Indonesia merupakan negara hukum, oleh sebab itu maka pentingnya mengetahui kewenangan system peradilan yang ada. Salah satu contoh yang akan penulis teliti adalah mengenai kewenangan peradilan agama dalam hal perkara waris, dikaitkan dengan kewenangan perkara waris yang digugat ke peradilan umum tingkat pertama yaitu pengadilan negeri.
hal ini tentunya dapat memberikan kebingungan bagi masyarakat luas, maka oleh karena itu perlu diteliti kembali dilihat berdasarkan dasar hukum kewenangan yang dimiki.
Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kalimat
yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama guna memangkas choice
of law dalam Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum tersebut
dinyatakan “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih
hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
Secara harfiah dari Pernyataan dalam Penjelasan Umum tersebut adalah pilihan
hukum sudah tidak dimungkinkan lagi.
Dalam praktek masih terdapat hakim Pengadilan Negeri
masih menerima, memeriksa dan memutus sengketa waris terkadang berlindung pada:
1.
Asas hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan
kepadanya
Sebagaimana
telah diungkapkan dimuka bahwa hakim terkadang mengklaim dirinya (wilayah
kewenangan) berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu sengketa
waris baik yang beragama Islam maupun yang berbeda agama bagi ahli warisnya.
Sehingga dalam prakteknya beberapa hakim masih menerima dan memeriksa bahkan
memutus atau mengklaim institusinya berwenang, walaupun ada Asas Personalitas
Keislaman.
2.
Asas Personalitas Ke-Islaman Tidak Jelas
Berdasarkan
Pasal 2 jo. Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo.
Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, menetapkan asas dasar atau sentral adalah Personalitas
Ke-Islaman, sehingga hal tersebut membawa konsekuensi hukum, bahwa masalah
kewarisan bagi orang islam atau setiap orang islam, bila terjadi sengketa, maka
kewenangan mengadili ada pada Pengadilan Agama bukan Pengadilan Negeri. Jadi
berdasarkan Asas ini, telah tidak ada lagi pilihan hukum dan telah jelas, bagi
yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan bagi Non-Islam di Pengadilan
Negeri, sehingga tidak lagi melihat mau tunduk terhadap hukum yang mana, Apakah adat atau eropa, karena permasalahan
ini dilihat personalitasnya.
3.
Ada kemungkinan dalam perkara ini terdapat Ahli Waris
yang non Muslim
Dalam
praktek, masalah personalitas keislaman ini masih menjadi perdebatan, apakah
personalitas dari pewaris atau ahli warisnya, disisi lain yang memiliki harta
adalah pewaris, namun yang saling bersengketa adalah yang ditinggalkan/ahli
warisnya. Sebagai contoh; Pewaris beragama Islam, ahli waris ada tiga anak
(satu anak laki-laki beragama Islam, dua perempuan beragama non-islam) dimana
dua orang anak perempuan meminta pembagian diselesaiakan di Pengadilan Negeri
(karena secara kekeluargaan tidak ditemui penyelesaian) agar nantinya
mendapatkan harta waris dan bagian 1:1, kemudian pihak laki-laki mengajukan ke
PA dengan melihat personalitas dari Pewaris dan tunduk pada hukum Islam, karena
saling berseteru, akhirnya sama-sama mengajukan ke dua wilayah Peradilan
(Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan tunduk hukum islam atau
Pengadilan Negeri bagi yang berkeinginan “pemerataan hak” dan mendapatkan
bagian 1:1 serta tunduk pada hukum adat/eropa). Sebagaimana telah diungkapkan
di atas, hal tersebut semakin diperparah ketika para Penegak Hukum di wilayah
pengadilan juga sama-sama saling mengklaim dirinya berwenang memeriksa,
mengadili dan memutus atas sengketa termaksud dan bila sengketa itu sama-sama
jalan, maka pada akhirnya kedua lembaga tersebut harus menghentikan pemeriksaan
perkara tersebut dan masing-masing mengirimkan berkas perkara tersebut ke MA untuk
ditetapkan peradilan mana yang berwenang memeriksa perkara tersebut, dan kalau
sampai ke MA akan memerlukan waktu yang cukup lama.
4.
Materinya bukan Gugatan Waris, tetapi Gugatan
Perbuatan Melawan Hukum
Dalam
praktek terdapat beberapa pencari keadilan berusaha mengajukan gugatan waris di
Peradilan Umum melalui gugatan Perbuatan Melawan Hukum, Peradilan Umumpun
menerima dan memeriksa perkara tersebut dengan alasan sengketa waris itu
berbeda dengan sengketa Perbatan Melawan Hukum, baik dari dasar hukumnya maupun
akibat putusannya walaupun objek sengketanya sama.
5.
Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Karena
dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) maupun penjelasannya bertentangan dengan
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu: Yang dimaksud
dengan “antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan Pasal ini”. Karena pencari keadilan sudah mengajukan ke Pengadilan
Negeri berarti ia tidak mau menundukkan diri kepada hukum Islam, apabila
Pengadilan Agama tetap saja memproses perkara tersebut tanpa mempertimbangan
masalah tersebut berarti Pengadilan Agama sudah tidak menghormati hak dan rasa
keadilan non muslim, ditambah lagi dalam hukum Islam apabila antara pewaris dan
ahli waris berbeda agama, maka akan terhalang kewarisannya.
Padahal sudah jelas dan nyata bagi orang-orang Islam
dalam sengketa waris sudah tidak ada lagi pilihan hukum (choice of law) dengan
alasan sebagai berikut:
1.
Sesuai Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama guna memangkas “choice of law” dalam Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum
tersebut dinyatakan “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
2.
Apabila non muslim tidak mau tunduk kepada hukum
Islam, maka sesuai dengan keputusan rakernas MA tahun 1985, yang berlangsung
tanggal 21-23 Maret 1985 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, apabila terjadi
perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris, yang diberlakukan adalah hukum
waris yang berlaku bagi si waris (orang yang meninggal dunia).[1]
3.
Asas Lex Specialis derogate legi generali, lex
posteriori derogate lex priori.
Merujuk pada Asas Lex speciali derogate legi generali
artinya aturan yang khusus mengalahkan aturan yang umum. Sedang lex posteriori
derogate lex priori artinya aturan yang lama (yang berlaku terdahulu)
dikalahkan/dibatalkan aturan yang baru (berlaku belakangan). Bahwa dalam sistem
hukum di Indonesia menganut beberapa sistem sebagai akibat dari pluralisme
hukum yakni Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat/BW. Dimana ketiganya
mencakup masalah kewarisan. Maka UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan Undang-Undang Khusus. Oleh
karenanya atas dasar Asas Lex Specialis derogate Legi Generali, maka
Undang-Undang yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam adalah UU No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Oleh
karena itu berdasarkan Asas Lex Posteriori derogate lex priori, maka aturan
yang berlaku adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sehingga dengan berdasar dari Asas-Asas
tersebut seharusnya Undang-Undang Peradilan Agama dapat menyisihkan
Undang-Undang Peradilan Umum dalam hak kewenangan mengadili perkara Kewarisan
bagi orang-orang Islam.
No comments:
Post a Comment