Pages

Friday 31 October 2014

CONTOH KASUSHUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

LaGrand Case (Germany vs USA)
Kasus Posisi
Pada tanggal 7 Januari 1982, Karl LaGrand dan Walter LaGrand, dua orang warga negara Jerman yang telah tinggal di Amerika Serikat sejak berusia 3 tahun, melakukan sebuah perampokan bersenjata yang menewaskan 1 orang warga Negara Amerika dan melukai 1 orang lainnya.
Berdasarkan putusan yang dibuat oleh Lembaga Peradilan Amerika Serikat, LaGrand bersaudara dijatuhi hukuman mati dengan dakwaan tindakan terorisme. LaGrand bersaudara tidak diinformasikan sehubungan dengan adanya hak pendampingan konsuler berdasarkan Vienna Convention of Consular Relation (VCCR) 1963, dan pemerintah Amerika Serikat pun tidak memberitahukan Kantor Konsuler Pemerintah Jerman di wilayahnya (Marana, Arizona) akan tertangkapnya dan diadilinya 2 orang warga Negara Jerman.
LaGrand bersaudara pun mengajukan permohonan asistensi konsuler agar mendapatkan keringanan  putusan. Namun pemerintah Amerika Serikat tidak menggubris permohonan ini.
Karl LaGrand dieksekusi dengan menggunakan metode suntik mati pada 24 Februari 1999. Sedangkan  Walter LaGrand dieksekusi dengan metode gas chamber pada 3 Maret 1999.
Beberapa jam sebelum eksekusi Walter LaGrand, pemerintah Negara Jerman mengajukan permohonan ke ICJ untuk mendapatkan Provisional Court Order untuk menunda eksekusi Walter LaGrand, namun US Supreme Court menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini dan tetap menajalankan eksekusi Walter LaGrand.

Putusan
Pada tanggal 27 Juni 2001 ICJ mengeluarkan putusan, yaitu ICJ menolak seluruh argument Amerika Serikat, dan memenangkan Jerman. ICJ berpendapat bahwa Konvensi Wina mengenai hubungan konsuler tahun 1963 memberikan hak kepada individu berdasarkan makna yang jelas, dan bahwa hukum yang berlaku di suatu negara tidak bisa membatasi hak-hak terdakwa di bawah konvensi, tetapi hanya menentukan dimana hak-hak tersebut dilaksanakan dan berlaku. Selain itu Mahkamah Internasional juga menyatakan bahwa Amerika Serikat telah melanggar Konvensi Wina melalui aplikasi default prosedural, dan melanggar VCCR dengan menjalankan default procedure-nya terhadap kasus ini.

Kesimpulan
Kasus LaGrand adalah contoh kasus penyelesaian sengketa hukum yang diajukan ke Mahkamah Internasional (ICJ) berkaitan dengan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler. Dalam hal ini ICJ mengemukakan bahwa putusan pengadilan sendiri sementara ini secara hukum mengikat dan bahwa hak yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut tidak bisa disangkal oleh penerapan prosedur hukum yang berlaku di dalam suatu negara
Kasus  LaGrand merupakan suatu kasus yang diselesaikan oleh Mahkamah Internasional dengan berpedoman pada Vienna Convention on Consular Relation 1963. Dalam kasus ini dapat ditemukan adanya pelanggaran pasal 36 (1) dari Vienna Convention on Consular Relation 1963 oleh Amerika Serikat, yaitu Amerika Serikat tidak memberitahukan terlebih dahulu baik kepada warga Negara asing yang diadili maupun kepada kantor konsuler Negara yang bersangkutan bahwa ada warga negaranya yang terjerat dalam proses hukum. Sedangkan dalam prakteknya Receiving State adalah suatu kewajiban yang bertujuan untuk memberitahukan kepada Kantor Konsuler dari Sending State, dan tidak boleh ada, apabila ada warga Negara dari Sending State yang terjerat proses hukum, dan Receiving State juga harus memberitahukan kepada warga Negara asing yang bersangkutan mengenai haknya untuk didampingi oleh perwakilan konsuler dari negaranya. Kelalaian ini merupakan suatu kegagalan dari Receiving State dalam menghargai kedaulatan dan keberadaan misi konsuler dari Sending State. Dan itulah yang menjadi alasan bahwa kedua putusan ICJ atas dua kasus tersebut di atas mempunyai makna yang sama, yakni kepada Amerika Serikat selaku pelanggar VCCR 1963, untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut kembali.

Sengketa Sipadan & Ligitan 
Kronologi sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
       Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

Keputusan Mahkamah Internasional

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1] [2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

No comments:

Post a Comment