LaGrand Case (Germany vs USA)
Kasus Posisi
Pada tanggal 7 Januari 1982, Karl
LaGrand dan Walter LaGrand, dua orang warga negara Jerman yang telah tinggal di
Amerika Serikat sejak berusia 3 tahun, melakukan sebuah perampokan bersenjata
yang menewaskan 1 orang warga Negara Amerika dan melukai 1 orang lainnya.
Berdasarkan
putusan yang dibuat oleh Lembaga Peradilan Amerika Serikat, LaGrand bersaudara
dijatuhi hukuman mati dengan dakwaan tindakan terorisme. LaGrand bersaudara
tidak diinformasikan sehubungan dengan adanya hak pendampingan konsuler berdasarkan
Vienna Convention of Consular Relation (VCCR) 1963, dan pemerintah Amerika
Serikat pun tidak memberitahukan Kantor Konsuler Pemerintah Jerman di
wilayahnya (Marana, Arizona) akan tertangkapnya dan diadilinya 2 orang warga
Negara Jerman.
LaGrand bersaudara
pun mengajukan permohonan asistensi konsuler agar mendapatkan keringanan
putusan. Namun pemerintah Amerika Serikat tidak menggubris permohonan ini.
Karl LaGrand
dieksekusi dengan menggunakan metode suntik mati pada 24 Februari 1999.
Sedangkan Walter LaGrand dieksekusi dengan metode gas chamber pada 3
Maret 1999.
Beberapa jam
sebelum eksekusi Walter LaGrand, pemerintah Negara Jerman mengajukan permohonan
ke ICJ untuk mendapatkan Provisional Court Order untuk menunda eksekusi Walter
LaGrand, namun US Supreme Court menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi
dalam kasus ini dan tetap menajalankan eksekusi Walter LaGrand.
Putusan
Pada tanggal
27 Juni 2001 ICJ mengeluarkan putusan, yaitu ICJ menolak seluruh argument
Amerika Serikat, dan memenangkan Jerman. ICJ berpendapat bahwa Konvensi Wina
mengenai hubungan konsuler tahun 1963 memberikan hak kepada individu
berdasarkan makna yang jelas, dan bahwa hukum yang berlaku di suatu negara
tidak bisa membatasi hak-hak terdakwa di bawah konvensi, tetapi hanya
menentukan dimana hak-hak tersebut dilaksanakan dan berlaku. Selain itu
Mahkamah Internasional juga menyatakan bahwa Amerika Serikat telah melanggar
Konvensi Wina melalui aplikasi default prosedural, dan melanggar VCCR dengan
menjalankan default procedure-nya
terhadap kasus ini.
Kesimpulan
Kasus
LaGrand adalah contoh kasus penyelesaian sengketa hukum yang diajukan ke
Mahkamah Internasional (ICJ) berkaitan dengan Konvensi Wina tentang Hubungan
Konsuler. Dalam hal ini ICJ mengemukakan bahwa putusan pengadilan sendiri
sementara ini secara hukum mengikat dan bahwa hak yang tercantum dalam Konvensi
Wina tersebut tidak bisa disangkal oleh penerapan prosedur hukum yang berlaku
di dalam suatu negara
Kasus LaGrand merupakan suatu kasus yang
diselesaikan oleh Mahkamah Internasional dengan berpedoman pada Vienna
Convention on Consular Relation 1963. Dalam kasus ini dapat ditemukan adanya
pelanggaran pasal 36 (1) dari Vienna Convention on Consular Relation 1963 oleh
Amerika Serikat, yaitu Amerika Serikat tidak memberitahukan terlebih dahulu
baik kepada warga Negara asing yang diadili maupun kepada kantor konsuler
Negara yang bersangkutan bahwa ada warga negaranya yang terjerat dalam proses
hukum. Sedangkan dalam prakteknya Receiving State adalah suatu kewajiban yang
bertujuan untuk memberitahukan kepada Kantor Konsuler dari Sending State, dan
tidak boleh ada, apabila ada warga Negara dari Sending State yang terjerat
proses hukum, dan Receiving State juga harus memberitahukan kepada warga Negara
asing yang bersangkutan mengenai haknya untuk didampingi oleh perwakilan
konsuler dari negaranya. Kelalaian ini merupakan suatu kegagalan dari Receiving
State dalam menghargai kedaulatan dan keberadaan misi konsuler dari Sending
State. Dan itulah yang menjadi alasan bahwa kedua putusan ICJ atas dua kasus
tersebut di atas mempunyai makna yang sama, yakni kepada Amerika Serikat selaku
pelanggar VCCR 1963, untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut kembali.
Sengketa Sipadan & Ligitan
Kronologi
sengketa
Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan
dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini
berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di
bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah
status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah
dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan
tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil
yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau
yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia
telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya,
fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan
dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun
1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam
peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat
Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk
Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara
sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena
terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan
sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara
Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa
masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini
ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang
pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"
pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun
1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa
Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1]
[2]
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang
kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan
Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara
hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan
hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu
lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar
sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak
menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan
batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
No comments:
Post a Comment