalam Undang – Undang Dasar baru. Namun, meskipun Majelis Perubahan Undang – Undang Dasar merupakan suatu Badan, akan tetapi Badan ini hanya bertindak apabila perlu diadakan perubahan dalam Undang – Undang Dasar Sementara dan dalam sistem Undang – Undang Dasar Sementara, perlu tidaknya perubahan ditentukan oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, maka Majelis Perubahan Undang – Undang Dasar tidak mendapat tempat tersendiri dalam UUD Sementara melainkan ketentuan – ketentuan tentang Majelis ini dimasukkan dalam bagian tentang perubahan Undang – Undang Dasar Sementara ( penjelasan UU No.7/1950). Berbeda dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara tidak secara tegas menyatakan apa atau siapa yang dimaksud dengan Pemerintah. Namun, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan – ketentuan yang diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 55 yang terdapat dalam bab II Bagian I UUD Sementara. Dari ketentuan – ketentuan tersebut terdapat pengaturan tentang Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri atau Menteri – menteri, maka Pemerintah adalah Presiden, Wakil Presiden, Menteri atau Menteri – Menteri. Sebagaimana diatur dalam pasal 83 UUD Sementara bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat (ayat 1), dan menteri – menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama – sama untuk seluruhnya, maupun masing – masing untuk bagiannya sendiri – sendiri ( ayat 2), sejak saat itu Dewan Menteri bersifat Kabinet Parlementair yang berarti DPR harus dapat memaksa Kabinet atau masing – masing Menteri meletakkan jabatannya, walaupun DPR masih tersusun sementara ( penjelasan UU No. 7 / 1950). Dan sebagai perimbangan kekuasaan saat itu, Presiden dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat jika dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi, dan sesegera mungkin ( 30 hari ) mengadakan pemilihan DPR yang baru ( pasal 84 UUD Sementara ). Dalam periode ini pula DPA dihapuskan.  
Sejak berlakunya UUD Sementara berbagai langkah dilakukan untuk menjalankan roda pemerintahan. pada tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum pertama untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Konstituante dibentuk untuk menetapkan Undang – Undang Dasar yang tetap menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini menyimpangi ketentuan yang diatur dalam Piagam Persetujuan R.I.S. – R.I, alasan Pemerintah saat itu adalah ; karena DPR dengan jumlah kurang lebih 250 anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk mempunyai satu wakil (pasal 56) dipandang pantas untuk suatu bangsa yang terdiri atas kurang lebih 75 juta jiwa, selain itu Karena pada umumnya suatu Konstituante beranggota lebih banyak dibanding DPR ( penjelasan UUD Sementara 1950). Walaupun sudah banyak materi muatan konstitusi yang disepakati dalam sidang – sidang konstituante, akan tetapi pada waktu akan diputuskan dasar Negara yang akan berlaku, terjadi perbedaan yang tajam. Ada tiga dasar yang dianjurkan yakni; dasar Negara social-ekonomi, dasar Negara Islam dan dasar Negara Pancasila. Setelah diadakan pemungutan suara, ternyata tidak ada yang memperoleh sekurang – kurangnya 2/3 dari peserta sidang yang hadir. Untuk mengatasi situasi itu Pemerintah mengusulkan agar kita kembali ke UUD 1945, anggota Konstituante setuju dengan catatan ada sebagian fraksi yang menghendaki ditambahkannya 7 perkataan yang terdapat dalam Piagam Jakarta. Karena tidak terdapat kesepakatan tentang hal itu, keputusan dilakukan melalui pemungutan suara yang juga tidak berhasil mengambil keputusan. Akhirnya pada tanggal 5 juli 1959 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 150 tentang Dekrit, yang lebih dikenal dengan Dekrit Presiden, yang berisi :      
a)      pembubaran Konstituante
b)      tidak berlakunya UUD Sementara 1950
c)      berlakunya kembali UUD 1945.
D. UUD 1945 ( periode 1959 – 1971 )
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 150 tentang Dekrit, atau yang lebih dikenal dengan Dekrit Presiden 1950, maka UUD 1945 berlaku kembali. Badan Konstituante yang telah dibentuk melalui Undang – Undang pemilihan umum No. 7/1953 dibubarkan. Dalam periode ini pasal IV aturan peralihan UUD 1945 tidak berlaku lagi, sebab telah terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong – royong, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, masing – masing melalui Penetapan Presiden No. 2/1959 jo Peraturan Presiden No. 12/1959 serta Keputusan Presiden No. 199/1960, Penetapan Presiden No. 4/1960 jo Keputusan Presiden 156/1960 serta Penetapan Presiden No. 3/1959 jo Keputusan Presiden No. 168/1959.   
Walaupun lembaga – lembaga Negara tersebut diatas masih bersifat sementara, namun pada periode ini UUD 1945 telah dilaksanakan secara berbeda dengan Undang – Undang Dasar 1945 (periode 18 agustus 1945 – 27 desember 1949), sebab lembaga – lembaga Negara ini tidak hanya ada secara yuridis formal, tetapi pada periode ini semua lembaga yang diatur dalam UUD telah terbentuk.  
Akan tetapi kemudian terjadi penyimpangan – penyimpangan terhadap terhadap UUD 1945, antara lain Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tentang pengangkatan Presiden seumur hidup. Disamping itu, seiring diberlakukannya kembali UUD 1945 maka Dewan Pertimbangan Agung pun kembali dibentuk, menurut UUD 1945.




E. UUD 1945 ( periode 1971 – 1999 )
Setelah terjadinya usaha perebutan kekusaan G-30 S/PKI Pemerintah bertekad melaksanakan Undang – Undang Dasar 1945 secara murni dan konskwen. Namun yang terjadi adalah ” executive heavy ” , struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekusaannya. Bahkan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang – undang. Ketentuan ini menimbulkan pendapat seolah – olah hanya Presiden yang memegang kekuasaan membentuk Undang – Undang, DPR hanya memberikan persetujuan saja. Pada periode ini Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat ( yaitu MPR ) dan Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat ( MPR ), dan dapat diberhentikan oleh MPR. Akan tetapi tidak tunduk dan bertanggungjawab kepada DPR. Pada periode ini pula Presiden dapat dipilih berulang – ulang kali, hal ini yang menjadi pembenaran dipilihnya Presiden Soeharto sampai enam kali berturut – turut. Mengenai hal ini, telah dilakukan pembatasan melalui TAP MPR No. XIII/MPR/1998 ( pada periode ini MPR masih merupakan lembaga Tertinggi Negara ) yang menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden RI memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang hanya untuk satu kali masa jabatan.      
Sebagaiamana telah disebutkan diatas bahwa MPR merupakan lembaga tertinggi Negara. Anggota – anggotanya terdiri atas anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan – utusan dari daerah – daerah dan golongan – golongan , menurut aturan yang ditetapkan dengan undang – undang { pasal 2 ayat (1) UUD 1945 }. MPR menjalankan kekuasaan Negara yang tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia ( vertetungsorgan des willens Staatvolker ), karenanya MPR merupakan lembaga tertinggi Negara ( penjelasan pasal 3 UUD 1945 ).
F. UUD 1945 ( periode 1999 – sekarang/ setelah perubahan )
Amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali menggulirkan berbagai perubahan pula dalam struktur ketatanegaraan. disamping adanya beberapa lembaga Negara yang dihapuskan, dibentuk beberapa lembaga Negara baru, untuk memenuhi kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan diubahnya beberapa pasal tertentu dalam UUD berimplikasi pada beberapa perubahan yang sangat signifikan, antara lain; Perubahan ketentuan pasal 1 ayat (2) yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut Negara Indonesia karena kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga Negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara dan oleh berbagai lembaga yang ditentukan oleh UUD 1945. Dengan demikian kedaulatan tetap ditangan rakyat, sedangkan lembaga – lembaga Negara melaksanakan bagian – bagian dari kedaulatan itu menurut wewenang, tugas dan fungsi yang diberikan oleh UUD 1945. Dengan perubahan ini pula tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi Negara ataupun lembaga tinggi Negara. kedudukan setiap lembaga Negara bergantung pada wewenang, tugas dan fungsinya masing – masing menurut UUD 1945. Selain itu perubahan terhadap pasal 2 ayat (1) mengenai susunan keanggotaan MPR dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang seluruh anggota MPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu, disamping itu, perubahan ini untuk meningkatkan legitimasi MPR. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu ” perwakilan atas dasar pemilihan” ( representation by election ). Perubahan pasal 3 mengenai wewenang MPR berimplikasi pada terjadinya perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi ( check and balances ) antar lembaga Negara. Dengan perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi menetapkan Garis -Garis Besar Haluan Negara, baik yang berbentuk GBHN maupun peraturan perundang – undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden sebagai konsekwensi Pemilihan langsung melalui Pemilu.  
Kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk Undang -Undang dikuatkan melalui perubahan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1), dengan memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada ditangan Presiden, beralih ke tangan DPR. Di pasal yang lain ( pasal 20 ayat 2 hasil perubahan pertama) menyebutkan DPR dan Presiden mempunyai wewenang yang sama untuk membahas setiap rancangan Undang – Undang untuk kemudian disetujui bersama. Di sisi lain Presiden mempunyai hak untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang – undang ( pasal 5 ayat 2) serta peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang – Undang ( pasal 22 ayat 1). Dan sebagai penegasan sistem Presidensiil yang kita anut DPR mempunyai hak melakukan pengawasan terhadap Presiden/pemerintah ( pasal 20A ayat 1). Pasal 7C yang menyebutkan Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR mencerminkan kedudukan yang setara antara kedua lembaga yang sama – sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat. 
Yang tak kalah signifikan adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu (semula dilakukan oleh MPR) yang didasari pemikiran untuk mengejawantahkan paham kedaulatan rakyat. Selain itu, Presiden dan wakil Presiden terpilih memiliki legitimasi yang kuat, yang sekaligus memperkuat sistem Presidensiil yang dianut dengan adanya periodesasi masa jabatan Presiden yang pasti (fixed term). Dengan dipilihnya Presiden secara langsung oleh rakyat ( melalui perubahan III 9 november 2001 pasal 6A, sebelumnya dipilih oleh MPR sebagai badan perwakilan ), demikian pula berkenaan dengan pemberhentian Presiden, jika sebelumnya dalam penjelasan UUD 1945 ( sebelum Perubahan ) ” Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis “, dalam praktek ketatanegaraan berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggungjawab tersebut tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian Presiden dari jabatannya seperti yang terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid melalui TAP MPR No. I/MPR/2001. Namun berdasarkan pasal 7A UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan karena suatu pelanggaran hukum yaitu pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Pada periode ini pula Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan yang didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas Penyelenggaraan Negara. Sebagai gantinya, Dirumuskan ketentuan pasal 16 yang memberikan kekuasaan pada Presiden untuk membentuk Dewan Pertimbangan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dan berkedudukan di bawah Presiden.       
Melalui perubahan ketiga UUD 1945 ( 9 november 2001 ) lahirlah sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga ini dimaksudkan untuk memperkuat dan mendukung DPR dalam sistem perwakilan Indonesia. DPR sebagai lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD sebagai lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah, dengan kata lain keberadaan DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah. Meskipun saat ini DPD mempunyai fungsi yang terbatas dibidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan, namun fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem check and balances dalam lembaga perwakilan. Lembaga ini dibahas dalam bab VIIA pasal 22C dan pasal 22D UUD 1945 (hasil perubahan).
            Melalui amandemen UUD 1945 ketentuan mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam bab tersendiri ( bab VIIIA),di mana sebelumnya merupakan bagian dari bab VIII tentang hal keuangan. BPK merupakan lembaga Negara yang berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara. Dalam rangka memperkuat kedudukan, kewenangan, dan independensinya sebagai lembaga Negara, anggotanya dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Dan dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor pemerintah yang memeriksa keuangan Negara dan APBD, serta untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka kantor perwakilan di setiap Provinsi.          
Amandemen UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang tertentu (pasal 24C ) yakni; menguji undang – undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pembentukan MK adalah sejalan dengan dianutnya paham Negara hukum dalam UUD 1945, yang harus menjaga paham konstitusional, yang artinya tidak boleh ada undang – undang dan peraturan per-UU-an lainnya yang bertentangan dengan UUD. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang memang telah ada sebelumnya, pada periode ini pengusulan calon hakim agung dilakukan oleh komisi yudisial dengan persetujuan DPR sebagai representasi kedaulatan rakyat dalam menentukan siap yang tepat menjadi hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian dan keadilan. Selain MK lembaga baru dibidang yudikatif yang dibentuk adalah Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan hakim agung, dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (24B UUD 1945 ).