KONTRA MEMORI BANDING
Terhadap
Memori Banding
yang diajukan oleh PT GARUDA,dkk, semula PARA TERGUGAT,
sekarang PARA
PEMBANDING atas
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 Mei 2007
Dalam Perkara
Perdata No: 277/Pdt.G./2006/PN.JKT.PST.
Kepada Yang Terhormat
Ketua
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Di JAKARTA
melalui :
Yang Terhormat,
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Di tempat
Dengan Hormat,
Perkenankan kami,
Asfinawati, S.H. Abu Said Pelu, S.H.
Edwin Partogi, S.H. Hermawanto, S.H.
Ki Agus Ahmad, S.H. Muji Kartika Rahayu,S.H
Nurkholis Hidayat, S.H. M. Choirul Anam, S.H.
Indria Fernida, S.H. Poengky Indarti,SH.LLM
Sudaryatmo,SH Trimoelja
D. S, S.H.
Pengacara Publik dan Asisten Pengacara Publik
yang berdomisili di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dengan alamat di Jalan Mendut
Nomor 3 Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Mei 2008,
bertindak untuk dan atas nama :
Nama :
Suciwati
Alamat
: Jl Cendana XII No 12 Jaka
Permai - Bekasi
Selanjutnya disebut sebagai TERBANDING semula PENGGUGAT
TERBANDING dengan ini bermaksud menyampaikan Kontra Memori Banding
atas Memori Banding yang diajukan oleh PARA PEMBANDING, dahulu TERGUGAT, yang permohonannya telah diajukan pada
tanggal 22 Oktober 2007
Majelis Hakim yang terhormat,
Sebelum menanggapi memori banding Para
Pembanding, kami akan menegaskan kembali beberapa hal berikut ini :
Gugatan Suciwati kepada Para Tergugat adalah gugatan PMH
atas ketidakprofesionalan Tergugat memenuhi kewajibannya sehingga mengakibatkan
kondisi tidak nyaman, tidak aman, serta tidak selamat. PMH ini dilakukan oleh
Para Tergugat dengan cara willfulmisconduct
(kesengajaan) maupun gross negligence
(kelalaian yang amat sangat mendekati kesengajaan). Sehingga tidak benar sama
sekali yang ditulis Para Pembanding dalam memori bandingnya jika gugatan
Terbanding dulu Penggugat adalah tentang
pembunuhan munir.
Bahwa kewajiban Para Pembanding didasarkan pada hukum
penerbangan internasional dan nasional yaitu Konvensi Warsawa 1929 yang telah
diakui berlaku bagi maskapai Indonesia untuk penerbangan Internasional, UU
83/1958, PP serta aturan internal yang mengikat Para Pembanding yaitu Basic Operasional Manual (BOM) yang pada
intinya mengatur bagaimana operasional penerbangan Garuda sesuai dengan
ketentuan hukum penerbangan baik Internasional dan Nasional.
Bahwa di luar aturan hukum
tersebut, terdapat asas hukum yang
mengikat penerbangan internasional yaitu
asas volenti
non fit injuria, untuk sesuatu
yang dijalankan, resikonya sudah diperhitungkan.
asas
res
ipsa loquitur , suatu
kesalahan/kelalaian yang sudah sedemikian jelasnya, sehingga orang awam pun
tahu bahwa telah terjadi kesalahan/kelalaian (the thing speaks for itself).
Bahwa penerbangan yang dilakukan secara melawan hukum
mengakibatkan tanggung jawab Para Pembanding mutlak dan tidak terbatas
Dalam Memori Banding nya, PARA PEMBANDING
menyampaikan keberatan terhadap Putusan PN Jakarta Pusat No:
277/Pdt.G./2006/PN.JKT.PST, terkait lima hal yaitu
pengertian kecelakaan/accident,
terpenuhinya unsur Perbuatan Melawan Hukum, terpenuhinya unsur Menimbulkan
Kerugian, terpenuhinya unsur Kesalahan, dan terpenuhinya Unsur Hubungan
Sebab-Akibat. Dalam Kontra Memori Banding ini, kami akan memaparkan tanggapan
kami terhadap masing-masing point tersebut.
I.
KEMATIAN MUNIR ADALAH ACCIDENT
DALAM HUKUM PENERBANGAN INTERNASIONAL
Dalam
Memori Banding nya, PARA PEMBANDING menolak pertimbangan hukum Putusan hakim
tingkat pertama, yang dimuat pada halaman 73 alenia ke-2. Selanjutnya PARA
PEMBANDING berpendapat bahwa accident harus ada
hubungannya dengan pengoperasian pesawat sedangkan kematian Munir karena
kandungan racun arsenik. Pendapat tersebut mereka dasarkan pada Annex 13 Konvensi Penerbangan Sipil
Internasional (Chicago Convention),
pendapat ahli Mudigdo Theodore Henry Purnama, Dr. Martono, SH. LLM dan Kamus
Hukum dan Regulasi Penerbangan.
Terhadap dalil
tersebut, kami berkepentingan untuk memberikan tanggapan sebagai berikut :
1.
Pengertian accident menurut Annex 13 Konvensi Penerbangan
Sipil Internasional
PARA
PEMBANDING telah menulis bahwa accident
menurut Annex 13 Konvensi Penerbangan
Sipil adalah suatu kejadian yang berkaitan dengan operasi pesawat yg terjadi
antara waktu seseorang menaiki pesawat udara dengan maksud mengikuti penerbangan
pesawat sampai suatu waktu dimana semua orang di atas pesawat telah turun dari
pswat, dimana seseorang meninggal dunia atau mengalami luka-luka berat sebagai
akibat dari keberadaannya di dalam pesawat udara tersebut, atau benturan
langsung dengan bagian manapun dari pesawat udara atau terkena semburan
langsung mesin jet pesawat. (putusan hal 73, baris ke-11 dari atas)
Kami
berpendapat bahwa pengambilan kutipan tersebut sangat menyesatkan, dengan
alasan:
b.
Bahwa Annex 13 yang dimaksudkan oleh PARA PEMBANDING
merupakan bagian dari Convention on
International Civil Aviation yang biasa disebut Konvensi Chicago 1944.
Annex 13 selengkapnya berjudul Aircraft
Accident and Incident Investigation.
c.
Bahwa PARA PEMBANDING telah pula menyatakan hal ini dalam
memori bandingnya halaman 4 “pengertian kecelakaan/accident menurut Annex 13 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional .…”
d.
Bahwa oleh karenanya, Annex 13 bukanlah penjelasan
Konvensi Warsawa 1929 melainkan pengaturan lebih lanjut Konvensi Chicago 1944,
berupa Standar Internasional dan Praktek yang direkomendasikan (International Standards and Recommended
Practice).
e.
Bahwa dasar gugatan PENGGUGAT, sekarang TERBANDING adalah
konvensi Warsawa tahun dan bukan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation/
Konvensi Chicago 1944), maka dalil PEMBANDING yang menggunakan pengertian dalam
Annex 13 salah total karena TIDAK NYAMBUNG.
f.
Bahwa tidak dapatnya pengertian accident dalam Annex 13 Konvensi Chicago 1944 digunakan untuk accident dalam Konvensi Warsawa 1929
dinyatakan pula oleh K. Martono yang dijadikan ahli oleh PEMBANDING sendiri,
dalam bukunya Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut
Internasional buku kedua terbitan Mandar Maju tahun 1995. Pada halaman 87 dan
97 buku tersebut menyatakan :
“Stb 1939-100 (Ordonansi Pengangkutan Udara) masih
relevan dipertahankan, sejalan dengan Konvensi Warsawa 1929… .”
“Di dalam annex 13 tentang Aircraft Accident
Investigation terdapat istilah accident atau incident tetapi kedua istilah
tersebut tidak cocok untuk diterapkan dalam Stb. 1939-100.”
- Bahwa di luar persoalan tidak berhubungannya Annex 13 dengan Konvensi Warsawa 1929, PARA PEMBANDING juga memanipulasi pengaertian dengan cara memotong serta tidak menyajikan secara utuh ketentuan dalam Annex 13. Salah satu ketentuan Annex 13 mengartikan ‘accident’ sebagai “a person is fatally or seriously injured as a result of : — being in the aircraft” (chapter 1 definitions, a), yang dapat diambil pengertian bahwa accident tidak harus berupa tejadinya kecelakaan pesawat tetapi dapat juga seseorang yang luka serius sebagai akibat berada di dalam pesawat.
2.
Pengertian accident menurut saksi ahli Mudigdo Theodore
Henry Purnama (putusan hal 56, point ke-5)
PARA PEMBANDING
juga mendasarkan pengertian accident
pada pendapat ahli Mudigdo Theodore Henry Purnama, sebagai kejadian yang berkaitan dengan pengoperasian
pesawat yang mengakibatkan kerusakan, luka-luka atau kematian. Pembunuhan bukan
accident karena tidak termasuk dalam
pengoperasian pesawat.
TERBANDING
menilai bahwa dalil ini sangat dipaksakan oleh karenanya kami menolak dengan
tegas, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1)
Sdr. Mudigdo Theodore Henry Purnama dulunya adalah
seorang pilot Garuda tapi didatangkan oleh Tergugat sekarang PARA PEMBANDING
sebagai ahli penerbangan.
2)
Sdr. Mudigdo sendiri, di depan persidangan,
secara tegas menyatakan bahwa dia bukan ahli hukum penerbangan internasional
dan tidak menguasai Konvensi Warsawa 1929.
3)
Bahwa karenanya pendapat ahli ini mengenai
pengertian accident dalam Konvensi
Warsawa 1929 diluar keahliannya dan karenanya harus diabaikan.
3.
Selanjutnya, PARA PEMBANDING juga mendasarkan pengertian
accident pada pendapat Dr. Martono, SH. LLM (putusan hal 58, alenia paling
bawah), yang menyatakan bahwa accident
adalah kecelakaan, sedangkan incident
adalah kejadian. Dalam dunia penerbangan accident
atau kecelakaan adalah suatu peristiwa di luar kemampuan manusia yang terjadi
saat penumpang naik dari pelabuhan udara atau bandara keberangkatan sampai
bandara tujuan dan di mana terdapat suatu kematian, luka, sakit atau kerugian
ada yang disebabkan benturan dari badan pesawat udara atau pesawat udara itu
perlu adanya suku cadang yang harus diganti atau kerusakan struktural atau luka
dansebagainya karena semburan mesin pesawat udara atau pesawat udara tersebut
hilang sama sekali.
Terhadap dalil
tersebut, kami merasa perlu melakukan klarifikasi sebagai berikut:
a.
Bahwa keterangan ahli Martono di persidangan tingkat
pertama yang dikutip oleh PEMBANDING pada halaman 6 Memori Banding adalah
definisi yang diambil dari annex 13 seperti dinyatakan oleh ahli Martono di
persidangan. Sehingga saat ditanya adakah pengertian accident dalam Konvensi Warsawa 1929 dia menyatakan tidak ada
penjelasannya.
b.
Bahwa dalam persidangan, keterangan ahli Martono patut
diindikasikan telah berpihak atau tidak netral seperti dibuktikan di bawah ini
:
(1)
Ia tidak menyatakan bahwa definisi accident yang disebutkannya berasal dari annex 13 sehingga terdapat
kesan bagi yang tidak tahu bahwa definisi itu berasal dari Konvensi Warsawa
1929. Hal itu baru diakuinya saat ditanya dari mana asal definisi accident yang disebutkannya itu;
(2)
Setelah pengakuan tersebut, ia juga baru mengakui setelah
ditanya bahwa dalam Konvensi Warsawa 1929 tidak ada pasal maupun yang
menjelaskan definisi accident
(3)
Keterangannya yang mengkaburkan antara definisi accident dalam annex 13 Konvensi Chicago
1944 dengan accident dalam Konvensi
Warsawa 1929, bertolak belakang dengan buku karangannya sendiri. Seperti yang sudah
dinyatakan di atas, K. Martono dalam bukunya
Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional
buku kedua terbitan Mandar Maju tahun 1995, ia menyatakan bahwa definisi accident dalam annex 13 tidak tepat
diterapkan untuk Konvensi Warsawa 1929.
4.
Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan (PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 111)
Dasar
argumentasi PARA PEMBANDING tentang pengertian accident, yang terakhir adalah
buku Kamus Hukum dan Regulasi
Penerbangan (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 111) yang menyatakan bahwa
kematian dalam pesawat udara adalah kematian yang terjadi dalam pesawat udara,
tidak selalu merupakan kecelakaan pesawat udara, misalnya kasus kematian Munir
bukan termask kecelakaan pesawat udara.
Mengenai Buku
K. Martono tahun 2007 yang berjudul Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan yang
dijadikan argumentasi oleh PEMBANDING dahulu TERGUGAT dalam memori banding
halaman 6 ini, kami menolak dengan tegas dalil tersebut dengan alasan-alasan
sebagai berikut :
a.
Bahwa buku tersebut terbit pada tahun 2007 dan saat ahli
(K. Martono) memberikan keterangan di persidangan, ia mengatakan buku tersebut
belum selesai, sebagaimana dikatakan :
“saya ini sedang menyusun Kamus Hukum
Penerbangan”
b.
Bahwa karenanya tulisan dalam buku barunya ini tendensius
tidak netral, mengingat buku ini ditulis dalam kapasitas atau setelah ia
menjadi ahli dari pihak Tergugat (Garuda, dkk.). Hal ini terbukti dari buku
barunya ini bertentangan dengan buku ia sebelumnya.
c.
Bahwa buku ini juga tidak dijadikan bukti di persidangan.
d.
Bahwa di luar hal-hal di atas, melihat lebih jauh tentang
Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan tersebut, keterangan mengenai accident terdapat pada halaman 111.
e.
Pada halaman 111 buku tersebut, dinyatakan
“Kecelakaan (Accident). (1). Pengertian.
Menurut Annex 13 Konvensi Chicago 1944 dikenal dua pengertian masing-masing (a)
kecelakaan (accident) dan (b) kejadian (incident)”
f.
Bahwa dari keterangan tersebut membuktikan bahwa dalil
TERBANDING dahulu PENGGUGAT adalah benar. Annex 13 merupakan bagian dari Konvensi Chicago 1944 dan bukan Konvensi Warsawa 1929.
g.
Bahwa masih dalam halaman yang sama dinyatakan
“Kecelakaan (Accident). (6) Kematian dalam pesawat udara. Kematian
yang terjadi dalam pesawat udara tidak selalu merupakan kecelakaan pesawat
udara, misalnya kasus kematian Munir bukan termasuk kecelakaan pesawat udara;
h.
Bahwa pengertian ke 6 dari accident tersebut adalah
kematian dalam pesawat udara atau seperti telah dikutip TERBANDING dalam bahasa
Inggrisnya “being in the aircraft”.
Karenanya hal ini lagi-lagi menguatkan dalil TERBANDING/PENGGUGAT bahwa
accident tidak selalu berarti luka
atau meninggal yang disebabkan benturan pesawat tetapi juga luka atau kematian akibat berada dalam pesawat udara.
i.
Bahwa pengertian ke 6 tersebut semakin menguatkan
indikasi tidak netralnya ahli K. Martono. Dalam pengertian no. 6 ini, kalimat
yang ditebali “Kematian dalam pesawat
udara” merupakan terjemahan langsung dari bagian Annex 13 Konvensi Chicago
1944. Sedangkan kalimat selanjutnya merupakan tambahan keterangan dari K.
Martono.
j.
Bahwa tambahan keterangan ini saling bertentangan. Di
satu sisi mengatakan “kematian dalam
pesawat udara tidak selalu merupakan
kecelakan pesawat udara,” a
contrario berarti kematian dalam
pesawat udara sebagian besar merupakan kecelakaan. Tetapi di sisi lain K.
Martono menambahkan pendapatnya sendiri khusus untuk kasus kematian Munir.
k.
Bahwa selain dari pertentangan tersebut, pendapat K.
Martono tersebut tidak memberikan dasar argumentasi, apa yang membedakan kematian
dalam pesawat merupakan kecelakaan dan bukan merupakan kecelakaan. Tidak juga
ada analisis tentang mengapa kasus kematian Munir termasuk kematian dalam
pesawat yang bukan merupakan kecelakaan. Karena hal-hal tersebut di atas, maka
pernyataan K. Martono dalam bukunya tentang kasus kematian Munir bukan
merupakan kecelakaan harus diabaikan
karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Oleh karenanya,
TERBANDING menyatakan bahwa majelis hakim tingkat pertama di PN Jakarta Pusat telah tepat mengartikan peristiwa yang
menimpa alm Munir termasuk dalam pengertian accident
menurut Konvensi Warsawa 1929 dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.
Bahwa ahli Fachri Mahmud di persidangan menyatakan tidak
ada pengertian accident dalam Konvensi Warsawa 1929 sebagaimana dikutip dalam
putusan halaman 52 menyatakan sebagai berikut :
Dalam on board itu sendiri tidak kata mengenai crash, apabila penumpang
meninggal di pesawat udara maka pesawat udara tersebut harus bertanggungjawab,
jadi kematian atau luka pada penumpang itu tidak harus terkait dengan
kecelakaan pesawat itu sendiri.
2.
Bahwa ahli TERGGUGAT sekarang PEMBANDING yaitu K. Martono
dalam persidangan juga menyatakan tentang tidak adanya penjelasan mengenai accident dalam Konvensi Warsawa 1929,
“Apakah ada definisi yang jelas dalam
Konvensi Warsawa tentang accident ? Tidak ada”
3.
Bahwa karenanya dapat disimpulkan bahwa ketiadaan
pengertian atau definisi dalam Konvensi Warsawa 1929 menimbulkan hak kepada
hakim untuk menafsirkan pengertian accident dalam pasal 17 Konvensi Warsawa 1929.
4.
Bahwa hak menafsirkan pengertian accident tersebut, juga
dinyatakan oleh ahli dari pihak Tergugat yaitu K. Martono, seperti tercantum
dalam putusan halaman 60 :
“Bahwa aturan Konvensi Warsawa, penafsirannya tergantung
hakim masing-masing Negara”
5.
Bahwa dalam menafsirkan kata ’accident’ tersebut tentu
terdapat pegangan yaitu teori-teori interpretasi, pendapat ahli, dan pendapat
hakim yang pernah ada mengenai permasalahan yang sama.
6.
Bahwa mengenai penafsiran accident dapat ditemuai dalam
pendapat hakim pada Putusan pengadilan United States
Court of Appeals District of Columbia Circuit KLM Royal Dutch Airlines Holland
v. Tuller, 1961[1].
Dalam kasus tersebut, Pengadilan mengabulkan gugatan Penggugat yang menggugat
atas dasar willful misconduct bukan
karena kecelakaan pesawat tetapi kegagalan untuk bertindak dalam suatu kondisi,
kegagalan dalam menjalankan kewajibannya mengenai keselamatan, yaitu :
(1) failure to properly instruct passengers of the location of life vests and in their use’
(2) failure to broadcast an emergency message;
(3) failure to take steps to provide for the safety of Tuller after his peril was known;
(4) failure of SABENA to be aware of the loss of radio communication with the plane and to initiate prompt search and rescue operations.
7. Bahwa
ahli
Tergugat, K. Martono, juga menyatakan pengertian yang luas dari accident. Dalam bukunya yaitu Hukum
Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional buku kedua
terbitan Mandar Maju tahun 1995 dalam halaman 97 dinyatakan :
“Di Amerika Serikat perkataan occurance atau happening
termasuk : “kecelakaan” apabila hal itu merupakan suatu hal yang luar biasa,
suatu hal yang tidak bisa terjadi sebagaimana mestinya.”
8.
Investigasi dan laporan investigasi Tergugat
I (Safety Hazardous Report) jelas-jelas
mengkategorikan kematian Munir sebagai accident
on board
-
Bahwa Tergugat I mengeluarkan dokumen hasil investigasi
yaitu Safety Hazardous Report subject “Death on Board
GA 974 B747-400 PK-GSG SIN-AMS, Sept. 7th 2004 No. INV/OZI/B744/001/04
Basis No. 24/04/744.
-
Bahwa dalam dokumen tersebut dinyatakan investigasi ini
dilakukan berdasarkan kewajiban menurut annex 13.
-
Bahwa karenanya investigasi dan dokumen investigasi Safety Hazardous Report merupakan bukti dan bentuk pengakuan Tergugat I bahwa kematian Munir di dalam
pesawat tersebut sebagai accident on Board
9.
Bahwa dengan demikian dapat diartikan kecelakaan yang
dimaksud dalam konvensi Warsawa 1929 tidak hanya kecelakaan pesawat.
II.
TERPENUHINYA PERBUATAN MELAWAN HUKUM; JELAS DAN TERBUKTI SECARA SAH
BERDASARKAN HUKUM
Majelis Hakim yang terhormat,
Kami hendak menegaskan kembali pengertian Perbuatan
Melawan Hukum sebagaimana dalam gugatan kami, yaitu ketidakprofesionalan PARA PEMBANDING/TERGUGAT dalam menjalankan
kewajibannya baik dengan willfullmisconduct
(kesengajaan) MAUPUN gross negligance
(kelalaian).
Kewajiban yg dimaksud adalah kewajiban sebagaimana diatur
dalam pasal 17 Konvensi Warsawa, pasal 23 UU No. 15 Tahun 1992 tentang
Pengangkutan Udara, pasal 1 dan pasal 80 PP No. 3 Tahun 2001, aturan internal
Garuda (BOM 5.2.1), asas volenti non
fit injuria, asas res ipsa loquitur, kaidah
tata susila, asas kepatutan, dan ketelitian serta sikap hati-hati.
Terdapat beberapa fakta hukum yang membuktikan
ketidakprofesionalan PARA PEMBANDING, yaitu :
A.
Putusan MA No.
No 1185 K/Pid/2006
Bahwa sesuai dengan hukum penerbangan Internasional,
nasional dan aturan internal Garuda, penerbangan harus dilakukan secara aman,
nyaman dan selamat. Hal ini ditegaskan pula oleh saksi yang dihadirkan Para
Pembanding (dahulu Tergugat) bahwa ”keamanan dan keselamatan menjadi kewajiban nomor satu dari kewajiban
pihak pengangkut / perusahaan penerbangan”.
Bahwa dalam Peraturan
Pemerintah No.3 tahun 2001
tentang Keselamatan dan Kemanan Penerbangan, pasal 1 ditegaskan definisi dan
prinsip sebagai berikut :
§ keamanan
penerbangan adalah keadaan yang terwujud
dari penyelenggaraan penerbangan yang bebas dari gangguan dan/atau tindakan
yang melawan hukum
§ keselamatan
penerbangan adalah keadaan yang terwujud
dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan
persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta
penunjangnya;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No 1185
K/Pid/2006 yang memutuskan ekstra crew
Pollycarpus (Tergugat V) telah terbukti menggunakan surat resmi yang cacat
hukum (menggunakan surat palsu) dalam menjalankan tugas resminya untuk
melakukan operasional GA 974 JKT-AMS (vide putusan MA No 1185 K/Pid/2006 point
ke-3).
Bahwa dalam putusan
tersebut juga tercantum fakta hukum
bahwa surat resmi yang cacat hukum tersebut telah dikeluarkan oleh Tergugat
Ramelgia Anwar.
Bahwa dengan demikian telah terbukti secara sah berdasarkan hukum penerbangan GA 974 JKT-AMS 6
Sep 2004 di operasikan dengan melawan
hukum. Karenanya telah jelas serta terbukti secara hukum (melalui putusan MA)
penerbangan GA 974 JKT – Ams adalah penerbangan yang melawan hukum yang tidak
sesuai dengan hukum penerbangan Internasional dan nasional khususnya PP 3/2001 dan aturan Internal PT.
Garuda.
B.
Putusan PK No
109 PK/Pid/2007
Bahwa bahkan ketidakprofesionalan Pollycarpus (Tergugat
V) bukan hanya dalam bentuk menggunakan surat palsu, melainkan juga melakukan
pembunuhan berencana terhadap korban (Munir).
Bahwa berdasarkan Putusan PK No 109 PK/Pid/2007, majelis hakim memutuskan
bahwa Pembanding/Tergugat Pollycarpus Budihari Priyanto terbukti secara sah dan
meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : melakukan pembunuhan
berencana dan melakukan pemalsuan surat, oleh karenanya dipidana penjara selama
dua puluh tahun penjara.
C.
Putusan PN No.
1849/Pid.B/2007/PN.JKT.PST
Bahwa pembunuhan berencana yang dilakukan oleh
Pembanding/Tergugat Pollycarpus, juga melibatkan Direktur Garuda (Indra
Setiawan)
Bahwa dalam Putusan PN No. 1849/Pid.B/2007/PN.JKT.PST,
majelis hakim memutuskan bahwa Indra Setiawan (Tergugat II) telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Membantu melakukan
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana, dan oleh karenanya dipidana penjara selama
satu tahun (vide putusan PN No. 1849/Pid.B/2007/PN.JKT.PST, point 1 dan 2)
D.
Temuan Internal
Tergugat I
Bahwa setelah kematian alm. Munir dalam pesawat Tergugat
I, pihak Tergugat berdasarkan kewajiban Hukum Penerbangan Internasional melakukan investigasi internal. Hasil Investigasi tersebut dilaporkan dalam Safety Hazardous
Report subject “Death on Board GA 974 B747-400 PK-GSG SIN-AMS, Sept. 7th
2004 No. INV/OZI/B744/001/04 Basis No. 24/04/744, yang dikeluarkan pada 19
Oktober 2004 dan disusun (prepared by) oleh Hartati, Betty Nila P dan Boy
Umarsyah dan diverifikasi oleh Capt. Novianto Herupratomo dan disetujui oleh
Capt. A Krismanto.
Bahwa laporan tersebut mengemukakan berbagai
fakta ketidakprofesionalan Para Tergugat dalam menjalankan kewajiban hukumnya
sebagai berikut :
- Pengakuan Gagalnya Menjalankan Basic Operation Manual (BOM) dengan baik dan benar dalam Penanganan Sakit
Bahwa dalam hal ini PiC Gagal melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
BOM 5.2.1 (Bukti P-18) dimana PiC disyaratkan
untuk mengikuti prosedur tertentu jika penumpang mengalami sakit serius di
pesawat sebagai berikut :
1.
Memutuskan, dengan berkonsultasi dengan purser/senior
cabin attendant, perlu atau tidak meneruskan penerbangan sesuai rencana
2.
Jika ragu, maka selalu minta saran medis dari darat
3.
Jika ada dokter medis atau perawat di pesawat, maka minta
sarannya. Meskipun begitu, saran
tersebut tidak mengikat, karena saran tersebut tidak mengurangi
tanggung jawab Garuda Indonesia atas penumpang yang sakit.
Bahwa walaupun Purser dan PiC telah mengkonsultasikan
dengan dokter yang kebetulan ada di dalam pesawat, dalam penanganan berikutnya
terdapat beberapa kesalahan prosedur khususnya mengenai kewajiban Pilot in
Command (PiC) untuk mendaratkan pesawat dalam hal terdapat penumpang yang sakit
parah.
Bahwa dalam laporan Fakta yang
ditemukan dalam Safety
Hazardous Report terdapat pengakuan bahwa :
”PiC
discuss about the condition of sick passenger and need recommendation from
doctor if the emergency landing to saved Mr. Munir must be done, but doktor
didn’t gave any comment”
Laporan
ini menunjukkan PiC ragu akan tindakan yang harus diambilnya dalam penanganan
sakitnya alm Munir.
Bahwa laporan Fakta yang
ditemukan dalam Safety
Hazardous Report
terdapat juga fakta bahwa:
“before
Mr Munir dead, PiC didn’t make any contact seeking of medical advice from the
ground …”;
Bahwa PiC telah melalaikan kewajibannya sebagaimana yang
diatur dalam BOM. PiC tidak
mendaratkan pesawat agar Munir mendapatkan perawatan
berikutnya walaupun PiC tahu Munir telah dalam kondisi sangat kritis seperti
pengakuan para awak kabin. Terlebih PiC juga mengetahui bahwa pertolongan
pertama yang diberikan dr. Tarmizi tidak maksimal berkaitan ketidaklengkapan
medical kit. Sehingga dapat diyakini jika Munir mendapat pertolongan
lebih baik di darat maka sakitnya akan tertolong dan nyawanya dapat
diselamatkan.
Majelis Hakim yang terhormat,
Dalih PARA PEMBANDING yang menyatakan bahwa Munir sudah
ditangani oleh penumpang yang kebetulan dokter, sehingga PiC percaya, jelas dalih yang dipaksakan. Bahwa Kesalahan
fatal yang dilakukan PiC adalah ketika dokter tidak memberikan
jawaban/komentar, PiC tidak melakukan kewajibannya untuk meminta saran medis
dari darat sesuai BOM. Lebih fatal lagi, PiC tidak mengerti dengan benar isi
dari BOM bahwa kalaupun dr. Tarmizi memberikan saran saat itu, saran itu tidak
mengikat dan saran itu tidak melepaskan tanggung jawab Garuda atas Munir
Bahwa menurut BOM 5.2.1, jika penumpang sakit serius, PiC
harus memutuskan, dengan berkonsultasi dengan purses/senior attendent perlu
atau tidak meneruskan penerbangan sesuai rencana dan jika ragu, maka selalu
minta saran medis dari darat. Ternyata PiC tidak melakukan permintaan saran
medis dari darat. Menurut pasal 1365 KUHPerdata, setiap orang bertanggungjawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga yang
disebabkan karena kelalaian atau kekuranghati-hatian.
b.
Pengakuan pemindahan tempat duduk tidak beralasan dan
melawan hukum
Bahwa dalam Basic
Operation Manual (BOM) date Jan 1,1998, issue No 2
BOM 5.1.4 page 1 diatur tentang perpindahan tempat dengan syarat dan
prosedur dalam hal terjadi peningkatan atau penurunan kelas penumpang yaitu
terjadi dalam hal :
o
“in
case of up-or downgrading a note should be made on the passenger information
sheet and PiC as well as the purser should be informned before embarkation of passengers.
o
Economy
class passengers on the following conditions may occupy First class seats:
§ In case of overselling, according to current
upgrading sequence rules.
§ In those cases were, for ad-hoc tecnichal
reasons, a mixed configuration aircraft is scheduled to fly on an all economy
service, it is not against IATA rules that economy class passenger occupy fist
class seats“;
Bahwa putusan MA No. No 1185 K/Pid/2006 telah membuktikan Munir dipindahkan
tempat duduknya dari 40G ke 3K oleh Tergugat V dan diketahui oleh Tergugat VIII
Bahwa dalam laporan Safety Hazardous
Report hal 9 ditemukan fakta bahwa
“For unknowingly reason, he (Munir) moved to business class…”
Bahwa juga diakui oleh Purser
Brahmani Hastawati (Tergugat VIII)
“... untuk ekonomi ke bisnis tidak boleh”; vide Bukti P-6
halaman 33”
Bahwa
dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa :
1.
kapten pilot maupun purser seperti tercantum dalam
halaman 30 dan 33 putusan pidana No.1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST tanggal 20
Desember 2005 tersebut di atas, pilot dan purser tidak tahu dan tidak pernah
diberitahu sebelum embarkasi penumpang.
2.
bahwa demikian pula pemindahan Munir dari kelas ekonomi
ke kelas bisnis tidak dicatat dalam passenger information sheet.
Setidaktidaknya tergugat I telah gagal membuktikan bahwa pencatatan dimaksud
telah dilakukan.
3.
bahwa pemindahan penumpang bisa dilakukan bila terjadi overselling, yaitu jumlah tiket
kelas ekonomi yang dijual melebihi jumlah kursi yang ada dalam pesawat dan hal ini tidak terbukti.
4.
bahwa telah terbukti pula penerbangan GA 974
Jakarta-Singapura, merupakan pesawat dengan konfigurasi campuran, bukan pesawat
dengan konfigurasi yang semuanya kelas ekonomi. Itu dapat dilihat dari
kenyataan bahwa Munir dipindah dari kelas ekonomi ke kelas bisnis.
Bahwa dengan demikian pemindahan tempat duduk Munir dari
kelas ekonomi ke kelas bisnis i.c merupakan
perbuatan melawan hukum atau dalam keterangan ahli Fachri Mahmud disebut
dengan unlawful upgrading.
Bahwa pemindahan tempat duduk yang unlawful
upgrading adalah termasuk perbutan
willful misconduct yang merupakan perbuatan melawan hukum menurut
konvesi Warsawa 1929.
c.
Pengakuan Kru
Tidak Profesional atau Sengaja Melawan
Hukum
Bahwa penerbangan GA 974 adalah penerbangan internasional
yang tertunduk pada regulasi dan standart Internasional. Bahwa dalam Safety Hazardous
Report dilaporkan bahwa:
“crew
did not really understood kind of reportable occurance should be reported on
ASR and CSR and which Department should be (the first hand) receiced the
preliminary report”
“crew
did not really understand international rules/regulation of ICAO annex 13 when
such incident/accident occurs in the country other than the original country of
the operator”
“crew
did not realize that wrapping or packaging of medicine and medical equipment
used by doctor during medical treatment, should kept as evidence”
Bahwa dalam
laporan tersebut jelas dan terang bahwa Kru dalam penerbangan GA 974 JKT –AMS 6
September 2004 tidak profesional dalam menjalankan tugasnya yaitu tidak
ada pencatatan, pembungkusan dan pengepakan pelayanan dan obat yang diberikan. Bahwa
hal ini merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak berkesesuaian dengan
Annex 13 maupun BOM.
Bahwa hal ini
juga membuktikan bahwa operasional GA 974 gagal memberikan jaminan bagi kemanan
dan keselamatan, yang ditimbulkan oleh minimnya standard kualitas kru dan
pemaksaan dari Pengangkut untuk tetap menjalankan operasi penerbangannya
walapun terbukti mereka tidak memenuhi standard tersebut.
III. TINDAKAN PARA PEMBANDING
MENIMBULKAN KERUGIAN YANG TIDAK TERHINGGA
Majelis Hakim yang terhormat,
Dalil PARA PEMBANDING yang menyatakan bahwa sudah melakukan upaya untuk menyelamatkan Munir
sesuai dengan prosedur keselamatan udara dengan mencarikan dokter dan
pengobatan yang peralatannya ada di doctor’s
kit, jelas bertentangan dengan fakta dalam SH@RE Investigation, yang
notabene merupakan laporan investigasi yang dikeluarkan oleh PT GARUDA sendiri.
Oleh karenanya, layak untuk diabaikan.
Dalam point ini, kami tetap pada pendapat kami dan
sependapat dengan majelis hakim PN Jakarta Pusat bahwa tanggung jawab PARA
PEMBANDING atas kerugian yang diderita TERBANDING/PENGGUGAT adalah tidak
terbatas.
Bahwa kalaupun mau dibatasi tanggungjawab PARA
PEMBANDING, kita bisa mengacu pada Ordonansi Pengangkutan Udara, khususnya
pasal 24, yang menetapkan secara limitatif pihak-pihak yang berhak atas ganti
rugi dalam hal penumpang meninggal, yaitu : istri atau istri-istri, anak atau
orang tua yang semasa hidupnya diberi nafkah olehnya. Dari kata-kata ini dapat
disimpulkan bahwa ganti rugi yang harus
dibayarkan untuk penumpang yang meninggal adalah minimal sebesar penghasilan yang dapat
diharapkan darinya andaikata ia masih hidup ( sumber : Prof E Suherman
SH, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan,
Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2000, hal. 247 )
IV.
KERUGIAN MUNCUL AKIBAT KETIDAKPROFESIONALAN
Majelis Hakim yang terhormat,
Argumentasi PARA PEMBANDING yang menyatakan bahwa
kematian Munir bukan karena salah penanganan, salah pengobatan maupun salah
perawatan, melainkan karena arsenic dan tidak konsultasinya PiC kepada ground
officer tidak menjadi penyebab meninggalnya Munir memiliki beberapa makna:
a.
PARA PEMBANDING sesungguhnya mengakui bahwa mereka telah
melakukan salah penanganan, salah pengobatan dan salah perawatan, namun
mengelak bahwa ketiga hal tersebut mengakibatkan kematian.
b.
Dalam point ini kami sepakat dengan alur yang dikemukakan
oleh majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama yang menyatakan bahwa PiC
tdk menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam BOM 5.2.1. Kelalaiannya
tsb menyebabkan alm Munir tidak mendapat perawatan yang maksimal sehingga
menimbulkan kerugian yaitu dengan meninggalnya alm Munir sekaligus kerugian
baik materiil maupun imateriil.
Demikian Kontra
Memori Banding ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim
tingkat Banding, dalam memeriksa perkara ini secara lebih jernih.
Jakarta, Mei
2008
Kuasa Hukum
TERBANDING dahulu PENGGUGAT
Asfinawati, S.H. Abu
Said Pelu, S.H.
Edwin Partogi, S.H. Hermawanto,
S.H.
Sudaryatmo,SH Muji
Kartika Rahayu,S.H.
Indria Fernida, S.H. M.
Choirul Anam, S.H.
Nurkholis Hidayat, S.H. Poengky
Indarti,SH.LLM
Ki Agus Ahmad, S.H. Trimoelja
D. S, S.H.
No comments:
Post a Comment