Pages

Saturday 1 November 2014

CONTOH KONTRA MEMORI BANDING






KONTRA MEMORI BANDING

Terhadap
Memori Banding yang diajukan oleh PT GARUDA,dkk, semula PARA TERGUGAT,
sekarang PARA PEMBANDING atas
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 Mei 2007
Dalam Perkara Perdata No: 277/Pdt.G./2006/PN.JKT.PST.


Kepada Yang Terhormat
Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Di JAKARTA

melalui :

Yang Terhormat,

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Di tempat


Dengan Hormat,
Perkenankan kami,

Asfinawati, S.H.                               Abu Said Pelu, S.H.

Edwin Partogi, S.H.                                    Hermawanto, S.H.

Ki Agus Ahmad, S.H.                     Muji Kartika Rahayu,S.H

Nurkholis Hidayat, S.H.                M. Choirul Anam, S.H.

Indria Fernida, S.H.                        Poengky Indarti,SH.LLM

Sudaryatmo,SH                               Trimoelja D. S, S.H.


Pengacara Publik dan Asisten Pengacara Publik yang berdomisili di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dengan alamat di Jalan Mendut Nomor 3 Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Mei 2008, bertindak untuk dan atas nama :

Nama                         : Suciwati
Alamat           : Jl Cendana XII No 12 Jaka Permai - Bekasi 
Selanjutnya disebut sebagai  TERBANDING semula PENGGUGAT


TERBANDING dengan ini  bermaksud menyampaikan Kontra Memori Banding atas Memori Banding yang diajukan oleh PARA PEMBANDING, dahulu TERGUGAT,  yang permohonannya telah diajukan pada tanggal 22 Oktober 2007


Majelis Hakim yang terhormat,

Sebelum menanggapi memori banding Para Pembanding, kami akan menegaskan kembali beberapa hal berikut ini :

Gugatan Suciwati kepada Para Tergugat adalah gugatan PMH atas ketidakprofesionalan Tergugat memenuhi kewajibannya sehingga mengakibatkan kondisi tidak nyaman, tidak aman, serta tidak selamat. PMH ini dilakukan oleh Para Tergugat dengan cara willfulmisconduct (kesengajaan) maupun gross negligence (kelalaian yang amat sangat mendekati kesengajaan). Sehingga tidak benar sama sekali yang ditulis Para Pembanding dalam memori bandingnya jika gugatan Terbanding dulu Penggugat adalah tentang  pembunuhan munir.

Bahwa kewajiban Para Pembanding didasarkan pada hukum penerbangan internasional dan nasional yaitu Konvensi Warsawa 1929 yang telah diakui berlaku bagi maskapai Indonesia untuk penerbangan Internasional, UU 83/1958, PP serta aturan internal yang mengikat Para Pembanding yaitu Basic Operasional Manual (BOM) yang pada intinya mengatur bagaimana operasional penerbangan Garuda sesuai dengan ketentuan hukum penerbangan baik Internasional dan Nasional.   

Bahwa di luar aturan hukum tersebut, terdapat  asas hukum yang mengikat penerbangan internasional yaitu

asas volenti non fit injuria,  untuk sesuatu yang dijalankan, resikonya sudah diperhitungkan.

      asas res ipsa loquitur ,  suatu kesalahan/kelalaian yang sudah sedemikian jelasnya, sehingga orang awam pun tahu bahwa telah terjadi kesalahan/kelalaian (the thing speaks for itself).

Bahwa penerbangan yang dilakukan secara melawan hukum mengakibatkan tanggung jawab Para Pembanding mutlak dan tidak terbatas

Dalam Memori Banding nya, PARA PEMBANDING menyampaikan keberatan terhadap Putusan PN Jakarta Pusat No: 277/Pdt.G./2006/PN.JKT.PST, terkait lima hal yaitu pengertian kecelakaan/accident, terpenuhinya unsur Perbuatan Melawan Hukum, terpenuhinya unsur Menimbulkan Kerugian, terpenuhinya unsur Kesalahan, dan terpenuhinya Unsur Hubungan Sebab-Akibat. Dalam Kontra Memori Banding ini, kami akan memaparkan tanggapan kami terhadap masing-masing point  tersebut.


I.                  KEMATIAN MUNIR ADALAH ACCIDENT DALAM HUKUM PENERBANGAN INTERNASIONAL

Dalam Memori Banding nya, PARA PEMBANDING menolak pertimbangan hukum Putusan hakim tingkat pertama, yang dimuat pada halaman 73 alenia ke-2. Selanjutnya PARA PEMBANDING berpendapat bahwa accident harus ada hubungannya dengan pengoperasian pesawat sedangkan kematian Munir karena kandungan racun arsenik. Pendapat tersebut mereka dasarkan pada Annex 13 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Chicago Convention), pendapat ahli Mudigdo Theodore Henry Purnama, Dr. Martono, SH. LLM dan Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan.

Terhadap dalil tersebut, kami berkepentingan untuk memberikan tanggapan sebagai berikut :

1.      Pengertian accident menurut Annex 13 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional
      PARA PEMBANDING telah menulis bahwa accident menurut Annex 13 Konvensi Penerbangan Sipil adalah suatu kejadian yang berkaitan dengan operasi pesawat yg terjadi antara waktu seseorang menaiki pesawat udara dengan maksud mengikuti penerbangan pesawat sampai suatu waktu dimana semua orang di atas pesawat telah turun dari pswat, dimana seseorang meninggal dunia atau mengalami luka-luka berat sebagai akibat dari keberadaannya di dalam pesawat udara tersebut, atau benturan langsung dengan bagian manapun dari pesawat udara atau terkena semburan langsung mesin jet pesawat. (putusan hal 73, baris ke-11 dari atas)
     
      Kami berpendapat bahwa pengambilan kutipan tersebut sangat menyesatkan, dengan alasan: 
b.            Bahwa Annex 13 yang dimaksudkan oleh PARA PEMBANDING merupakan bagian dari Convention on International Civil Aviation yang biasa disebut Konvensi Chicago 1944. Annex 13 selengkapnya berjudul Aircraft Accident and Incident Investigation.

c.             Bahwa PARA PEMBANDING telah pula menyatakan hal ini dalam memori bandingnya halaman 4 “pengertian kecelakaan/accident menurut Annex 13 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional .…”

d.           Bahwa oleh karenanya, Annex 13 bukanlah penjelasan Konvensi Warsawa 1929 melainkan pengaturan lebih lanjut Konvensi Chicago 1944, berupa Standar Internasional dan Praktek yang direkomendasikan (International Standards and Recommended Practice).

e.            Bahwa dasar gugatan PENGGUGAT, sekarang TERBANDING adalah konvensi Warsawa tahun dan bukan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation/ Konvensi Chicago 1944), maka dalil PEMBANDING yang menggunakan pengertian dalam Annex 13 salah total karena TIDAK NYAMBUNG.

f.              Bahwa tidak dapatnya pengertian accident dalam Annex 13 Konvensi Chicago 1944 digunakan untuk accident dalam Konvensi Warsawa 1929 dinyatakan pula oleh K. Martono yang dijadikan ahli oleh PEMBANDING sendiri, dalam bukunya Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional buku kedua terbitan Mandar Maju tahun 1995. Pada halaman 87 dan 97 buku tersebut menyatakan :

“Stb 1939-100 (Ordonansi Pengangkutan Udara) masih relevan dipertahankan, sejalan dengan Konvensi Warsawa 1929… .”

“Di dalam annex 13 tentang Aircraft Accident Investigation terdapat istilah accident atau incident tetapi kedua istilah tersebut tidak cocok untuk diterapkan dalam Stb. 1939-100.”

    1. Bahwa di luar persoalan tidak berhubungannya Annex 13 dengan Konvensi Warsawa 1929, PARA PEMBANDING juga memanipulasi pengaertian dengan cara memotong serta tidak menyajikan secara utuh ketentuan dalam Annex 13. Salah satu ketentuan Annex 13 mengartikan ‘accident’ sebagai “a person is fatally or seriously injured as a result of : — being in the aircraft” (chapter 1 definitions, a), yang dapat diambil pengertian bahwa accident tidak harus berupa tejadinya kecelakaan pesawat tetapi dapat juga seseorang yang luka serius sebagai akibat berada di dalam pesawat.

2.      Pengertian accident menurut saksi ahli Mudigdo Theodore Henry Purnama (putusan hal 56, point ke-5)
PARA PEMBANDING juga mendasarkan pengertian accident pada pendapat ahli Mudigdo Theodore Henry Purnama, sebagai  kejadian yang berkaitan dengan pengoperasian pesawat yang mengakibatkan kerusakan, luka-luka atau kematian. Pembunuhan bukan accident karena tidak termasuk dalam pengoperasian pesawat.

TERBANDING menilai bahwa dalil ini sangat dipaksakan oleh karenanya kami menolak dengan tegas, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1)      Sdr. Mudigdo Theodore Henry Purnama dulunya adalah seorang pilot Garuda tapi didatangkan oleh Tergugat sekarang PARA PEMBANDING sebagai ahli penerbangan.
2)      Sdr. Mudigdo sendiri, di depan persidangan, secara tegas menyatakan bahwa dia bukan ahli hukum penerbangan internasional dan tidak menguasai Konvensi Warsawa 1929.
3)      Bahwa karenanya pendapat ahli ini mengenai pengertian accident dalam Konvensi Warsawa 1929 diluar keahliannya dan karenanya harus diabaikan.

3.      Selanjutnya, PARA PEMBANDING juga mendasarkan pengertian accident pada pendapat Dr. Martono, SH. LLM (putusan hal 58, alenia paling bawah), yang menyatakan bahwa accident adalah kecelakaan, sedangkan incident adalah kejadian. Dalam dunia penerbangan accident atau kecelakaan adalah suatu peristiwa di luar kemampuan manusia yang terjadi saat penumpang naik dari pelabuhan udara atau bandara keberangkatan sampai bandara tujuan dan di mana terdapat suatu kematian, luka, sakit atau kerugian ada yang disebabkan benturan dari badan pesawat udara atau pesawat udara itu perlu adanya suku cadang yang harus diganti atau kerusakan struktural atau luka dansebagainya karena semburan mesin pesawat udara atau pesawat udara tersebut hilang sama sekali.

Terhadap dalil tersebut, kami merasa perlu melakukan klarifikasi sebagai berikut:
a.      Bahwa keterangan ahli Martono di persidangan tingkat pertama yang dikutip oleh PEMBANDING pada halaman 6 Memori Banding adalah definisi yang diambil dari annex 13 seperti dinyatakan oleh ahli Martono di persidangan. Sehingga saat ditanya adakah pengertian accident dalam Konvensi Warsawa 1929 dia menyatakan tidak ada penjelasannya.

b.      Bahwa dalam persidangan, keterangan ahli Martono patut diindikasikan telah berpihak atau tidak netral seperti dibuktikan di bawah ini :
(1)     Ia tidak menyatakan bahwa definisi accident yang disebutkannya berasal dari annex 13 sehingga terdapat kesan bagi yang tidak tahu bahwa definisi itu berasal dari Konvensi Warsawa 1929. Hal itu baru diakuinya saat ditanya dari mana asal definisi accident yang disebutkannya itu;
(2)     Setelah pengakuan tersebut, ia juga baru mengakui setelah ditanya bahwa dalam Konvensi Warsawa 1929 tidak ada pasal maupun yang menjelaskan definisi accident
(3)     Keterangannya yang mengkaburkan antara definisi accident dalam annex 13 Konvensi Chicago 1944 dengan accident dalam Konvensi Warsawa 1929, bertolak belakang dengan buku karangannya sendiri. Seperti yang sudah dinyatakan di atas, K. Martono dalam bukunya  Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional buku kedua terbitan Mandar Maju tahun 1995, ia menyatakan bahwa definisi accident dalam annex 13 tidak tepat diterapkan untuk Konvensi Warsawa 1929. 

4.      Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 111)
Dasar argumentasi PARA PEMBANDING tentang pengertian accident, yang terakhir adalah buku  Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 111) yang menyatakan bahwa kematian dalam pesawat udara adalah kematian yang terjadi dalam pesawat udara, tidak selalu merupakan kecelakaan pesawat udara, misalnya kasus kematian Munir bukan termask kecelakaan pesawat udara.

Mengenai Buku K. Martono tahun 2007 yang berjudul Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan yang dijadikan argumentasi oleh PEMBANDING dahulu TERGUGAT dalam memori banding halaman 6 ini, kami menolak dengan tegas dalil tersebut dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a.            Bahwa buku tersebut terbit pada tahun 2007 dan saat ahli (K. Martono) memberikan keterangan di persidangan, ia mengatakan buku tersebut belum selesai, sebagaimana dikatakan :

saya ini sedang menyusun Kamus Hukum Penerbangan

b.            Bahwa karenanya tulisan dalam buku barunya ini tendensius tidak netral, mengingat buku ini ditulis dalam kapasitas atau setelah ia menjadi ahli dari pihak Tergugat (Garuda, dkk.). Hal ini terbukti dari buku barunya ini bertentangan dengan buku ia sebelumnya.

c.             Bahwa buku ini juga tidak dijadikan bukti di persidangan.

d.           Bahwa di luar hal-hal di atas, melihat lebih jauh tentang Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan tersebut, keterangan mengenai accident terdapat pada halaman 111.

e.            Pada halaman 111 buku tersebut, dinyatakan

Kecelakaan (Accident). (1). Pengertian. Menurut Annex 13 Konvensi Chicago 1944 dikenal dua pengertian masing-masing (a) kecelakaan (accident) dan (b) kejadian (incident)

f.              Bahwa dari keterangan tersebut membuktikan bahwa dalil TERBANDING dahulu PENGGUGAT adalah benar. Annex 13 merupakan bagian dari Konvensi Chicago 1944 dan bukan Konvensi Warsawa 1929.

g.            Bahwa masih dalam halaman yang sama dinyatakan

Kecelakaan (Accident). (6) Kematian dalam pesawat udara. Kematian yang terjadi dalam pesawat udara tidak selalu merupakan kecelakaan pesawat udara, misalnya kasus kematian Munir bukan termasuk kecelakaan pesawat udara;

h.            Bahwa pengertian ke 6 dari accident tersebut adalah kematian dalam pesawat udara atau seperti telah dikutip TERBANDING dalam bahasa Inggrisnya “being in the aircraft”. Karenanya hal ini lagi-lagi menguatkan dalil TERBANDING/PENGGUGAT bahwa accident tidak selalu berarti luka atau meninggal yang disebabkan benturan pesawat tetapi juga luka atau kematian akibat berada dalam pesawat udara.

i.              Bahwa pengertian ke 6 tersebut semakin menguatkan indikasi tidak netralnya ahli K. Martono. Dalam pengertian no. 6 ini, kalimat yang ditebali “Kematian dalam pesawat udara” merupakan terjemahan langsung dari bagian Annex 13 Konvensi Chicago 1944. Sedangkan kalimat selanjutnya merupakan tambahan keterangan dari K. Martono.

j.              Bahwa tambahan keterangan ini saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan “kematian dalam pesawat udara tidak selalu merupakan kecelakan pesawat udara,” a contrario berarti kematian dalam pesawat udara sebagian besar merupakan kecelakaan. Tetapi di sisi lain K. Martono menambahkan pendapatnya sendiri khusus untuk kasus kematian Munir.

k.            Bahwa selain dari pertentangan tersebut, pendapat K. Martono tersebut tidak memberikan dasar argumentasi, apa yang membedakan kematian dalam pesawat merupakan kecelakaan dan bukan merupakan kecelakaan. Tidak juga ada analisis tentang mengapa kasus kematian Munir termasuk kematian dalam pesawat yang bukan merupakan kecelakaan. Karena hal-hal tersebut di atas, maka pernyataan K. Martono dalam bukunya tentang kasus kematian Munir bukan merupakan kecelakaan harus diabaikan karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Oleh karenanya, TERBANDING menyatakan bahwa majelis hakim tingkat pertama di PN Jakarta Pusat telah tepat mengartikan peristiwa yang menimpa alm Munir termasuk dalam pengertian accident menurut Konvensi Warsawa 1929 dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.            Bahwa ahli Fachri Mahmud di persidangan menyatakan tidak ada pengertian accident dalam Konvensi Warsawa 1929 sebagaimana dikutip dalam putusan halaman 52  menyatakan sebagai berikut :

Dalam on board itu sendiri  tidak kata mengenai crash, apabila penumpang meninggal di pesawat udara maka pesawat udara tersebut harus bertanggungjawab, jadi kematian atau luka pada penumpang itu tidak harus terkait dengan kecelakaan pesawat itu sendiri.

2.            Bahwa ahli TERGGUGAT sekarang PEMBANDING yaitu K. Martono dalam persidangan juga menyatakan tentang tidak adanya penjelasan mengenai accident dalam Konvensi Warsawa 1929,

“Apakah ada definisi yang jelas dalam Konvensi Warsawa tentang accident ? Tidak ada”

3.            Bahwa karenanya dapat disimpulkan bahwa ketiadaan pengertian atau definisi dalam Konvensi Warsawa 1929 menimbulkan hak kepada hakim untuk menafsirkan pengertian  accident  dalam pasal 17 Konvensi Warsawa 1929.

4.            Bahwa hak menafsirkan pengertian accident tersebut, juga dinyatakan oleh ahli dari pihak Tergugat yaitu K. Martono, seperti tercantum dalam putusan halaman 60 :

“Bahwa aturan Konvensi Warsawa, penafsirannya tergantung hakim masing-masing Negara”

5.            Bahwa dalam menafsirkan kata ’accident’ tersebut tentu terdapat pegangan yaitu teori-teori interpretasi, pendapat ahli, dan pendapat hakim yang pernah ada mengenai permasalahan yang sama.

6.            Bahwa mengenai penafsiran accident dapat ditemuai dalam pendapat hakim pada Putusan pengadilan United States Court of Appeals District of Columbia Circuit KLM Royal Dutch Airlines Holland v. Tuller, 1961[1]. Dalam kasus tersebut, Pengadilan mengabulkan gugatan Penggugat yang menggugat atas dasar willful misconduct bukan karena kecelakaan pesawat tetapi kegagalan untuk bertindak dalam suatu kondisi, kegagalan dalam menjalankan kewajibannya mengenai keselamatan, yaitu :
 
(1)   failure to properly instruct passengers of the location of life vests and in their use’ 
(2)   failure to broadcast an emergency message;
(3)     failure to take steps to provide for the safety of Tuller after his peril was known;
(4)     failure of SABENA to be aware of the loss of radio communication with the plane and to initiate prompt search and rescue operations.

7.      Bahwa ahli Tergugat, K. Martono, juga menyatakan pengertian yang luas dari accident. Dalam bukunya yaitu Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional buku kedua terbitan Mandar Maju tahun 1995 dalam halaman 97 dinyatakan : 

“Di Amerika Serikat perkataan occurance atau happening termasuk : “kecelakaan” apabila hal itu merupakan suatu hal yang luar biasa, suatu hal yang tidak bisa terjadi sebagaimana mestinya.”


8.      Investigasi dan laporan investigasi Tergugat I (Safety Hazardous Report) jelas-jelas mengkategorikan kematian Munir sebagai accident on board

-          Bahwa Tergugat I mengeluarkan dokumen hasil investigasi yaitu Safety Hazardous Report subject “Death on Board GA 974 B747-400 PK-GSG SIN-AMS, Sept. 7th 2004 No. INV/OZI/B744/001/04 Basis No. 24/04/744.
-          Bahwa dalam dokumen tersebut dinyatakan investigasi ini dilakukan berdasarkan kewajiban menurut annex 13.
-          Bahwa karenanya investigasi dan dokumen investigasi Safety Hazardous Report merupakan bukti dan bentuk pengakuan Tergugat I bahwa kematian Munir di dalam pesawat tersebut sebagai accident on Board    

9.      Bahwa dengan demikian dapat diartikan kecelakaan yang dimaksud dalam konvensi Warsawa 1929 tidak hanya kecelakaan pesawat.


II.               TERPENUHINYA PERBUATAN MELAWAN HUKUM; JELAS DAN TERBUKTI SECARA SAH BERDASARKAN HUKUM

Majelis Hakim yang terhormat,
Kami hendak menegaskan kembali pengertian Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dalam gugatan kami, yaitu ketidakprofesionalan PARA PEMBANDING/TERGUGAT dalam menjalankan kewajibannya baik dengan willfullmisconduct (kesengajaan) MAUPUN gross negligance (kelalaian). 

Kewajiban yg dimaksud adalah kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 17 Konvensi Warsawa, pasal 23 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Pengangkutan Udara, pasal 1 dan pasal 80 PP No. 3 Tahun 2001, aturan internal Garuda (BOM 5.2.1), asas volenti non fit injuria, asas res ipsa loquitur, kaidah tata susila, asas kepatutan, dan ketelitian serta sikap hati-hati.

Terdapat beberapa fakta hukum yang membuktikan ketidakprofesionalan PARA PEMBANDING, yaitu :


A.    Putusan MA No. No 1185 K/Pid/2006 

Bahwa sesuai dengan hukum penerbangan Internasional, nasional dan aturan internal Garuda, penerbangan harus dilakukan secara aman, nyaman dan selamat. Hal ini ditegaskan pula oleh saksi yang dihadirkan Para Pembanding (dahulu Tergugat) bahwa ”keamanan dan keselamatan menjadi kewajiban nomor satu dari kewajiban pihak pengangkut / perusahaan penerbangan”.

Bahwa dalam Peraturan Pemerintah  No.3 tahun 2001 tentang Keselamatan dan Kemanan Penerbangan, pasal 1 ditegaskan definisi dan prinsip sebagai berikut :

§  keamanan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang bebas dari gangguan dan/atau tindakan yang melawan hukum
§  keselamatan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya;

Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No 1185 K/Pid/2006  yang memutuskan ekstra crew Pollycarpus  (Tergugat V) telah terbukti menggunakan surat resmi yang cacat hukum (menggunakan surat palsu) dalam menjalankan tugas resminya untuk melakukan operasional GA 974 JKT-AMS (vide putusan MA No 1185 K/Pid/2006 point ke-3).

Bahwa  dalam putusan tersebut  juga tercantum fakta hukum bahwa surat resmi yang cacat hukum tersebut telah dikeluarkan oleh Tergugat Ramelgia Anwar.

Bahwa dengan demikian telah terbukti secara sah berdasarkan hukum penerbangan GA 974 JKT-AMS 6 Sep 2004 di operasikan  dengan melawan hukum. Karenanya telah jelas serta terbukti secara hukum (melalui putusan MA) penerbangan GA 974 JKT – Ams adalah penerbangan yang melawan hukum yang tidak sesuai dengan hukum penerbangan Internasional dan nasional  khususnya PP 3/2001 dan aturan Internal PT. Garuda.



B.     Putusan PK No 109 PK/Pid/2007

Bahwa bahkan ketidakprofesionalan Pollycarpus (Tergugat V) bukan hanya dalam bentuk menggunakan surat palsu, melainkan juga melakukan pembunuhan berencana terhadap korban (Munir).

Bahwa berdasarkan Putusan PK  No 109 PK/Pid/2007, majelis hakim memutuskan bahwa Pembanding/Tergugat Pollycarpus Budihari Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : melakukan pembunuhan berencana dan melakukan pemalsuan surat, oleh karenanya dipidana penjara selama dua puluh tahun penjara.

C.    Putusan PN No. 1849/Pid.B/2007/PN.JKT.PST

Bahwa pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Pembanding/Tergugat Pollycarpus, juga melibatkan Direktur Garuda (Indra Setiawan)

Bahwa dalam Putusan PN No. 1849/Pid.B/2007/PN.JKT.PST, majelis hakim memutuskan bahwa Indra Setiawan (Tergugat II) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Membantu melakukan Tindak Pidana Pembunuhan Berencana, dan oleh karenanya dipidana penjara selama satu tahun (vide putusan PN No. 1849/Pid.B/2007/PN.JKT.PST, point 1 dan 2)


D.    Temuan Internal Tergugat I

Bahwa setelah kematian alm. Munir dalam pesawat Tergugat I, pihak Tergugat berdasarkan kewajiban Hukum Penerbangan Internasional  melakukan investigasi internal. Hasil Investigasi tersebut dilaporkan dalam Safety Hazardous Report subject “Death on Board GA 974 B747-400 PK-GSG SIN-AMS, Sept. 7th 2004 No. INV/OZI/B744/001/04 Basis No. 24/04/744, yang dikeluarkan pada 19 Oktober 2004 dan disusun (prepared by) oleh Hartati, Betty Nila P dan Boy Umarsyah dan diverifikasi oleh Capt. Novianto Herupratomo dan disetujui oleh Capt. A Krismanto.

Bahwa  laporan tersebut mengemukakan berbagai fakta ketidakprofesionalan Para Tergugat dalam menjalankan kewajiban hukumnya sebagai berikut :


  1. Pengakuan  Gagalnya  Menjalankan Basic Operation Manual (BOM)  dengan baik dan  benar dalam Penanganan Sakit
Bahwa dalam hal ini PiC Gagal  melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan BOM 5.2.1 (Bukti P-18) dimana PiC disyaratkan untuk mengikuti prosedur tertentu jika penumpang mengalami sakit serius di pesawat sebagai berikut :

1.      Memutuskan, dengan berkonsultasi dengan purser/senior cabin attendant, perlu atau tidak meneruskan penerbangan sesuai rencana
2.      Jika ragu, maka selalu minta saran medis dari darat
3.      Jika ada dokter medis atau perawat di pesawat, maka minta sarannya. Meskipun begitu, saran tersebut tidak mengikat, karena saran tersebut tidak mengurangi tanggung jawab Garuda Indonesia atas penumpang yang sakit. 

Bahwa walaupun Purser dan PiC telah mengkonsultasikan dengan dokter yang kebetulan ada di dalam pesawat, dalam penanganan berikutnya terdapat beberapa kesalahan prosedur khususnya mengenai kewajiban Pilot in Command (PiC) untuk mendaratkan pesawat dalam hal terdapat penumpang yang sakit parah.

Bahwa dalam laporan  Fakta yang ditemukan dalam Safety Hazardous Report terdapat pengakuan bahwa :

”PiC discuss about the condition of sick passenger and need recommendation from doctor if the emergency landing to saved Mr. Munir must be done, but doktor didn’t gave any comment

Laporan ini menunjukkan PiC ragu akan tindakan yang harus diambilnya dalam penanganan sakitnya alm Munir.

Bahwa laporan Fakta yang ditemukan dalam Safety Hazardous Report terdapat juga fakta bahwa:
“before Mr Munir dead, PiC didn’t make any contact seeking of medical advice from the ground …”;     

Bahwa PiC telah melalaikan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam BOM. PiC tidak
mendaratkan pesawat agar Munir mendapatkan perawatan berikutnya walaupun PiC tahu Munir telah dalam kondisi sangat kritis seperti pengakuan para awak kabin. Terlebih PiC juga mengetahui bahwa pertolongan pertama yang diberikan dr. Tarmizi tidak maksimal berkaitan ketidaklengkapan medical kit. Sehingga dapat diyakini jika Munir mendapat pertolongan lebih baik di darat maka sakitnya akan tertolong dan nyawanya dapat diselamatkan.   

Majelis Hakim yang terhormat,
Dalih PARA PEMBANDING yang menyatakan bahwa Munir sudah ditangani oleh penumpang yang kebetulan dokter, sehingga PiC percaya, jelas dalih yang dipaksakan. Bahwa Kesalahan fatal yang dilakukan PiC adalah ketika dokter tidak memberikan jawaban/komentar, PiC tidak melakukan kewajibannya untuk meminta saran medis dari darat sesuai BOM. Lebih fatal lagi, PiC tidak mengerti dengan benar isi dari BOM bahwa kalaupun dr. Tarmizi memberikan saran saat itu, saran itu tidak mengikat dan saran itu tidak melepaskan tanggung jawab Garuda atas Munir

Bahwa menurut BOM 5.2.1, jika penumpang sakit serius, PiC harus memutuskan, dengan berkonsultasi dengan purses/senior attendent perlu atau tidak meneruskan penerbangan sesuai rencana dan jika ragu, maka selalu minta saran medis dari darat. Ternyata PiC tidak melakukan permintaan saran medis dari darat. Menurut pasal 1365 KUHPerdata, setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga yang disebabkan karena kelalaian atau kekuranghati-hatian.


b.      Pengakuan pemindahan tempat duduk tidak beralasan dan melawan  hukum  
Bahwa dalam  Basic Operation Manual (BOM) date Jan 1,1998, issue No 2 BOM 5.1.4 page 1 diatur tentang perpindahan tempat dengan syarat dan prosedur dalam hal terjadi peningkatan atau penurunan kelas penumpang yaitu terjadi dalam hal :

o   “in case of up-or downgrading a note should be made on the passenger information sheet and PiC as well as the purser should be informned before embarkation of passengers.
o   Economy class passengers on the following conditions may occupy First class seats:
§  In case of overselling, according to current upgrading sequence rules.
§  In those cases were, for ad-hoc tecnichal reasons, a mixed configuration aircraft is scheduled to fly on an all economy service, it is not against IATA rules that economy class passenger occupy fist class seats“;

Bahwa putusan MA No. No 1185 K/Pid/2006 telah membuktikan Munir dipindahkan tempat duduknya dari 40G ke 3K oleh Tergugat V dan diketahui oleh Tergugat VIII

Bahwa dalam laporan Safety Hazardous Report hal 9 ditemukan fakta bahwa
                 
For unknowingly reason, he (Munir) moved to business class…”
     
Bahwa juga diakui oleh Purser Brahmani Hastawati (Tergugat  VIII) 

“... untuk ekonomi ke bisnis tidak boleh”; vide Bukti P-6 halaman 33” 

Bahwa dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa :
1.      kapten pilot maupun purser seperti tercantum dalam halaman 30 dan 33 putusan pidana No.1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST tanggal 20 Desember 2005 tersebut di atas, pilot dan purser tidak tahu dan tidak pernah diberitahu sebelum embarkasi penumpang.
2.      bahwa demikian pula pemindahan Munir dari kelas ekonomi ke kelas bisnis tidak dicatat dalam passenger information sheet. Setidaktidaknya tergugat I telah gagal membuktikan bahwa pencatatan dimaksud telah dilakukan.
3.      bahwa pemindahan penumpang bisa dilakukan bila terjadi overselling, yaitu jumlah tiket kelas ekonomi yang dijual melebihi jumlah kursi yang ada dalam pesawat dan hal ini tidak terbukti.
4.      bahwa telah terbukti pula penerbangan GA 974 Jakarta-Singapura, merupakan pesawat dengan konfigurasi campuran, bukan pesawat dengan konfigurasi yang semuanya kelas ekonomi. Itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa Munir dipindah dari kelas ekonomi ke kelas bisnis.

Bahwa dengan demikian pemindahan tempat duduk Munir dari kelas ekonomi ke kelas bisnis i.c merupakan perbuatan melawan hukum atau dalam keterangan ahli Fachri Mahmud disebut dengan unlawful upgrading.

Bahwa pemindahan tempat duduk yang unlawful upgrading adalah termasuk perbutan  willful misconduct yang merupakan perbuatan melawan hukum menurut konvesi Warsawa 1929.

c.       Pengakuan Kru Tidak  Profesional atau Sengaja Melawan Hukum
Bahwa penerbangan GA 974 adalah penerbangan internasional yang tertunduk pada regulasi dan standart Internasional. Bahwa dalam Safety Hazardous Report dilaporkan bahwa:

“crew did not really understood kind of reportable occurance should be reported on ASR and CSR and which Department should be (the first hand) receiced the preliminary report”

“crew did not really understand international rules/regulation of ICAO annex 13 when such incident/accident occurs in the country other than the original country of the operator”

“crew did not realize that wrapping or packaging of medicine and medical equipment used by doctor during medical treatment, should kept as evidence”
  
Bahwa dalam laporan tersebut jelas dan terang bahwa Kru dalam penerbangan GA 974 JKT –AMS 6 September 2004 tidak profesional dalam menjalankan tugasnya yaitu tidak ada pencatatan, pembungkusan dan pengepakan pelayanan dan obat yang diberikan. Bahwa hal ini merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak berkesesuaian dengan Annex 13 maupun BOM. 

Bahwa hal ini juga membuktikan bahwa operasional GA 974 gagal memberikan jaminan bagi kemanan dan keselamatan, yang ditimbulkan oleh minimnya standard kualitas kru dan pemaksaan dari Pengangkut untuk tetap menjalankan operasi penerbangannya walapun terbukti mereka tidak memenuhi standard tersebut.




III.     TINDAKAN PARA PEMBANDING MENIMBULKAN KERUGIAN YANG TIDAK TERHINGGA

Majelis Hakim yang terhormat,

Dalil PARA PEMBANDING yang menyatakan bahwa sudah  melakukan upaya untuk menyelamatkan Munir sesuai dengan prosedur keselamatan udara dengan mencarikan dokter dan pengobatan yang peralatannya ada di doctor’s kit, jelas bertentangan dengan fakta dalam SH@RE Investigation, yang notabene merupakan laporan investigasi yang dikeluarkan oleh PT GARUDA sendiri. Oleh karenanya, layak untuk diabaikan.

Dalam point ini, kami tetap pada pendapat kami dan sependapat dengan majelis hakim PN Jakarta Pusat bahwa tanggung jawab PARA PEMBANDING atas kerugian yang diderita TERBANDING/PENGGUGAT adalah tidak terbatas.     

Bahwa kalaupun mau dibatasi tanggungjawab PARA PEMBANDING, kita bisa mengacu pada Ordonansi Pengangkutan Udara, khususnya pasal 24, yang menetapkan secara limitatif pihak-pihak yang berhak atas ganti rugi dalam hal penumpang meninggal, yaitu : istri atau istri-istri, anak atau orang tua yang semasa hidupnya diberi nafkah olehnya. Dari kata-kata ini dapat disimpulkan  bahwa ganti rugi yang harus dibayarkan untuk penumpang yang meninggal adalah  minimal sebesar penghasilan yang dapat diharapkan darinya andaikata ia masih hidup ( sumber : Prof E Suherman SH,  Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2000, hal. 247 )


IV.                       KERUGIAN MUNCUL AKIBAT KETIDAKPROFESIONALAN

Majelis Hakim yang terhormat,
Argumentasi PARA PEMBANDING yang menyatakan bahwa kematian Munir bukan karena salah penanganan, salah pengobatan maupun salah perawatan, melainkan karena arsenic dan tidak konsultasinya PiC kepada ground officer tidak menjadi penyebab meninggalnya Munir memiliki beberapa makna:

a.      PARA PEMBANDING sesungguhnya mengakui bahwa mereka telah melakukan salah penanganan, salah pengobatan dan salah perawatan, namun mengelak bahwa ketiga hal tersebut mengakibatkan kematian.
b.      Dalam point ini kami sepakat dengan alur yang dikemukakan oleh majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama yang menyatakan bahwa PiC tdk menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam BOM 5.2.1. Kelalaiannya tsb menyebabkan alm Munir tidak mendapat perawatan yang maksimal sehingga menimbulkan kerugian yaitu dengan meninggalnya alm Munir sekaligus kerugian baik materiil maupun imateriil.


Demikian Kontra Memori Banding ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim tingkat Banding, dalam memeriksa perkara ini secara lebih jernih.



Jakarta, Mei 2008

Kuasa Hukum TERBANDING dahulu PENGGUGAT


Asfinawati, S.H.                                                                               Abu Said Pelu, S.H.


Edwin Partogi, S.H.                                                                                    Hermawanto, S.H.


Sudaryatmo,SH                                                                               Muji Kartika Rahayu,S.H.


Indria Fernida, S.H.                                                                        M. Choirul Anam, S.H.


Nurkholis Hidayat, S.H.                                                                Poengky Indarti,SH.LLM


Ki Agus Ahmad, S.H.                                                                     Trimoelja D. S, S.H.




[1] Lowenfeld, VI-58

No comments:

Post a Comment