Pages

Friday 31 October 2014

KEWENANGAN PERADILAN ABSOLUT YANG BERSINGGUNGAN

Indonesia merupakan negara hukum, oleh sebab itu maka pentingnya mengetahui kewenangan system peradilan yang ada. Salah satu contoh yang akan penulis teliti adalah mengenai kewenangan peradilan agama dalam hal perkara waris, dikaitkan dengan kewenangan perkara waris yang digugat ke peradilan umum tingkat pertama yaitu pengadilan negeri. hal ini tentunya dapat memberikan kebingungan bagi masyarakat luas, maka oleh karena itu perlu diteliti kembali dilihat berdasarkan dasar hukum kewenangan yang dimiki.
 
Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama guna memangkas choice of law dalam Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum tersebut dinyatakan “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. Secara harfiah dari Pernyataan dalam Penjelasan Umum tersebut adalah pilihan hukum sudah tidak dimungkinkan lagi.
Dalam praktek masih terdapat hakim Pengadilan Negeri masih menerima, memeriksa dan memutus sengketa waris terkadang berlindung pada:
               1.      Asas hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya
                 Sebagaimana telah diungkapkan dimuka bahwa hakim terkadang mengklaim dirinya (wilayah kewenangan) berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu sengketa waris baik yang beragama Islam maupun yang berbeda agama bagi ahli warisnya. Sehingga dalam prakteknya beberapa hakim masih menerima dan memeriksa bahkan memutus atau mengklaim institusinya berwenang, walaupun ada Asas Personalitas Keislaman.
               2.      Asas Personalitas Ke-Islaman Tidak Jelas
                 Berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menetapkan asas dasar atau sentral adalah Personalitas Ke-Islaman, sehingga hal tersebut membawa konsekuensi hukum, bahwa masalah kewarisan bagi orang islam atau setiap orang islam, bila terjadi sengketa, maka kewenangan mengadili ada pada Pengadilan Agama bukan Pengadilan Negeri. Jadi berdasarkan Asas ini, telah tidak ada lagi pilihan hukum dan telah jelas, bagi yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan bagi Non-Islam di Pengadilan Negeri, sehingga tidak lagi melihat mau tunduk terhadap hukum yang mana,  Apakah adat atau eropa, karena permasalahan ini dilihat personalitasnya.
               3.      Ada kemungkinan dalam perkara ini terdapat Ahli Waris yang non Muslim
                 Dalam praktek, masalah personalitas keislaman ini masih menjadi perdebatan, apakah personalitas dari pewaris atau ahli warisnya, disisi lain yang memiliki harta adalah pewaris, namun yang saling bersengketa adalah yang ditinggalkan/ahli warisnya. Sebagai contoh; Pewaris beragama Islam, ahli waris ada tiga anak (satu anak laki-laki beragama Islam, dua perempuan beragama non-islam) dimana dua orang anak perempuan meminta pembagian diselesaiakan di Pengadilan Negeri (karena secara kekeluargaan tidak ditemui penyelesaian) agar nantinya mendapatkan harta waris dan bagian 1:1, kemudian pihak laki-laki mengajukan ke PA dengan melihat personalitas dari Pewaris dan tunduk pada hukum Islam, karena saling berseteru, akhirnya sama-sama mengajukan ke dua wilayah Peradilan (Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan tunduk hukum islam atau Pengadilan Negeri bagi yang berkeinginan “pemerataan hak” dan mendapatkan bagian 1:1 serta tunduk pada hukum adat/eropa). Sebagaimana telah diungkapkan di atas, hal tersebut semakin diperparah ketika para Penegak Hukum di wilayah pengadilan juga sama-sama saling mengklaim dirinya berwenang memeriksa, mengadili dan memutus atas sengketa termaksud dan bila sengketa itu sama-sama jalan, maka pada akhirnya kedua lembaga tersebut harus menghentikan pemeriksaan perkara tersebut dan masing-masing mengirimkan berkas perkara tersebut ke MA untuk ditetapkan peradilan mana yang berwenang memeriksa perkara tersebut, dan kalau sampai ke MA akan memerlukan waktu yang cukup lama.
               4.      Materinya bukan Gugatan Waris, tetapi Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
                 Dalam praktek terdapat beberapa pencari keadilan berusaha mengajukan gugatan waris di Peradilan Umum melalui gugatan Perbuatan Melawan Hukum, Peradilan Umumpun menerima dan memeriksa perkara tersebut dengan alasan sengketa waris itu berbeda dengan sengketa Perbatan Melawan Hukum, baik dari dasar hukumnya maupun akibat putusannya walaupun objek sengketanya sama.
               5.      Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
                 Karena dalam Pasal  50 ayat (1) dan (2) maupun penjelasannya bertentangan dengan Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu: Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini”. Karena pencari keadilan sudah mengajukan ke Pengadilan Negeri berarti ia tidak mau menundukkan diri kepada hukum Islam, apabila Pengadilan Agama tetap saja memproses perkara tersebut tanpa mempertimbangan masalah tersebut berarti Pengadilan Agama sudah tidak menghormati hak dan rasa keadilan non muslim, ditambah lagi dalam hukum Islam apabila antara pewaris dan ahli waris berbeda agama, maka akan terhalang kewarisannya.
Padahal sudah jelas dan nyata bagi orang-orang Islam dalam sengketa waris sudah tidak ada lagi pilihan hukum (choice of law) dengan alasan sebagai berikut:
               1.      Sesuai Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama guna memangkas “choice of law” dalam Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum tersebut dinyatakan “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
               2.      Apabila non muslim tidak mau tunduk kepada hukum Islam, maka sesuai dengan keputusan rakernas MA tahun 1985, yang berlangsung tanggal 21-23 Maret 1985 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, apabila terjadi perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris, yang diberlakukan adalah hukum waris yang berlaku bagi si waris (orang yang meninggal dunia).[1]
               3.      Asas Lex Specialis derogate legi generali, lex posteriori derogate lex priori.
Merujuk pada Asas Lex speciali derogate legi generali artinya aturan yang khusus mengalahkan aturan yang umum. Sedang lex posteriori derogate lex priori artinya aturan yang lama (yang berlaku terdahulu) dikalahkan/dibatalkan aturan yang baru (berlaku belakangan). Bahwa dalam sistem hukum di Indonesia menganut beberapa sistem sebagai akibat dari pluralisme hukum yakni Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat/BW. Dimana ketiganya mencakup masalah kewarisan. Maka UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan Undang-Undang Khusus. Oleh karenanya atas dasar Asas Lex Specialis derogate Legi Generali, maka Undang-Undang yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam adalah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu berdasarkan Asas Lex Posteriori derogate lex priori, maka aturan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sehingga dengan berdasar dari Asas-Asas tersebut seharusnya Undang-Undang Peradilan Agama dapat menyisihkan Undang-Undang Peradilan Umum dalam hak kewenangan mengadili perkara Kewarisan bagi orang-orang Islam.


            [1] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, lengkap dengan Blangko Perkara, (Jakarta: IKAHI, 2008), Cet. Ke-1, h. 200

No comments:

Post a Comment