PERKAWINAN MENURUT
HUKUM PERDATA NASIONAL
2.1. PENGERTIAN
PERKAWINAN
Dalam kehidupan bersama sejak
semula manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur, akan tetapi dalam kenyataan apa yang
dianggap teratur oleh seseorang, mungkin berbeda dengan keteraturan yang dianut oleh
orang lain, karena itu maka timbullah kaidah-kaidah dalam kehidupan bersama.
Kaidah-kaidah merupakan patokan-patokan bagaimana manusia hidup bertingkah laku
pantas. Kaidah-kaidah itulah yang kemudian dijadikan pedoman bertingkah laku
agar supaya tidak terjadi bentrokan antar kepentingan-kepentingan manusia dalam
pergaulan hidup.
Manusia memerlukan pasangan
hidup oleh karena manusia tidak dilengkapi dengan sarana mental dan
fisik untuk dapat hidup sendiri, sehingga manusia pribadi senantiasa
mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan sesamanya yang dikaitkan dengan
perkawinan. Perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat mempengaruhi
kedudukan seseorang di bidang hukum dan dalam masyarakat15. Dalam benak atau pikiran kita
perkawinan adalah suatu kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami isteri. Perkawinan bukanlah suatu lembaga yang mempunyai
pengertian begitu sederhana dan ala kadarnya, akan tetapi perkawinan adalah
suatu lembaga yang diadakan karena memang diperlukan dalam hidup manusia agar
terdapat ketentraman serta kesejahteraan dalam hidup manusia dan masyarakat.
Meskipun pada hakekatnya perkawinan adalah adanya kehidupan bersama antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi perkawinan memiliki
pengertian dan cara yang bermacam-macam
Pengertian perkawinan menurut beberapa sarjana diantaranya yaitu:
15 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum
Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), hal 1
a.
Menurut Prof. Subekti, SH dalam buku
"Pokok-Pokok Hukum Perdata" menyatakan perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.16
b.
Menurut Prof. Ali Afandi, SH perkawinan adalah suatu
persetujuan kekeluargaan. 17
c.
Menurut Prof. Mr.Paul Scholten perkawinan adalah hubungan
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
negara. 18
d.
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH perkawinan
yaitu suatu hidup bersama dan seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi
syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.
19 ww
e.
Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, SH Perkawinan
adalah suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi. 20
f.
Menurut K. Wantjik Saleh, SH perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.21
g.
Menurut Soerjono Soekanto perkawinan dipandang dan sudut
kebudayaan masyarakat, maka suatu perkawinan merupakan pengaturan perilaku manusia yang
bersangkut paut dengan kehidupan seksual. Perkawinan
Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hlm 23
17
Ali Afandi, Hukum
Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta:Rineka Cipta, 1997), hlm. 94
18 R.Soetojo
Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang
dan Hukum Keluarga (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 31
19 Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta: Sumur
Bandung, 1984),
hlm 7
20 Soediman
Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1984), hlm. 7
21 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1976), hlm. 14
dalam pengertian
masyarakat menyebabkan seorang laki-laki dan seorang
wanita tidak boleh secara
sembarangan melakukan hubungan seksual. 22 Dari uraian definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai
syaratsyarat dan caranya melangsungkan perkawinan, berserta akibat-akibat hukum
bagi pihak-pihak
yang melangsungkan perkawinan tersebut. 23
Menurut hukum perdata barat
yang diatur melalui ketentuan pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tidak memberikan suatu definisi mengenai perkawinan, perkawinan
menurut pasal tersebut menyatakan undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Yang dimaksud dalam hubungan
keperdataan ialah bahwa undang-undang tidak mencampuri tentang
upacara-upacara keagaman. Dalam pasal ini undang-undang menggangap bahwa
perkawinan hanya sebagai perjanjian lahiriah/keperdataan belaka sama seperti
perjanjian keperdataan lainnya, yang tidak mengandung nilai atau ikatan batiniah. Sehingga
berdasarkan ketentuan tersebut perkawinan hanya sah dan dianggap mempunyai
kekuatan hukum bila dapat dibuktikan adanya suatu akta perkawinan, yang dibuat oleh Pegawai Pencatatan
Perkawinan pada kantor Pencatatan Sipil.
Undang-undang tidak memperhatikan mengenai motif
perkawinan, unsur agama,
sosial dan keadaan biologis suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan. Jika melihat dari pasal 26 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dapat disimpulkan
bahwa perkawinan mempunyai segi negatif dan segi positif. 24 Adapun segi negatif adalah
22 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga (Bandung:
Alumni, 1980), hlm.16
23 op.cit,
hlm 38-39
24 Sri
Soesilowati Mandi, dkk, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta:
Gitamaya Jaya, 2005), hlm. 42-43
1.
Undang-undang tidak mencampuri upacara-upacara yang
mendahului adanya suatu perkawinan atau aturan-aturan.
2.
Undang-undang tidak memperhatikan larangan untuk kawin
seperti ditentukan dalam peraturan agama.
3.
Undang-undang tidak memperhatikan dan memperdulikan
faktor-faktor biologis calon atau pasangan suami isteri, misalnya kemandulan,
sehingga kemudian tidak bisa dijadikan alasan untuk terjadinya perceraian.
4.
Undang-undang tidak memperdulikan motif-motif atau
tujuan-tujuan yang mendorong
para pihak untuk melangsungkan suatu perkawinan, misalnya
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|||
|
|
|||
1.
Perkawinan berdasarkan asas monogami, yaitu seorang pria
hanya dapat kawin pada waktu yang bersamaan dengan seorang wanita, demikian
pula sebaliknya (pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
2.
Perkawinan pada hakekatnya berlangsung abadi, artinya
hanya diperbolehkan cerai mati, hal ini dapat dilihat dan pengertian lembaga
perkawinan itu sendiri yang
mana dikatakan perkawinan pada hakekatnya dimaksudkan untuk menyelenggarakan kesatuan hidup yang abadi dan
karenanya maka orang hanya diperbolehkan
cerai mati. Hal ini menutup kemungkinan terjadinya perceraian karena alasan
diluar yang telah diatur dalam ketentuan undang-undang.
3.
Pemutusan perkawinan selain dan kematian, misalnya karena
perceraian maka oleh undang-undang dibatasi secara limitatif, hal ini
selain mencegah mudahnya terjadi perceraian seperti disebutkan sebelumnya serta
memberikan adanya suatu kepastian hukum.
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diatur dalam pasal 1 ayat
1 definisi Perkawinan, yaitu:
16 "Perkawinan
adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." 25
Dalam pasal tersebut makna
yang terkandung dan ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak
hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin saja, akan tetapi
hams kedua-duanya. Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat.
Mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk
hidup bersama sebagai suami isteri dengan kata lain dapat disebut hubungan formil.
Hubungan formil ini nyata baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang
lain atau masyarakat. Sebaliknya, suatu ikatan batin adalah merupakan hubungan
yang tidak formil yaitu suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walaupun tidak
nyata, tapi ikatan itu hams ada karena tanpa adanya ikatan batin maka ikatan lahir
akan menjadi rapuh. Hal ini seyogyanya dapat dirasakan terutama oleh yang
bersangkutan. Dalam tahap permulaan untuk mengadakan perkawinan diawali oleh
adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama. Selanjutnya hidup
bersama itu tercermin dari adanya kerukunan dan setemsnya ikatan batin akan mempakan
inti ikatan lahir. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, mempakan fondasi
dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
Rumusan pengertian
perkawinan yang diatur dalam undang-undang perkawinan tersebut diatas memperhatikan
juga ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan pasal tersebut, maka
dapat diuraikan beberapa unsur perkawinan antara lain ialah : 27
a.
Unsur agama/kepercayaan
Unsur agama/kepercayaan dapat disimpulkan dari ketentuan
yang menentukan
bahwa perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian
bahwa perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian
25 Indonesia, Undang-undang tentang Perkawinan, UU NO. 1 Tahun 1974,
TLN No. 3019, ps
1.
26 K Wantjik Saleh, op cit. hlm 14-15
27 Wahyono Darmabrata, op.cit, hal 13-16
maka unsur agama/kepercayaan hams menjiwai perkawinan
(pasal 1 UndangUndang Perkawinan) unsur agama ini dapat pula disimpulkan dari pasal 2
ayat (1) Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian sahnya perkawinan tergantung pada agama/kepercayaan mempelai yang bersangkutan.
Undang-undang perkawinan, erat kaitannya dengan agama, hal ini juga dapat
kita simpulkan
dari ketentuan pasal 8 sub f yang mengatur tentang larangan perkawinan beda
agama. Pasal tersebut secara garis besar menentukan bahwa perkawinan dilarang
antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 51 ayat (3) undang-undang perkawinan,
dimana ditentukan bahwa wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya
dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan
kepercayaan anak tersebut.
b. Unsur Biologis
Undang-undang perkawinan, memberikan jalan keluar bagi
pasangan yang secara biologis tidak mampu memperoleh keturunan dengan
menentukan dalam pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan bahwa ketidak mampuan
isteri untuk melahirkan keturunan merupakan salah satu alasan untuk melakukan poligami
atau
beristeri lebih dan seorang. Ketentuan ini dapat dirasakan kurang adil karena dalam hal suami
yang tak mampu memberikan keturunan, isteri hams mampu untuk menahan diri dan berlaku
sabar, dalam arti bagi isteri undang-undang tidak memungkinkan bersuami lebih
dari seorang.
Selanjutnya pasal 7 ayat (2) undang-undang perkawinan menentukan bahwa dalam hal terdapat
perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur dalam arti terkandung
penyimpangan dari ketentuan pasal 7 ayat (1) undang-undang perkawinan yang
mengatur mengenai usia perkawinan, yakni untuk dapat melangsungkan perkawinan
seorang pria hams berusia 19 tahun, dan wanita hams berusia 16 tahun, maka
ketentuan tersebut mengatur mengenai pengecualian batas
usia tersebut, dan
hal tersebut juga dapat dianggap sebagai suatu aturan dalam undang-undang
perkawinan yang memperhatikan unsur biologis.
c.
Unsur Sosiologis
Unsur sosiologis dapat kita simpulkan dalam penjelasan ketentuan Pasal 1 undang-undang
perkawinan, ditentukan bahwa memperoleh keturunan adalah merupakan tujuan
dari suatu perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut
menjadi hak dan kewajiban orang tua. Pemeliharaan dan pendidikan ini adalah untuk
kelanjutan hidup dan kemajuan atau perkembangan anak, sedangkan kelanjutan hidup
seseorang adalah masalah kependudukan yang berarti masalah sosial. .m
Unsur sosiologis dapat juga disimpulkan dari ketentuan pasal 7 ayat (1)
undangundang
perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 tahun, jika
dibandingkan ketentuan batas umur untuk dapat melangsungkan perkawinan yang
diatur dalam hukum perdata barat yang berlaku sebelumnya (pria 18 tahun dan
wanita 15 tahun), maka dapat kita simpulkan bahwa UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 mempertinggi batas usia/umur untuk dapat melangsungkan perkawinan
dengan maksud untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk karena kelahiran,
sedangkan pertumbuhan penduduk tersebut adalah masalah sosial.
d.
Unsur Juridis Unsur juridis adalah unsur yang secara
otomatis/dengan sendirinya ada, oleh karena suatu perkawinan yang dimaksud oleh undang-undang hams dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang itu
sendiri. perkawinan sah apabila
perkawinan tersebut memenuhi syarat dan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Aspek juridis tersebut dapat dapat
pula kita simpulkan dari pasal 2
ayat (2) undang-undang perkawinan dan penjelasan pasal tersebut.
Selain unsur-unsur yang hams dipenuhi dalam setiap perkawinan,
undang-undang
ini juga menentukan prinsip atau asas perkawinan, dimana dalam pasal 3 ayat (1)
undang-undang perkawinan ditentukan bahwa perkawinan menganut asas
ini juga menentukan prinsip atau asas perkawinan, dimana dalam pasal 3 ayat (1)
undang-undang perkawinan ditentukan bahwa perkawinan menganut asas
monogami, artinya bahwa dalam waktu yang sama, atau dalam
suatu perkawinan maka seorang pria hanya dapat mempunyai seorang isteri dan
wanita hanya dapat mempunyai seorang suami. Pasal 3 ayat (1) undang-undang
perkawinan tersebut secara garis besar menentukan bahwa pada asasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. undang-undang memberikan
kemungkinan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dan seorang dalam
waktu yang sama (Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perkawinan), tetapi jika hukum
agama pihak suami memperbolehkan (penjelasan pasal 3 Undang-undang
Perkawinan) Untuk merealisir ketentuan tersebut undang-undang memberi
batasan dalam ketentuan pasal 4 dan pasal 5 undang-undang Perkawinan, yang
mengatur mengenai alasan dan syarat-syarat untuk dapat beristeri lebih dari
seorang.
e. Unsur Adat
Unsur hukum adat
dapat kita simpulkan dari ketentuan pasal 31 undang-undang perkawinan, dalam
pasal 31 ayat 1
n . nnn
"Hak dan
kewajiban isteri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat."
"Masing-masing pihak
berhak untuk melakukan perbuatan hukum".
Pasal 31 ayat 3
"Suami adalah kepala
keluarga dan isteri ibu rumah tangga".
Demikian pula pasal 36 undang-undang perkawinan, yang mengatur harta
benda
perkawinan yang mengambil azas dalam hukum adat, demikian pula pasal 37
perkawinan yang mengambil azas dalam hukum adat, demikian pula pasal 37
undang-undang
perkawinan yang merujuk pada ketentuan hukum adat dalam pengaturan harta
kekayaan jika perkawinan putus karena suatu perceraian. Pasal 43 undang-undang
perkawinan juga mengambil prinsip hukum adat, dimana ditentukan bahwa anak selalu
sah terhadap ibunya, dan keluarga ibu.
2.2. TUJUAN
PERKAWINAN
Dalam perumusan yang
diberikan oleh undang-undang bukan saja memuat pengertian atau arti
perkawinan itu sendiri, melainkan juga mencantumkan tujuan perkawinan. Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Yang dimaksud dengan keluarga di sini adalah kesatuan yang terdiri dari ayah
ibu dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan
keturunan yang merupakan pula tujuan dari perkawinan sedangkan pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal
ini maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan yaitu bahwa sekali orang
melakukan perkawinan tidak akan ada perceraian untuk selama-lamanya kecuali karena
kematian.28 Pembentukan
keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai asas pertama dalam Pancasila. Dalam hukum perdata barat, hubungan
antara suami dan isteri hanya melihat dari segi lahirnya saja atau dari segi
hubungan perdata, artinya terlepas dari peraturan-peraturan yang
diadakan oleh suatu agama tertentu.
2.3. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Para pihak yang akan melangsungkan suatu perkawinan
hams memenuhi persyaratan tertentu, disamping ketentuan-ketentuan hukum masing-masing
agama dan
kepercayaan, maka undang-undang perkawinan menentukan syarat-syarat perkawinan dimana
terdapat dua macam syarat perkawinan yaitu syarat materiil dan syarat formil.
28 •
Wienarsih Imam Subekti dan
Sri Soesilowati Mandi. Hukum Perorangan Dan
Kekeluargaan Perdata Barat ( Jakarta: Gitama Jaya.
2005), hlm. 46
2.3.1
SYARAT MATERIEL
Syarat
materiel adalah syarat yang mengenai atau berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang
akan melangsungkan perkawinan yang hams dipenuhi untuk dapat melangsungkan
perkawinan. syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 29
1.
Syarat Materiil Umum artinya syarat yang mengenai din pribadi seseorang yang
akan melangsungkan perkawinan
yang hams dipenuhi oleh seseorang untuk dapat
melangsungkan
perkawinan.
Syarat materiil
umum diatur dalam pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975, lazim disebut
dengan istilah syarat materiil absolut pelangsungan perkawinan. Syarat materiil
umum sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan
dan kedua belah pihak yaitu calon mempelai
b. Batas umur untuk
melakukan perkawinan. Dalam pasal 7 ayat 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974
untuk calon suami sekurang-kurangnya hams sudah mencapai umur 19 tahun
sedangkan untuk calon isteri hams sudah berumur 16 tahun. Dalam hukum
perdata barat batasan umur untuk melakukan pernikahan berbeda dimana untuk calon
suami berusia minimal 18 tahun sedangkan calon isteri bemsia minimal 15 tahun,
ketentuan ini diatur dalam pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .
c. Tidak memiliki
status perkawinan. Syarat ini diatur dalam pasal 9, hal ini menjelaskan bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada prinsipnya menganut asas monogami,
meskipun bersifat relatif sedangkan dalam hukum perdata barat yang juga
menganut asas monogami tetapi bersifat absolut yaitu tidak dimungkinkan melakukan
poligami.
d.
Berlakunya waktu tunggu. Ketentuan ini berlaku bagi
perempuan yang perkawiannya putus dan tidak dapat melangsungkan pernikahan kembali kecuali jika telah
melewati waktu tunggu, hal tersebut untuk menghindari adanya pencampuran benih atau confusion
sanguinis, diatur dalam pasal 11 UU No.1 Tahun 1974 Jo pasal 39 PP No. 9 tahun 1975.
Mengenai waktu tunggu yang diatur dalam hukum perdata barat berbeda diatur dalam pasal
34
29 Wahyono Darmabrata, op .cit., hlm.21
Kitab Undang-Undang Hukum. Syarat-syarat tersebut diatas
tidak dipenuhi menyebabkan calon suami isteri tersebut tidak dapat melangsungkan perkawinan.
2. Syarat Materiil Khusus
suatu perkawinan adalah syarat yang mengenai diri pribadi seseorang untuk dapat melangsungkan
perkawinan dan berlaku untuk perkawian tertentu.
Syarat materiil khusus lazim untuk melangsungkan
perkawinan, yang berupa kewajiban untuk meminta izin kepada orang-orang tertentu
yang hams dimintai izin dalam perkawinan, dan larangan-larangan untuk
melangsungkan perkawinan sebagai berikut: —
a.
Adanya izin dari kedua orang tua atau wali dari calon
mempelai
b.
Mengenai larangan perkawinan, diatur dalam pasal 8
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang antara lain menyebutkan larangan
melakukan pernikahan bagi mereka yang memiliki hubungan darah, hubungan
persusuan dan lain-
2.3.2 SYARAT FORMIC
Adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara
pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai
pelangsungan perkawinan.3° Pada syarat formil
dibedakan antara syarat sebelum melangsungkan pernikahan dan pada saat
dilangsungkan pernikahan. Syarat sebelum melangsungkan pernikahan sebagai berikut:
a.
Pernikahan hams didahului dengan pemberitahuan oleh kedua
calon mempelai kepada pegawai pencatat nikah
b.
Pemberitahuan hams dilengkapi dengan surat-surat
pembuktian yang diperlukan sesuai
dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk melaksanakan perkawinan.
3° ibid,.hal 21
c. Pelaksanaan
perkawinan barn dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu 10 hari terhitung dari
tanggal pemberitahuan.
Untuk
syarat pada saat dilangsungkan perkawinan, sebagai berikut:
a.
Perkawinan dilangsungkan atau dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah bagi mereka yang beragama Islam dilakukan dihadapan pegawai KUA
dan bagi mereka yang beragama non Islam dilakukan dihadapan pegawai catatan
sipil.
b.
Hams
dihadiri oleh dua orang saksi.
Perkawinan hendaknya dilangsungkan secara terbuka untuk
umum dengan
maksud untuk: Il 1111
a. Memberikan kepastian tentang telah dilangsungkannya perkawinan,
sehingga
b. Mencegah terjadinya perkawinan sembunyi
|
gelap, yang dilakukan secara
sembunyi‑
|
|
c. Mencegah
pelangsungan perkawinan yang dilakukan secara tergesa-gesa.
d. Memberikan suasana
hikmat atau sakral terhadap pelangsungan perkawinan.
e. Untuk menjamin
bahwa pegawai pencatat perkawinan tidak bertindak sembarangan didalam melakukan
perkawinan bagi kedua mempelai.31
Akibat yang timbul dengan dilangsungkannya suatu
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun hukum perdata
barat, pada umumnya terkait dengan bagaimana hubungan yang timbul antara suami
isteri. Hal ini akan menimbulkan hubungan hak dan kewajiban antara suami
isteri, selain itu akan menimbulkan
hubungan suami isteri dengan anak yang dilahirkan sehingga menimbulkan kapan adanya kekuasaan orang tua,
selanjutnya akan timbul hubungan antara
orang tua dan anak terhadap harta perkawinan.
31 ibid., hal 51-52
2.4.1 HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Akibat
perkawinan terhadap hubungan suami isteri yaitu menimbulkan hak dan kewajiban
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diatur dalam pasal 30-34, yaitu : 32
1.
Menegakkan rumah tangga, yaitu
berusaha menciptakan rumah tangga yang utuh sebagai
yang diatur dalam pasal 30. suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat,
sesuai dengan tujuan perkawinan yang diatur didalam pasal 1 undang-undang
perkawinan hal terpenting untuk membentuk keluarga yang harmonis,
sehingga tingkah laku suami isteri tersebut dapat menjadi teladan anak-anaknya
dan masyarakat disekelilingnya.
2.
Suami sebagai kepala rumah tangga,
isteri adalah ibu rumah tangga sebagai diatur pasal 31.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat, masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum. Kedudukan suami
isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, jadi isteri cakap melakukan
tindakan hukum sendiri, tidak perlu mendapat izin dari suami terlebih
dahulu, sehingga sifat hubungan hukum antara suami isteri adalah bersifat
individual. Dalam hal ini kedua pihak antara suami isteri, masingmasing cakap
bertindak dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap rumah tangga dan
keluarga7r‘ZA112
3.
Suami isteri hams mempunyai tempat
tinggal (domisili) dan isteri hams ikut suami, hal ini
sesuai dengan pasal 32 ayat 1. Untuk membentuk keluarga harmonis maka
suami isteri hams tinggal bersama-sama dalam satu rumah, hal tersebut
penting untuk saling membina anak-anak yang telah dilahirkan.
4.
Saling cinta mencintai, saling hormat
menghormati sebagimana diatur dalam pasal 33. hal tersebut untuk menjamin
keutuhan keluarga didalam mendidik anak-anaknya.
32
ibid., hal 80-83
5. Suami wajib
melindungi isteri, memenuhi segala keperluan hidupnya sebagaimana
diatur pasal 34 ayat 1. makna dari pasal ini adalah agar suami selalu
bertanggung jawab terhadap keperluan hidup keluarganya.
Sedangkan
menurut hukum perdata barat yang menjadi pokok landasan hak dan kewajiban suami
isteri, yaitu: 33
1.
Akibat yang timbul dari hubungan
suami isteri adanya kewajiban suami isteri untuk saling
setia, tolong menolong, bantu-membantu dan apabila dilanggar dapat
menimbulkan pisah meja tempat tidur dan dapat mengajukan cerai (pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Suami isteri wajib tinggal bersama dalam arti
suami hams menerima isteri, isteri tidak hams ikut ditempat suami kalau keadaannya
tidak memungkinkan, suami hams memenuhi kebutuhan isteri (pasal
104 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
2.
Akibat yang timbul dari kekuasaan
suami dalam hubungan perkawinan. Tujuan kekuasaan
suami adalah suami wajib menjaga kesatuan dan persatuan keluarga serta mengums
harta kekayaan isteri. Kekuasaan suami yang timbul dari hubungan
perkawinan menimbulkan asas suami adalah kepala rumah tangga, isteri hams
patuh pada suami sehingga isteri dianggap tidak cakap kecuali ada izin dan suami.
Hal ini didasarkan pada logika bahwa pemimpin rumah tangga hams hanya ada
satu saja. Dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur pasal 106 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata isteri hams tunduk patuh terhadap suami dengan
demikian isteri hams mengikuti kewarganegaraan suami dan dia hams tunduk pada
hukum suami baik publik maupun privat. Suami bertugas mengums harta
kekayaan bersama, sebagai besar kekayaan pihak isteri, menentukan
tempat tinggal, menentukan persoalan yang menyangkut kekuasaan orang tua.
Isteri dianggap tidak cakap untuk mengums hartanya sendiri.
2.4.2 HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTERI TERHADAP PENGUASAAN HARTA BERSAMA
33 op.
cit hal 72-73
Pengaturan mengenai harta
benda perkawinan diatur dalam pasal 35-37 Undang-Undang nomor 1 Tahun
1974. harta benda pada hakekatnya meliputi harta yang dibawa kedalam
perkawinan oleh suami isteri dan harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
berlangsung.
Dalam pasal 35 ayat 1 menentukan bahwa harta benda
yang diperoleh selama atau
sepanjang perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Sepanjang perkawinan
artinya sejak perkawinan hingga putusnya perkawinan, karena perceraian, kematian maupun putusan pengadilan.
Harta bersama menjadi milik suami
isteri bersama-sama. Mengenai pengelolaan harta bersama yang diatur dalam pasal 36 ayat 1 dimana suami atau isteri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Atas persetujuan bersama artinya bahwa isteri tidak perlu mendapatkan bantuan atau didampingi oleh suami, dalam hal ini
isteri cukup menunjukkan adanya persetujuan
suami demikian sebaliknya.
Harta bawaan adalah harta
yang dibawa kedalam perkawinan oleh suami-isteri, harta yang telah dimiliki oleh suami isteri sebelum
mereka melangsungkan perkawinan, dimana
harta bawaan ini tetap dalam penguasaan masing-masing pihak yang membawanya.
Pengaturan mengenai harta
dalam hukum perdata barat berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang
nomor 1 Tahun 1974, dalam hukum perdata barat yang diatur dalam pasal 119 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dimana setelah dilangsungkannya perkawinan
demi hukum berlakulah pesatuan bulat antara harta kekayaan suami isteri,
sekedar mengenai itu dengan adanya peraturan tersebut diatas dan juga adanya
kekuasaan yang timbul karena perkawinan maka suami berhak mengurus/memelihara
maupun menguasai.
2.4.3 HAK DAN
KEWAJIABAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
Lahirnya anak dalam perkawinan
menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak demikian pula sebaliknya.
Mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak diatur dalam pasal 45 sampai
dengan pasal 49 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 45 ayat 1 yang
menyatakan kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
Kewajiban didalam pasal 45 ayat 1 berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan mereka (orang tua)
telah putus (pasal 45 ayat 2) Anak tidak lagi menjadi tanggungan orang tuanya
apabila telah kawin atau berdiri sendiri, dengan kata lain walaupun anak telah
berumur 30 tahun atau 40 tahun selama mereka belum itu kawin dan tidak dapat
berdiri sendiri Anak yang belum berumur 18 tahun atau yang belum melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama tidak dicabut dan
kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut diluar dan dalam pengadilan. Dalam hak
dan kewajiban orang tua, dimana orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anak yang belum berumur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan, kecuali kepentingan anak
menghendaki (pasal 48). Orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,
yang berarti kebutuhan untuk pemeliharaan dan biaya pendidikan anak adalah
tanggung jawab orang tua. Anak berkewajiban untuk menghormati orang tua dan
mentaati kehendak mereka yang baik 34 Menurut hukum
perdata barat kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan
ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anak yang belum
dewasa, Demikian menurut pasal 299 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
Kekuasaan orang tua biasanya dilakukan oleh ayah sesuai dengan pasal 300
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika ayah berada diluar kemungkinan
melakukan kekuasan itu yang melakukan kekuasaan adalah ibu. 35
2.5. KEDUDUKAN ANAK
Keluarga adalah sekelompok manusia yang mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dan terjadi melalui perkawinan. Dalam
suatu keluarga terdiri dan bapak, ibu dan anak-anak yang belum menikah yang
disebut dengan keluarga
34
op.cit hal 137-139
35 Prof. Ali
Afandi, SH, Hukum Warts, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1997), hlm.153-156
inti atau keluarga batih.
Fungsi untuk membentuk suatu keluraga adalah sebagai berikut: 36
1.
Untuk melangsungkan keturunan sebagai kelanjutan identitas
keluarga.
2. Sebagai wadah
dalam memelihara, mendidik dan mengasuh anak, baik secara fisik maupun psikis.
3. Sebagai unit
ekonomi terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan beberapa
materi lainnya.
4.
Sebagai wadah pendidikan informal baik umum maupun agama.
5. Tempat
terselenggaranya transisi kebudayaan dan kekerabatan dari generasi kegenerasi.
n nIsn
6.
Sebagai wadah untuk meletakkan dasar-dasar sosialisasi dan
kontrol sosial.
Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan
suatu amanah dan karunia dan Tuhan Yang Maha Esa serta merupakan tunas, potensi dan
generasi muda penerus dari cita-cita perjuangan bangsa. Kedudukan hukum seorang anak
yang diatur
dalam hukum perdata nasional yang berlaku ditentukan oleh keabsahan perkawinan dan
kedua orang tuanya. Fungsi dan keluarga yang terutama adalah melangsungkan
keturunan sebagai kelanjutan identitas keluarga. Keturunan dalam hukum perdata
nasional yang ditinjau dan Undang-Undang Nomor 1 Tahuan 1974 tentang perkawinan
diatur dalam Bab IX dengan title Kedudukan Anak, UndangUndang ini tidak
memberikan pengertian yang tegas mengenai keturunan. Keturunan menurut
undang-undang ini adalah hubungan antara anak dengan orang tua yang melahirkannya yang
diatur berdasarkan hukum agama. Dalam pasal 42 maupun pasal-pasal selanjutnya tidak
menentukan suatu jangka waktu kehamilan (conseptie tydperk) yang menjadi dasar
ukuran kelahiran sebagai anak yang sah. Seolah-olah undang-undang ini menganggap
setiap anak yang lahir dari suatu ikatan perkawinan yang sah dengan sendirinya dianggap anak sah dari
suami isteri tersebut. Jadi
36
P.N.H. Simanjuntak, op.cit, hlm.170-171
29 nampaknya
undang-undang ini berpegang pada prinsip setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan
yang sah adalah anak sah dari kedua orang tuanya.37
Undang-undang
ini cukup tegas melakukan pembedaan kedudukan anak menjadi anak sah dan anak
yang dilahirkan diluar perkawinan. Namun undangundang ini merumuskan secara
jelas definisi dari anak sah dalam pasal 42
"Anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah".38
Kemudian terdapat
ketentuan bagi anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang
mnW "Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya." 39
Dengan
demikian menurut undang-undang perkawinan mengenal dua golongan anak,
yaitu:
1.
Anak yang sah terhadap orang tuanya diatur dalam pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, telah mengatur anak sah yaitu anak
yang
dilahirkan didalam perkawinan atau kelahirannya hams dari perhubungan yang sah dimana
bapak dan ibunya terikat perkawinan sah.
2.
Anak yang hanya mempunyai hubungan hukum perdata dengan
ibunya. 4°
Bahwa ketentuan peraturan pelaksana mengenai
kedudukan anak hingga kini belum terwujud, sehingga melalui petunjuk MA dengan Surat
No. M.A./Pemb/0807/75,
tertanggal 20 Agustus 1975 menyatakan bahwa mengenai kedudukan anak masih
mengunakan ketentuan-ketentuan lama.
37 Wienarsih Imam Subekti., op.cit, hlm. 109
38 R. Subekti, op.cit., hlm. 550
39 Ibid
40 Wienarsih Imam Subekti., op.cit, hlm. 102
Menurut
hukum perdata barat keturunan adalah hubungan darah antara anak dan orang tua yang
ditimbulkan berdasarkan perkawinan. Keturunan dibedakan dalam 2 macam, yaitu:
1.
Keturunan sah/anak sah adalah keturunan yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah. Diatur dalam pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
"Tiap-Tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan sah, merupakan anak sah dari
kedua orang tuanya atau anak memperoleh suami sebagai bapaknya".
"Suami boleh mengingkari keabsahan anak apabila dapat
membuktikan
bahwa
suami sejak 300 hari sampai 180 hari sebelum lahirnya anak"
n nM
2.
Keturunan yang tidak sah adalah anak yang dilahirkan dari
luar perkawinan yang sah Anak sah mempunyai hubungan hukum dengan orang tua
yang mengakui (pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ). Ukuran sahnya suatu kelahiran/kehamilan
menurut hukum perdata barat didasarkan pada "Conceptie
Tydperk" yaitu konsep tentang jangka
waktu kehamilan lahirnya seorang bayi. •
Keturunan tidak sah/anak luar
kawin terbagi dua macam, yaitu:
1.
Anak alam dalam arti luas yang meliputi:
- Anak yang diluar perkawinan dan tidak pernah
disahkan.
- Anak lahir karena
zinah/overspel atau anak sumbang (wanita dan pria yang oleh undang-undang
dilarang untuk menikah), anak yang lahir dari perkawinan antara mereka yang
dilarang tersebut tidak dapat diakui apalagi disahkan sehingga tidak dapat mewaris dari
pria dan wanita tersebut, kecuali dengan nafkah atau hibah/wasiat.
- Anak
alam dalam arti sempit adalah anak luar kawin dimana wanita dan pria, keduanya
tidak terkait dengan perkawinan lain.
2.
Anak luar kawin yang diakui
31 Menurut hukum
perdata barat anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa saja,
kecuali dengan mereka yang mengakuinya, dalam hal ini yang dapat mengakui
hanya wanita atau pria yang menyebabkan dia lahir.41
Peristiwa
kelahiran perlu mempunyai bukti yang autentik, karena untuk membuktikan
identitas seseorang yang pasti dan sah adalah dilihat dari akte kelahiran yang dikeluarkan
oleh suatu lembaga yang berwenang mengeluarkan akte tersebut.42 Sebagaimana diatur dalam pasal
55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi 4
"Asal usul
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang
dikelurakan oleh pejabat yang berwenang." 43
...
Pencatatan kelahiran merupakan
pengakuan pertama dan negara bagi keberadaan anak Anak yang tidak dicatat
kelahirannya telah kehilangan haknya paling mendasar yakni hak untuk diakui sebagai subyek hukum.44 Selain itu akte kelahiran menentukan
keabsahan status anak dengan orang tuanya. Apabila tidak ada akta kelahiran maka orang tua dapat memintakan
penetapan ke pengadilan negeri, dengan dasar
penetapan tersebut sehingga instansi pencatat kelahiran mengeluarkan akta kelahiran. Pengaturan mengenai asal usul anak
menurut hukum perdata diatur dalam pasal
261 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. w
"Kedudukan
anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar
telah dibukukan dalam register catatan sipil. 45"
ikNIV''''
41 ibid., hlm 74-77
42 •
Victor M. Situmorang, Aspek
Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 40
43 R. Subekti., op.cit., hlm.554
44 "Akta adalah Hak Asasi, Bukan Hanya Administrasi",http://www.kompas.com/kompascetak/0308/14/opini/488739., 14 Agusutus 2003
45 ibid., hlm. 65
BAB 3
PENYANGKALAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PERDATA NASIONAL
3.1. PENGERTIAN
PENYANGKALAN ANAK
Kehadiran
seorang anak dalam perkawinan merupakan suatu karunia dan kebahagiaan bagi
keluarga akan tetapi bilamana kehadiran seorang anak diragukan oleh ayahnya maka
menurut hukum perdata nasional upaya yang diberikan adalah melakukan
penyangkalan terhadap anak. n n,
Penyangkalan anak
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seorang suami dapat menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa
isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
|
|
perzinahan tersebut.46
|
|
|
Menurut
hukum perdata barat pengertian penyangkalan terdiri dari:47
1.
Keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang ke seratus delapan puluh dalam
perkawinan suami isteri, dapat diingkari oleh si suami. Namun pengingkaran ini
tidak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Jika suami
sebelum perkawinan telah mengetahui akan mengandungnya si
isteri;
b.
Jika ia telah ikut hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan
akta itu pun telah ditandatanganinya atau, memuat pernyataan darinya, bahwa
ia tidak dapat menandatanganinya;
c. Jika si anak tak
hidup tatkala dilahirkannya
2. Suami boleh mengingkari keabsahan si anak,
apabila dapat membuktikan bahwa ia sejak tiga ratus sampai seratus delapan puluh
hari sebelum lahirnya anak itu,
46 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, op.cit., hlm. 551 47ibid., hlm. 62-63
baik karena
perpisahan maupun sebagai akibat sesuatu kebetulan berada dalam ketakmungkinan
yang nyata, untuk mengadakan hubungan dengan isterinya Dengan menunjuk pada ketakmampuannya
yang nyata, suami tak dapat mengingkari bahwa anak itu adalah anaknya.
3.
Berdasar atas perbuatan zina, suami tak dapat
mengingkari keabsahan seorang anak, kecuali jika lahir anak itu pun disembunyikan
baginya, dalam hal mana ia hams diperkenankan membuktikan dengan sempurna, bahwa ia
bukan bapak anak itu.
4.
Suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak, yang
dilahirkan tiga ratus hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan ranjang
memperoleh kekuatan mutlak, dengan tak mengurangi hak isterinya, untuk
mengemukakan segala peristiwa yang kiranya sanggup membuktikan bahwa
suamilah bapak anak itu.
Menurut Kompilasi Hukum Islam seorang
suami yang mengingkari sahnya
anak sedang isteri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaran dengan
li'an 7.ifir
3.2.
DASAR HUKUM PENYANGKALAN ANAK
Penyangkalan
anak yang dilahirkan dalam perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan diatur dalam pasal 44 ayat 1.
"Suami
dapat menyangkal bahwa anak yang dilahirkan isterinya bukanlah anak yang sah
tetapi adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan zina si isteri dengan
laki-laki lain".
Hak untuk
melakukan penyangkalan ini diberikan kepada:48
1.
Suami dan isteri yang melahirkan
anak yang disangkal, hal ini adalah wajar sebab suami yang
paling mengetahui dan berkepentingan dalam hal Mi.
2.
Pihak yang berkepentingan.
48 M.
Yahya Harahap, op.cit, hlm.
193
Pihak yang berkepentingan
dalam hal ini dapat ditafsirkan orang-orang yang mempunyai hubungan darah
dengan pihak suami apabila suami itu sendiri dalam keadaan tak mampu melakukan
tindakan hukum karena kurang waras atau berpenyakit yang tidak
memungkinkan dia melakukan tindakan hukum serta suami telah meninggal dunia.
Penyangkalan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan diatur dalam
pasal 44 ayat 2.
Hak penyangkalan
pada prinsipnya atau secara prioritas berada ditangan suami, akan tetapi
apabila dalam keadaan suami seperti tersebut diatas maka pihak yang berkepentingan
dalam hal ini jatuh pada keluarga terdekat suami. Dengan tafsiran pasal 44 ayat 2
penyangkalan bukan semata-mata hanya dapat dilakukan oleh suami tetapi oleh
sanak keluarga yang dianggap ada hubungan kepentingannya dengan suami dan
isteri yang melahirkan anak tersebut.
Dalam
pasal 44 ayat 1 Undang-Undang memberikan hak kepada suami untuk memajukan sangkalan
atas keabsahan anak yang dilahirkan, dimana penyangkalan itu hanya dapat
dilakukan dengan alasan zina. Beban pembuktian menurut ketentuan ini oleh hukum
dibebankan pada suami yang melakukan penyangkalan. Adapun yang hams dibuktikannya
adalah anak tersebut merupakan akibat perzinahan yang dilakukan oleh isteri dengan
laki-laki lain yang menjadi sebab kelahiran anak tadi.49
Menurut
hukum perdata barat pengaturan tentang hak menyangkal suami terhadap lahirnya
seorang anak dan isterinya sebagai anak sah, untuk menciptakan suatu keadilan
bagi si suami maka suami diberikan hak untuk menyangkal keabsahan anak tersebut
apabila suami dapat membuktikan bahwa anak yang dilahirkan itu bukan anak yang
sah dari padanya, dengan alasan-alasan sebagaimana diatur pasal 251, 252, 253
dan 254 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana akan diuraikan satu
persatu dibawah Mi.
Dalam pasal 251
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dijadikan syarat untuk pengajuan
penyangkalan adalah anak yang dilahirkan sebelum hari yang ke 180 dalam perkawinan
suami isteri, dimana penghitungan dilakukan dari hari pernikahan
49 ibid., hlm 28
ayah dan ibu. Sesuai dengan prinsip pasal 250 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata anak yang dilahirkan lc-Luang dan 180 hari sejak
perkawinan pada asasnya tetap anak sah, hanya saja kepada suami diberikan kesempatan
untuk mengingkari kelahiran anak tersebut, yang berarti suami dari perempuan yang
melahirkan anaknya dapat memilih untuk mengingkari atau tidak mengingkari anak
tersebut, sehingga dalam hal suami tidak menggunakan hak tersebut maka
undang-undang mempersangkakan bahwa dialah ayah dari anak tersebut. Dalam pasal
251 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan pembatasan untuk tidak melakukan
penyangkalan dalam hal, yaitu: .
1.
Jika suami sebelum
perkawinan telah mengetahui akan mengandungnya si isteri. Bahwa sebelum
menikah calon suami telah mengetahui calon isteri sedang mengandung. Hal
ini merupakan syarat yang logis dan patut karena dengan tetap menikahi si
calon isteri yang sedang mengandung memberikan kesan atau dugaan kepada kita
bahwa memang calon suami sendiri yang membuahinya. Sikap diamnya dapat diterima
sebagai pengakuan diam-diam bahwa dialah bapak anak tersebut. n n n n Dalam hal tersebut
diatas justru tidak patut kepada suami masih diberikan kesempatan untuk mengingkari
keabsahan anak, lain hal jika suami barn mengetahui keadaan itu
sesudah perkawinan berlangsung.
2.
Jika ia (suami)
telah ikut hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah
ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya bahwa ia tidak dapat menandatanganinya;
Seorang suami yang telah melaporkan atau turut melaporkan kelahiran anak
yang dilahirkan oleh isterinya serta turut menandatangani akta memberikan petunjuk bahwa
suami sadar melaporkan kelahiran seorang anak yang adalah anaknya. Pembuat
undang-undang melihat dalam tindakan suami yang berupa melaporkan kelahiran dan
menandatangani akta kelahiran seorang anak merupakan suatu pengakuan
secara diam-diam bahwa anak tersebut adalah anaknya.
3. Jika si anak tak hidup tatkala dilahirkannya.
Bahwa dalam hal anak itu dilahirkan dalam keadaan mati,
tidak ada keperluan untuk mengingkari keabsahannya, karena tidak akan membawa
pengaruh hukum apa-apa terhadap suami isteri yang bersangkutan. 5°
Dalam pasal 252 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
"Suami boleh
mengingkari keabsahan si anak apabila dapat membuktikan, bahwa is sejak 300
sampai 180 hari sebelum lahirnya anak itu, baik karena perpisahan maupun sebagai
akibat dan suatu kebetulan, berada dalam ketidak mungkinan yang nyata, untuk
mengadakan hubungan dengan isterinya."51
i LyI
Dalam
pasal ini terdapat 2 alasan untuk melakukan penyangkalan, yaitu:
1. Adanya perpisahan r- , ..
Dalam alasan yang pertama
perpisahan sebagai alasan ketidakmungkinan untuk mengadakan hubungan suami
isteri, jika kedua suami isteri tersebut dalam jangka waktu tertentu berada jauh
satu sama lain tentu tidak dapat mengadakan hubungan badan, misalnya suami sedang
tugas belajar diluar negeri.
2. Adanya kebetulan.
Dalam hal adanya
kebetulan yang dikaitkan dengan keadaan sakit, dalam hal ini
sakitnya harus sedemikian rupa sehingga hubungan suami isteri tidak mungkin
sakitnya harus sedemikian rupa sehingga hubungan suami isteri tidak mungkin
dilakukan.
Bahwa ketentuan dalam pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya
berlaku bagi anak yang lahir 180 hari atau lebih sesudah hari perkawinan dari
ayah dan
ibu karena anak yang lahir 180 hari atau lebih adalah anak sah, maka yang
diatur dalam
pasal ini adalah anak yang dibenihkan sepanjang perkawinan baik pada waktu
so Satrio, op.cit., hlm 26-33
51 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., hlm. 63
perkawinan masih utuh maupun
sesudah perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian. 52
Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
"Perbuatan zina, suami tak dapat mengingkari keabsahan seorang anak kecuali bila
kelahiran anak itu pun disembunyikan baginya, dalam hal mana ia hams diperkenankan
membuktikan dengan sempurna bahwa ia bukan bapak anak itu."53
Dalam pasal tersebut yang dijadikan syarat untuk
melakukan penyangkalan, yaitu:
1. Adanya zina
Dalam hal adanya zina yang dilakukan oleh seorang isteri belum cukup untuk menjadi dasar bagi
suami menyangkal keabsahan anak yang dilahirkan oleh
isterinya.
2.
Penyembunyian kelahiran anak.
Dalam
hal disembunyikan kelahiran
memberitahukan kepada suami mengenai
kelahiran anak tersebut. Dengan
demikian tindakan
menyembunyikan kelahiran anak tidak cukup untuk
menjadikan dasar pengingkaran terhadap anak. Dengan demikian
menjadi kewajiban bagi suami untuk membuktikan adanya dua peristiwa atau
syarat tersebut diatas terpenuhi maka penyangkalan dapat dilakukan. 54
Pasal 254 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Nupiv.n Ma
"Suami boleh
mengingkari keabsahan seorang anak yang dilahirkan 300 hari setelah keputusan
perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak, dengan tak
mengurangi hak isterinya, untuk mengemukakan segala peristiwa yang kiranya
sanggup membuktikan bahwa suamilah bapak anak itu". 55
52 J. Satrio, op.cit., hlm. 33-41
53 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., hlm. 63
54 J. Satrio, op.cit., hlm. 42-46
55 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., hlm. 63
Suatu ketetapan perpisahan meja dan
ranjang tidak membatalkan perkawinan, dalam peristiwa yang demikian perkawinan
masih utuh hanya saja kewajiban untuk tinggal ditempat yang sama. Hal tersebut
membawa kosekuensi, yaitu:
1.
Bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh isteri pada asasnya
adalah anak sah. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam pasal 250 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
2.
Bahwa pada umumnya keadaan pisah meja dan ranjang kedua
suami isteri memang hidup
terpisah atau tidak ada hubungan badan.
Apabila setelah
300 hari sejak ketetapan pisah meja dan ranjang is mempunyai kekuatan yang
pasti, bahwa isteri melahirkan seorang anak maka patut ada dugaan bahwa anak
yang dilahirkan hasil hubungan si isteri dengan lelaki yang lain, setelah
keputusan pisah meja dan ranjang. Bahwa suami tidak perlu membuktikan isterinya
telah berzinah, suami hanya membuktikan anak itu lahir lebih dari 300 hari
setelah ketetapan
pisah meja dan ranjang mempunyai kekuatan mutlak. 56
Yang berhak
untuk melakukan penyangkalan anak sebagaimana diatur dalam pasal 156-260
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: 57
a. Suami ibu anak tersebut.
b.
Para ahli waris suami, sebagai
lanjutan suami (almarhum), yang telah mengajukan gugatan
penyangkalan di pengadilan maupun dengan akta di luar pengadilan.
c.
Atas kekuatan sendiri dengan alasan
sesuai yang diatur dalam pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .
Menurut Kompilasi Hukum Islam Penyangkalan anak diatur
pasal 101
"Seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang
isteri tidak menyangkalnya,
dapat meneguhkan pengingkaran dengan li'an."
56 J. Satrio, op.cit., hlm. 48-50
57 Wienarsih Imam Subekti., op cit., hlm 75
Dalam pasal ini alasan yang digunakan
untuk menyangkal kelahiran seorang anak adalah zina atau Li'an. Li'an
berarti suami menuduh isterinya berbuat zina dengan laki-laki lain dengan tujuan untuk
menyangkal kehamilan yang sedang dikandung oleh isteri sebagai kehamilan yang
bukan hasil benih yang ditanamkan si suami pada rahim isteri. Yang berhak untuk
melakukan penyangkalan adalah suami ibu anak tersebut.
Penyangkalan
ini bertujuan untuk menetapkan adanya hubungan darah dengan ayah dan ibunya,
serta memberikan keuntungan secara medis bagi anak tersebut seiring dengan
makin pentingnya penggunaan unsur genetik dalam diagnosis dan perawatan
penyakit sehingga kejelasan asal-usul seseorang menjadi penting
3.3 JANGKA WAKTU PENGAJUAN PENYANGKALAN ANAK
Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan secara tegas mengenai jangka
waktu untuk pengajuan penyangkalan anak, lain halnya dalam Hukum Perdata
Barat dan Kompilasi Hukum Islam yang memberikan jangka waktu untuk melakukan
penyangkalan anak. Menurut hukum perdata barat jangka waktu untuk mengajukan
penyangkalan anak oleh seorang ayah secara tegas diatur dalam pasal 256 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1.
Satu bulan jika si ayah tinggal ditempat kelahiran anak
atau sekitarnya.
2.
Dua bulan setelah pulang kembali jika si ayah dalam
keadaan tidak hadir.
3.
Dua bulan setelah tipu muslihat
diketahui oleh ayahnya, jika kelahiran anak tersebut
disembunyikan dart si ayah.
Dalam hal
pengajuan penyangkalan anak adalah ahli warts dari suami maka undang-undang
memberikan tenggang waktu 2 bulan bilamana suami atau ayah sudah
menggunakan haknya untuk melakukan penyangkalan akan tetapi meninggal dunia sebelum
melaksanakan gugatan dipengadilan, sebagaimana diatur dalam pasal 256 ayat 4 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
"Jika si
suami setelah melakukan pengingkaran dengan akta diluar hakim,
dalam tenggang waktu tersebut diatas meninggal dunia, maka bagi para ahli
dalam tenggang waktu tersebut diatas meninggal dunia, maka bagi para ahli
warisnya mulailah suatu tenggang waktu yang barn selama
dua bulan untuk memajukan tuntutan mereka."
Bilaman suami telah melakukan
gugatan penyangkalan dipengadilan dan sementara perkara
berjalan, suami meninggal dunia maka ahli waris dalam waktu 2 bulan sejak si
suami/pewaris meninggal hams sudah melanjutkan gugatan dipengadilan. Hal ini
diatur dalam pasal 257 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 102 ayat 1 jangka waktu
diberikan kepada suami untuk melakukan penyangkalan yaitu 180 hari sesudah hari
lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui
bahwa isterinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan
suami mengajukan perkara kepada Pengadilan Agama. 58
Mengenai
jangka waktu penyangkalan anak barn mulai dihitung sejak gugatan penyangkalan
anak dimajukan di pengadilan. Penghitungan ini penting untuk menetapkan
apakah gugatan itu dilakukan masih dalam tenggang waktu yang diperkenankan
oleh undang-undang.
3.4.
PROSES PENYANGKALAN ANAK MENURUT HUKUM PERDATA NASIONAL I
Menurut hukum
perdata barat dalam proses penyangkalan anak yang merupakan hak
dari suami dan atau ahli waris dan suami, pengajuan penyangkalan gugatan
dilakukan ke Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan penyangkalan anak dilakukan oleh
suami atau ayah, pada saat anak yang bersangkutan masih belum dewasa menurut
Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
"Segala
tuntutan untuk mengingkari keabsahan seorang anak, hams dimajukan
terhadap pada seorang wali istimewa, yang diperbantukan pada anak itu."59
58 P.N.H.Simanjuntak, op.cit, h1m187
59 R.Subekti, dan R. Tjitrosudibio, op.cit, hlm.65
Anak yang belum dewasa dalam segala tindakan hukumnya hams diwakili oleh ayahnya, apabila
perkawinan orang tua masih utuh. Adanya pertentangan kepentingan antara ayah dan
anak dalam hal penyangkalan maka berlakulah kentuntuan pasal 310 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
"Dalam segala hal, bilamana is kiranya mempunyai kepentingan yang bertentangan
dengan kepentingan anak-anaknya yang belum dewasa, anakanak itu hams
diwakili oleh seorang pengampu istimewa yang untuk itu hams diangkat oleh
Pengadilan Negeri". 60
n
Sehingga dalam hal penyangkalan anak dimana anak yang
disangkal belum dewasa maka gugatan diajukan kepada pengampu istimewa (wali
istimewa), guna membantu melindungi kepentingan anak yang bersangkutan. Ketentuan
ini berkaitan dengan masalah ketidakcakapan bertindak bagi mereka yang belum
dewasa. Pengajuan permohonan pengangkatan pengampu istimewa (wali istimewa)
diajukan oleh si ayah. Jika anak yang disangkal telah dewasa maka dengan
sendirinya gugatan hams ditujukan kepada din pribadi anak tersebut, karena anak
yang telah dewasa dapat mengums, melindungi dan memperjuangkan kepentingannya
sendiri. 61
Pada kasus penyangkalan anak kedudukan seorang ibu
dalam hal ini dipanggil untuk mengetahui sikapnya terhadap adanya gugatan
tersebut, dimana ibu mempunyai kepentingan yang besar dan dapat melancarkan
perlawanan tersendiri tanpa tergantung dari perlawanan pengampu istimewa dan
anaknya. Kedudukan ibu dalam
kasus penyangkalan anak menumt undang-undang tidak secara tegas mengatakan dipanggil dalam kedudukan sebagai apa,
tetapi yang pasti dalam kasus ini
bukanlah sebagai tergugat karena ibu dari anak tersebut dimintai keterangan sebagai orang yang mengetahui masalah tersebut.
Dengan demikian kedudukan ibu
60 ibid., hlm. 77
61 J. Satrio, op
.cit., hlm. 82-86
adalah sebagai
orang yang berkepentingan sendiri untuk membela kepentingannya sendiri dengan
melancarkan semua tangkisan yang dianggap perlu. 62
Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
tidak diatur secara terperinci mengenai tata cara penyangkalan, hanya menyerahkan
pada Pengadilan untuk memberikan putusan tentang sah tidaknya anak yang disangkal
oleh suami.
Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam pengaturan mengenai pengajuan gugatan menurut
pasal 102 ayat 2 diajukan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusan perkawinan atau setelah suami
itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada ditempat yang
memungkinkan suami untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama. 63
Pengajuan
penyangkalan anak dalam prakteknya dapat dilakukan bersamaan dengan pengajuan
gugatan perceraian atau pada saat gugatan Rekonvesi. Gugatan rekonvensi
adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam proses perkara
yang sedang berjalan.64 Hal
ini sesuai dengan kasus yang akan dianalisa pada tulisan ini. n n n n n
Hukum acara perdata yang digunakan
oleh Pengadilan Negeri pada tahap pembuktian, terdapat alat bukti
bermacam-macam bentuk dan jenisnya yang mampu memberikan
keterangan dan penjelasan tentang suatu masalah yang diperkarakan dipengadilan.
Alat bukti diajukan oleh para pihak untuk membenarkan dalil gugatan atau dalil
bantahan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan yang diberikan maka hakim melakukan
penilaian dari alat bukti yang diajukan, pihak mana yang paling kuat dan paling
sempurna pembuktiannya. Mengenai alat bukti yang diakui dalam
62 ibid., hlm. 85
63 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154
Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
Mengenai Kompilasi Hukum Islam
64 M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan (Jakarta Sinar Grafika, 2005), Cet. Kedua., hlm.468
hukum acara
perdata diatur dalam pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pasal 164
HIR, yang terdiri dari:
1.
Bukti tulisan/surat
2.
Bukti saksi
3.
Persangkaan
4.
Pengakuan
5.
Sumpah
Alat bukti surat ditempatkan dalam
urutan pertama, hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa surat atau akta dalam
perkara perdata memegang peranan yang sangat penting. Semua kegiatan yang
menyangkut bidang perdata dicatat atau dituliskan dalam
surat atau akta. Setiap perjanjian jual beli, hutang, sewa menyewa, hibah,
asuransi, perkawinan, kelahiran, kematian dan lain-lain sengaja dibuat dalam
bentuk tertulis dengan maksud sebagai alat bukti atas peristiwa hukum yang
terjadi. Apabila suatu ketika terjadi sengketa atas peristiwa itu
dapat dibuktikan dengan surat atau akta tersebut. Alat bukti saksi ditempatkan
dalam urutan kedua karena apabila bukti surat tidak ada atau tidak
cukup kuat maka dibutuhkan keterangan saksi-saksi yang melihat,
mendengar dan mengalami langsung peristiwa itu. Sampai sekarang belum ada
pembaruan atau perubahan mengenai jenis atau bentuk alat bukti yang disebutkan dalam
Pasal 1866 KUH Perdata/164 HIR. KUH Perdata (Burgelijk Wetbook)
diundangkan pada tanggal 30 April 1847 (Stbl 1847 No.43) berarti umur ketentuan alat
bukti tersebut telah mencapai satu setengah abad, sedangkan HIR hampir berumur
satu abad, diundangkan pada tahun 1941 (Stbl 1941 No.44). Pada hal perkembangan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan terus dan sekaligus memperkenalkan
jenis dan bentuk alat bukti barn yang lebih canggih seperti tape recorder,
E-mail dan lain-lain sebagainya. Dalam hukum pembuktian tidak ditentukan lagi jenis atau
bentuk alat bukti secara enumeratif. Kebenaran tidak hanya diperoleh dan alat bukti
tertentu, tetapi dan alat bukti mana sajapun hams diterima, sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan ketertiban umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan
sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu. sangat beralasan karena memberikan
kebebasan kepada Hakim untuk dapat menerima pembuktian asal usul
anak melalui hasil proses
pemeriksan secara medis yang dikenal dengan tes DNA. Dengan bukti surat resmi dari
laboratorium/rumah sakit dan keterangan dokter tersebut, hakim akan dapat
mengambil keputusan bahwa anak tersebut benar atau tidak berasal dan ayahnya.
Implikasi dari putusan pengadilan tersebut akan sangat berpengaruh sekali terhadap
nasab/keturunan, hak-hak pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut dan juga akan
berpengaruh terhadap hak perwalian, perkawinan dan kewarisan. 65
Dalam
kasus penyangkalan anak beban pembuktian menurut hukum perdata barat diberikan
hak kepada suami atau ahli waris untuk melakukan pembuktian. Dimana yang menjadi
dasar pembuktian adalah ukuran kelahiran dilihat dan jangka waktu kehamilan (conseptie tydperk)
yang
diberikan oleh undang-undang untuk mengetahui atau menentukan dasar sebagai anak yang
sah. memberikan jangka waktu dengan penghitungan kelahiran anak, yang terdiri
dari:66
1. Anak dilahirkan
sebelum hari ke 180, terhitung dari hari dilangsungkannya perkawinan (pasal
251 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
2. Apabila suami
sejak hari ke 300 sampai hari 180 sebelum lahirnya anak baik karena perpisahan
maupun sebagai akibat sesuatu kebetulan berada dalam ketakmungkinan yang nyata
untuk bersetubuh dengan isterinya (pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). ..
,
3. Apabila anak yang
dilahirkan 300 hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan tempat tidur
memperoleh kekuatan mutlak (pasal 254 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 67 m n n
Pembuktian tersebut
dengan cara penghitungan jangka waktu kelahiran anak dengan penghitungan secara
mundur yang sebagai patokan penghitungan adalah
65 Pelmizar
Batungkek Ameh, Tes DNA Darah Asal Usul Anak Di Pengadilan Agama, Hakim Tinggi
Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Barat, http://www.pta-padang.gold/data/artikel/Tes DNA Sebagai Alat
Bukti Penetapan Asal Usul Anak di PA.
66 J. Satrio, op.cit., hlm. 87
67 MR Martiman
Prodjohamidjoj, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Karya
Gemilang, 2007), hlm. 55
tanggal kelahiran anak
tersebut. Namun hal ini kurang akurat karena dapat terjadi bilamana isteri
telah mengandung sebelum pernikahan terjadi atau jangka waktu kelahiran kurang
dari 180 sebagimana ditemukan dalam pasal 251 Kitab UndangUndang Hukum
Perdata.
Pada
perkembangannya yang terjadi dalam teknologi dibidang ilmu kedokteran pembuktian mengenai
hubungan darah dapat dilakukan dengan tes DNA. Menurut dr. Herawati Sudoyo,
PhD, Principal Investigator sekaligus Manager Eksekutif Lembaga Biologi Molekul
Eijkman, DNA merupakan materi genetik yang membawa informasi yang dapat
diturunkan. 68 Tes DNA atau Deoxyribo Nucleic Acid merupakan sebuah metode identifikasi
dimana DNA merupakan salah satu asam nukleat yakni senyawa polimer yang
menyimpan semua informasi genetik yang dapat diturunkan. DNA dapat ditemukan
pada inti sel, di dalam inti sel DNA membentuk satu kesatuan untaian yang
disebut Kromosom. Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan,
|
|
yaitu: n Ain
|
|
|
1.
Untuk tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dan
anak.
2. Tujuan hukum yang meliputi masalah forensic seperti
identifikasi korban pembunuhan atau perkosaan. 69
Setiap
anak akan menerima setengah pasangan kromosom dan ayah dan setengah pasangan
kromosom dari ibu sehingga setiap individu membawa sifat yang diturunkan baik
dan ibu maupun ayah. Selain pada inti sel, DNA juga dapat ditemukan dalam mitokondria, yaitu bagian dari
sel yang menghasilkan energi. DNA mitrokondria hanya diturunkan dari ibu.
Identifikasi tes DNA terbagi atas dua jenis, yaitu:
1. Tes paternitas
adalah tes untuk menentukan apakah seorang pria adalah ayah biologis dan
seorang anak. Tes ini membandingkan pola DNA anak dengan terduga ayah untuk
memeriksa bukti pewarisan DNA yang menunjukkan
68 "Kesehatan" , <http://www2.kompas.com>, diakses 07 Juli 2008
69 "Apo Itu Tes
DNA", <http://chuphy.wordpress.com>, diakses 30 Agustus 2008
kepastian adanya hubungan
biologis. Untuk tes paternitas yang diperiksa adalah ibu, anak dan ayah.
2. Tes maternitas adalah tes
yang memanfaatkan keunikan pola pewarisan DNA mitokondria untuk menentukan
apakah seorang perempuan adalah ibu biologis seorang anak. Tes ini bisa
dilakukan untuk kasus dugaan bayi tertukar, bayi tabung dan anak angkat.
Dalam melakukan tes DNA yang
biasa digunakan adalah DNA inti sel dan DNA mitokondria hanya dapat
diturunkan dari ibu, dimana mitokondria yaitu bagian dan sel yang
menghasilkan energi, berkat mitokondria kita bisa bernafas dan sel
bisa memperbaiki
diri. DNA mitokondria dapat digunakan sebagai penanda untuk mengidentifikasi
hubungan kekerabatan secara maternal/garis ibu.
Di Indonesia terdapat dua laboratorium yang dapat
melayani untuk tes DNA yaitu Laboratorium Pusdokkes POLRI Jakarta Timur dan
Lembaga Bio Molekuler Ejikman Jakarta Pusat. 70 Dalam melakukan tes DNA yang
dapat diperiksa adalah semua sampel biologis mulai dari buccal swab (sel mukosa di pipi
bagian dalam), darah, kuku, sampai rambut. Namun menurut dr. Herawati Sudoyo, PhD yang
paling efektif
adalah pemeriksaan darah karena terdapat banyak DNA. Dalam pemeriksaan DNA ini tidak
terdapat batasan usia, bahkan pada janin dan orang yang sudah meninggal dapat
dilakukan. Pada tes paternitas sebelum anak dilahirkan tes dapat dilakukan dengan
sample dari jaringan janin, umumnya pada usia kehamilan 10-13 minggu atau dengan
cara amniosentesis (tes prenatal) pada usia kehamilan 14-24 minggu. Hasil tes
DNA selesai dalam waktu 12 hari kerja terhitung dan tanggal diterimanya
sample. Tes DNA sebagai bukti untuk mengetahui asal-usul anak sangat akurat
karena setiap orang memiliki DNA yang khas dengan kata lain tidak ada orang yang memiliki DNA
yang sama.
70 ibid
3. 5. AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK YANG
DISANGKAL
Undang-Undang
memberikan suatu ketentuan khusus mengenai keputusan Pengadilan tentang kedudukan
hukum seseorang dalam pasal 1920 Kitab UndangUndang Hukum Perdata
"Keputusan-keputusan
hakim perihal kedudukan hukum orang-orang yang mana putusan-putusan itu
dijatuhkan terhadap orang yang menurut undangundang berkuasa membantah
tuntutannya adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang".
Bahwa
keputusan mengenai kedudukan hukum seseorang adalah suatu fakta yang sedapat mungkin hams menggambarkan
kenyataan obyektif yang ada. Masyarakat
mempunyai kepentingan bahwa suatu keputusan yang telah diberikan mengenai hubungan kekeluargaan seseorang untuk
selanjutnya tidak dapat diganggu gugat
lagi. Jadi keputusan hakim tentang kedudukan hukum seseorang mengikat semua pihak. 71 dr.
Bilamana
ayah yang menyangkal kelahiran anaknya dapat membuktikan dipersidangan maka
kedudukan hukum anak yang disangkal adalah sebagai anak luar kawin sebagaimana
diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal
100 Kompilasi Hukum Islam, dimana anak luar kawin hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Menurut Hukum Perdata Barat anak yang
disangkal oleh ayahnya mempunyai kedudukan hukum sebagai anak zina.
Kedudukan anak luar kawin ataupun anak zina terdapat
diskriminasi,
yaitu: A. Nama
|
|
Segi
hukum nama seseorang dapat diterangkan sebagai berikut: ada yang berpendapat bahwa
nama hanya penting sebagai identifikasi untuk maksudmaksud hubungan kemasyarakatan
belaka, ada juga yang memandangnya sebagai tanda yang membedakan antara
orang yang satu dengan yang lainnya yang menyangkut kekerabatan.
Menurut Ny. Suwarni Salyo, SH nama sebagai atribut
71 J. Satrio, op.cit., hlm. 103
kepribadian hukum dan pula
memberi hak-hak pemilikan 72 fungsi apapun pada
umumnya
nama memberi identitas kepada seseorang dalam lingkungannya dan ada kalanya
menunjuk kepada keluarga asalnya. Yang terakhir ini berlaku pada masyarakat
yang mengenal nama keluarga, misalnya masyarakat tapanuli.
Pada umumnya anak
yang sah mendapat nama keluarga ayahnya, sedangkan anak yang lahir diluar
perkawinan mendapat nama keluarga dari ibu, tetapi terkadang ada juga yang
mengunakan nama ayah yang fiktif bagi anak luar kawin, nama ini yang kemudian
digunakan anak itu. Berarti mengenai masalah penggunaan nama keluarga ada 2
(dua) kemungkinan bagi anak luar kawin:
a. Kemungkinan
pertama, bagi anak luar kawin yang tidak diakui oleh orang tuanya maka ia
tidak berhak memakai nama keluarga baik dari ayah maupun
b. Kemungkinan
kedua bagi anak luar kawin yang diakui ayah dan atau ibunya, maka ia berhak
memakai nama keluarga dan ayah dan atau ibu pengakunya. Ada kalanya bagi
anak luar kawin yang terlah diakui ayahnya boleh memakai nama keluarga
ayahnya, akan tetapi ada juga masyarakat yang menentukan bahwa nama keluarga,
barn boleh dipakai jika telah terjadi pengesahan.
B. Kekuasaan orangtua 115-aNieZolifiv
1. Kekuasaan orang tua
Dalam beberapa
masyarakat dianut prinsip bahwa kekuasaan orang tua berada pada ayah saja.
Meskipun dalam peraturan dinyatakan bahwa kedua orang tua memiliki kekuasaan
tetapi untuk ayah diberikan wewenang eksklusif untuk melakukannya.
Dalam hukum kekuasaan orang
tua diberikan kepada ayah dan ibu bersamasama, akan tetapi jika
terjadi perselisihan pendapat mengenai siapa yang berhak maka diperlukan bantuan
keputusan pengadilan. Pada umumnya anak yang dilahirkan diluar
perkawinan maka kekuasaan orang tua diatur atas dasar
72
Suwarni Salyo, "Masalah Kedudukan anak yang lahir diluar
perkawinan Beberapa pikiran tentang kedudukan anak
ditinjau dari segi kesejahteraannya," (Jakarta:
Koleksi Lembar Lepas BPHN), hlm. 2
yang
berbeda. Perbedaan yang menonjol seperti halnya terhadap anak yang lahir dalam
perkawinan.
Bagi anak luar
kawin kekuasaan orang tua secara eksklusif berada pada ibu, oleh karena
dianggap sama sekali tidak ada pertalian antara ayah dengan anak yang lahir diluar
perkawinan. Namun masih dimungkinkan adanya kekuasaan orang tua berada ditangan
ayah yaitu dengan adanya pengakuan ayah terhadap anak tesebut dengan jalan
menikahi ibu si anak.
2.
Kewajiban pemeliharaan
Pada
umumnya yang dimaksud dengan kewajiban pemeliharaan adalah kewajiban seseorang
untuk menyediakan:
Biaya
hidup termasuk sandang, pangan, perumahan
Pendidikan
yang cukup sesuai dengan kemampuan anak
/I - Menjaga dan
menciptakan kesehatan baik jasmani dan maupun rohani
Untuk anak yang lahir didalam
perkawinan pada umumnya yang berkewajiban adalah kedua orang tua atau ayah. Bagi
anak yang lahir diluar perkawinan yang tidak diakui ayahnya maka mempunyai
kewajiban untuk memelihara secara ekonomis adalah ibu anak itu.
Sebagaimana
telah diketahui ada 2 (dua) cara untuk mewaris, yaitu:
a.
Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (ab
intestato)
b.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament), cara yang
kedua ini disebut mewaris secara testamentair. 73
Menurut Prof R.
Sardjono, SH dalam kuliahnya mengenai "Hukum waris menurut
KUHPerdata" pewarisan berarti beralihnya harta yang ditinggalkan orang yang mati
kepada para ahli waris.
Dalam hal dengan anak luar kawin berlaku ketentuan yang
berbeda dengan
ketentuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Pada umumnya is mewaris
dan keluarga ibunya, dalam hal anak itu sudah disahkan oleh ibunya. Seorang
ketentuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Pada umumnya is mewaris
dan keluarga ibunya, dalam hal anak itu sudah disahkan oleh ibunya. Seorang
73 R. Subekti, op.cit., hlm. 95
anak luar kawin dapat juga mewaris dan ayahnya, jika ia sudak diakui oleh
ayahnya tesebut. Bahwa dapat mewaris dari keluarga ayah jika anak sudah disahkan ayahnya.
Akibat lain yang ditimbulkan dari penyangkalan anak
selain kedudukan hukum anak dalam hak kedudukan sosial di masyarakat. Sesuai
dengan harkatnya sebagai manusia, manusia itu mahluk sosial yang tidaklah mungkin
dapat dipisahkan dan kehidupan masyarakatnya. seorang dilahirkan dalam
masyarakat (dalam bentuk miniaturnya adalah keluarga) dibesarkan, tumbuh dan
berkembang juga dalam masyarakat. Jika kelak ia sudah dewasa akan mengabdi bagi
masyarakat, sampai akhir hayat dan kembali kepada alam yang baka ditengah
masyarakat juga. Dalam kehidupan bermasyarakat tidak sedikit perbedaan sikap
masyarakat terhadap anak luar kawin, dimana sering atau bahkan terkadang sampai
seluruh keluarganya menanggung cacat cela yang disebabkan oleh sifat
kelahirannya. Kedudukan anak luar kawin adalah lebih rendah (inferieur) dari pada
anak sah, hal ini akan mempunyai akibat misalnya jika anak luar kawin akan
memilih pasangan hidupnya maka akan timbul masalah jika ditelusuri silsilah
keluarganya dan akhirnya diketahui bahwa ia adalah anak luar kawin, biasanya keluarga
pasangan akan menolak kehadirannya dengan alasan bahwa derajat mereka lebih
rendah.
wi.14S210....____4rdi>ow
NINO Ow
No comments:
Post a Comment