ANALISA
TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA MUTILASI
Daftar
Isi
DAFTAR
ISI
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
B. KASUS
POSISI
C. IDENTIFIKASI
MASALAH
D. ANALISIS
/ PEMBAHSAN
E. PENUTUP
-
Kesimpulan
-
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Latar
Belakang Masalah
Di
era globalisasi ini, tingkat kejahatan dan kriminalitas semakin meningkat
mengikuti pertumbuhan ekonomi dan industry yang cukup berkembang. Hal tersebut
bisa dilihat dimedia cetak maupun elektronik.
Aristoteles
menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan
yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi
untuk kemewahan.[1]
Berbicara
mengenai kejahatan khususnya pembunuhan, dahulu orang membunuh dengan cara yang
sederhana sehingga mudah terungkap oleh aparat kepolisian. Namun sekarang
terjadi peristiwa pembunuhan dengan cara yang berbeda dan cukup sadis, yakni
dengan cara mutilasi. Pembunuhan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang
jelas-jelas dilarang oleh negara karena telah melanggar Hak Asasi Manuasia
yaitu Hak untuk hidup sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 dan juga ketentuan
pidananya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu pada Bab XIX.
Dalam
prakteknya banyak cara yang dilakukan pelaku pembunuhan dalam melakukan
pembunuhan terhadap korbannya yaitu salah satunya dengan cara di mutilasi yaitu
dipotong-potong hingga menjadi beberapa bagian.
B.
Kasus
Posisi
DEPOK, KOMPAS.com — Tim kuasa hukum Very Idham
Henyansyah alias Ryan (30) berargumen bahwa kliennya tidak terbukti melanggar
Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana seperti yang didakwakan jaksa
penuntut umum. Hal tersebut disampaikan salah satu kuasa hukumnya, Kasman Sangaji,
dalam persidangan lanjutan dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi
kasus mutilasi terhadap Heri Santoso (40) di Pengadilan Negeri Depok, Jawa
Barat, Senin (30/3).
Sebelumnya, JPU menuntut tuntutan pidana mati kepada Ryan karena perbuatannya
dinilai memenuhi empat unsur pembunuhan berencana, yakni barang siapa dengan
sengaja merencanakan dan menghilangkan nyawa orang lain. Ryan secara sah dan
meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Heri di tempat
tinggalnya di apartemen Margonda Residence, Depok.
Kasman Sangaji, ketika membacakan pledoi setebal 94 halaman, mengatakan,
berdasarkan fakta-fakta persidangan, Ryan menderita sakit jiwa karena telah
melakukan pembunuhan secara keji tanpa merasa bersalah. Dengan demikian, unsur
"barang siapa" tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
"Dengan demikian, terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban
secara pidana," ujar Kasman. Unsur lainnya yang krusial adalah
"merencanakan".
Menurut G Nyoman Rae, kuasa hukum Ryan lainnya, Ryan melakukan pembunuhan
karena dipicu oleh ucapan korban mengenai Novel Andreas, kekasih Ryan waktu
itu, yang tidak mengenakkan sehingga pemuda Jombang tersebut naik pitam.
Ditambahkan, jika Ryan merencanakan pembunuhan, dia mungkin akan
menggunakan golok atau senjata tajam lainnya, bukan dengan pisau dapur. Nyoman
mengatakan, melihat fakta-fakta persidangan yang ada, beserta pledoi, pihaknya
optimistis bahwa Ryan tidak akan dijatuhi vonis hukuman mati oleh majelis hakim
yang diketuai oleh Suwidya.
Tim kuasa hukum tersebut juga meminta majelis hakim membebaskan Ryan dari
segala tuntutan, mengembalikan hak-hak Ryan, dan membebankan biaya perkara
kepada negara.
Sementara itu, Ismed, salah satu jaksa penuntut umum, meminta majelis
hakim untuk menolak nota pembelaan tim kuasa hukum Ryan. "Tindak pidana
yang dilakukan terdakwa telah meresahkan orang lain," ujarnya.
C.
Identifikasi
Masalah
Tindak Pidana Pembunuhan memang
sudah lama di kenal oleh Hukum Nasional kita melalui Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Bab XIX Buku II KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap Nyawa.
Keadaan ini tentu saja dapat
menimbulkan masalah hukum tentang kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Oleh karena itu dapatlah diambil beberapa isu hukum yaitu:
- Apakah tindakan pemotongan tubuh korban (mutilasi) dapat disebut sebagai kejahatan?
- ketentuan hukum pidana apakah yang dapat dikenakan pada tindak mutilasi?
D.
Analisis
dan Pembahasan
Analisa Yuridis
Setelah
kita ketahui beberapa analisa terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh
Ryan yaitu pembunuhan terhadap beberapa korban yang salah satunya di mutilasi
oleh Ryan, perlu juga kita analisa tindakan hukum yang pantas diberikan
terhadap pelaku kejahatan tersebut yaitu Very Idham Heryansyah alias Ryan.
Seperti
yang telah kita ketahui dari kronologis pembunuhan yang telah dilakukan oleh
Ryan terhadap korbannya yaitu Heri Santoso, maka dapat kita tarik unsur-unsur
dari tindakan yang telah dilakukan Ryan yaitu :
- pembunuhan dilakukan dengan sengaja dengan cara mengambil pisau diatas meja dan menusuk korban berkali-kali.
- korban di potong-potong (mutilasi) menjadi 7 bagian untuk menghilangkan jejak dan alat vital Heri dirusak Ryan
- harta korban dikuasai untuk digunakan bersama Noval pasangan gay Ryan
dari
ketiga unsur tersebut Ryan dapat didakwa dengan pasal 339 KUHP dengan ancaman
hukuman seumur hidup yaitu ; “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau
didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri
sendiri maupun peserta lainnya dan pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara malawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun”, hal ini karena setelah Ryan melakukan pembunuhan
dia juga melakukan mutilasi atau memotong-motong tubuh korban agar tidak
ketahuan oleh orang lain akan tindakannya terhadap korban (Heri Santoso) yang
telah dibunuh Ryan selain itu juga Ryan menguasai harta yang dimiliki korban
untuk digunakan bersama dengan Noval.
Selain
pasal 339 KUHP, Ryan didakwa lebih subsider pasal 338 KUHP dengan ancaman
hukuman 15 tahun penjara yaitu ; “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun penjara”, ini karena Ryan dengan sengaja melakukan pembunuhan
terhadap korban (Heri Santoso) yang pada saat itu berselisih dengan pelaku, hal
ini terbukti dengan tindakan yang Ryan lakukan dengan mengambil pisau diatas
meja untuk ditusukkan terhadap korban yang bukan hanya sekali tetapi
berkali-kali yang berarti pembunuhan yang Ryan lakukan merupakan tindakan
melawan hukum yang dilakukan secara sengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang
dan bukan suatu tindakan untuk melindungi diri, karena apabila tindakan
melindungi diri tidak akan mengulangi tindakan menikam secara berkali-kali
kecuali ada dendam sebelumnya.
Selain
itu juga Ryan dapat didakwa pasal 365 ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman 9
tahun penjara yaitu ; “Jika perbuatan (pencurian) mengakibatkan kematian,
maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, ini
karena Ryan telah melakukan pencurian yang sebelumnya didahului dengan
pembunuhan terhadap korban.
Akan
tetapi Ryan sebagai pelaku pembunuhan tidak hanya didakwa dengan dakwan seperti
yang telah disebutkan diatas, tetapi juga didakwa dengan pasal 340 KUHP dengan
ancaman hukuman mati yaitu ; “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun”, hal ini karena Ryan sebagai pelaku
pembunuhan tidak hanya melakukan pembunuhan pada Heri Santoso saja tetapi pada
korban-korban lain sebelum Heri yang dilakukan dengan sengaja dan berencana
untuk menguasai harta yang dimiliki korban kecuali korban ke 4 yang dibunuh
karena menjadi saksi atas tindakan yang telah Ryan lakukan terhadap korban
sebelumnya.
Selain
Ryan, Noval juga dapat didakwa dengan pasal 480 ayat 2 KUHP dengan ancaman
hukuman paling lama empat tahun penjara yaitu ; “Diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah :
- barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
- barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan”,
ini
karena Noval ikut serta menggunakan hasil secara bersama-sama dengan Ryan dari
barang yang dirampas dari korban oleh Ryan.
Namun
dari pembahasan sebelumnya kita ketahui bahwa Ryan diduga sebagai seorang
Psikopat yang berarti mempunyai kelainan jiwa pada dirinya. Hal ini dilihat
dari tingkah laku Ryan yang lebih cenderung mendekati ciri-ciri dari seorang
psikopat yaitu tidak adanya penyesalan dari dirinya atas apa yang telah dia
lakukan kepada para korbannya selama ini.
Apabila
dugaan terhadap Ryan terbukti yaitu mempunyai kelainan jiwa, maka secara hukum
Ryan dapat dibebaskan dari ancaman pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 44
KUHP yaitu ;
- Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya katrena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
- Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimaasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
- Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dari
kalimat “jiwanya cacat dalam tumbuhnya” diatas sebenarnya tidak jelas, sebab
ini memang dapat diasumsikan juga sebagai “kelainan jiwa”, dan ini pun
memungkinkan seorang psikopat lolos dari jeratan hukum. Yang berarti Ryan
sebagai seorang pelaku pembunuhan dapat lolos dari jeratan hukum apabila
dinyatakan sebagai seorang Psikopat yang notabene merupakan orang yang memiliki
“Kelainan Jiwa”.
Maka
dalam hal ini Penyidik dari kepolisian, Jaksa ataupun Hakim dapat menelaah
dengan benar akan kasus yang dilakukan oleh Ryan karena jika sampai Ryan
dinyatakan “Sakit jiwa” maka Ryan tidak dapat di pidana dan hanya dapat
dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa paling lama satu tahun sebagai suatu
percobaan dan setelahnya dapat bebas berkeliaran dalam masyarakat yang dapat
membuat masyarakat resah dengan adanya Ryan yang notabene seorang Psikopat dan
membahayakan terhadap orang sekitarnya.
Pembahasan
Mutilasi adalah
pemotongan atau perusakan mayat, tidak jarang mempunyai motof kejahatan
seksual, dimana tidak jarang tubuh korban dirusak, dipotong-potong menjadi
beberapa bagian.[2]
Menurut beberapa ahli kejahatan pidana, kejahatan mutilasi terjadi tergantung
pada keadaan psikis sipelaku, dimana sipelaku cenderung mengalami gangguan
jiwa, pada pendapat lain ahli berpendapat bahwa kejahatan ini untuk menutupi
kejahatan pembunuhan tersebut sehingga korban tidak diketahui keberadaannya
ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik dalam mengungkap
identitasnya.[3]
1. Tindak
Mutilasi sebagai kejahatan
Untuk
dapat disebut sebagai tindak pidana sebuah tindakan haruslah memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan
yang terlarang baik secara formiil atau materiil. pembagian tindakan yang
terlarang secara formiil atau materiil ini sebenarnya mengikuti KUHP sebagai
buku Induk dari semua ketentuan hukum pidana Nasional yang belaku. KUHP
membedakan tindak pidana dalam dua bentuk, kejahatan (misdrijven) dan
pelanggaran (overtredingen). sebuah tindakan dapat disebut sebagai
kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela seperti yang di
tentukan dalam undang-undang. sedangkan tindakan dapat dikatakan sebagai
pelanggaran karena pada sifat perbuatan itu yang menciderai ketentuan hukum
yang berguna untuk menjamin ketertiban umum (biasanya aturan dari Penguasa).
Black’s Law Dictionary (Bryan Garner:1999) memberikan definisi mutilasi (mutilation)
sebagai “the act of cutting off maliciously a person’s body, esp. to impair
or destroy the vistim’s capacity for self-defense.”Apabila di kaji secara
mendalam, tindak mutilasi ini terbatas pada korban yang berwujud manusia
alamiah baik perseorangan maupun kelompok dan bukanlah binatang. tindakan ini
bisa dilakukan oleh pelaku pada korban pada waktu masih bernyawa atau pun pada
mayat korban. tindakan pemotongan manusia secara hidup-hidup (sadis) ataupun
mayat jelas merupakan tindakan yang sangat di cela oleh masyarakat dan dianggap
sebagai tindakan yang sangat jahat. oleh karena itu, menurut penulis tindak
mutilasi sangatlah tepat jika di golongkan ke dalam Kejahatan dan bukan
pelanggaran. hal ini juga di dasarkan atas fungsi hukum pidana sebagai hukum
public yang melindungi dan menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum
masyarakat luas.
2. Ketentuan
Hukum Pidana untuk Mutilasi
setelah
melakukan studi literatur dan produk hukum pidana sampai saat ini penulis belum
mendapatkan satu ketentuan hukum pidana yang mengatur secara tegas dan jelas
mengenai tindakan mutilasi. KUHP sebagai buku induk dari semua ketentuan hukum
pidana di luar KUHP selama undang-undang tersebut tidak menentukan lain (
Moeljatno) ternyata juga tidak mengatur tindakan ini. Lalu apakah pelaku akan
bebas jika ternyata tidak terdapat ketenuan hukum yang mengaturnya. jelas
tidak. berikut ini beberapa ketentuan hukum pidana yang mungkin diterapkan pada
tindak mutilasi dan kelemahannya.
a.
Mutilasi pada korban yang masih hidup
o
Mutilasi sebagai bentuk kejahatan penganiayaan
§
penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
mutilasi berarti pemotongan anggota
tubuh korban, ini berarti termasuk dalam penganiyaan berat. Pasal 90 KUHP
menjelaskan ‘luka berat’ sebagai luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali/bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan pekerjaan
pencarian; kehilangan salah satu panca indera; cacat berat (verminking); sakit
lumpuh; terganggunya daya pikir selama min. 4 minggu;gugurnya kandungan seorang
perempuan
·
Pasal 351 ayat (2) KUHP à
tindakan mutilasi pada ketentuan ini jelas mengacu pada tindakan untuk membuat
orang lain merasakan atau menderita sakit secara fisik. hanya saja tindakan
penganiayaan ini dilakukan oleh pelaku secara langsung tanpa ada rencana yang
berakibat ‘luka berat’.
sanksi pidana : penjara max 5 tahun
·
pasal 353 ayat (1) KUHP à
tindakan mutilasi ini dapat dikatakan sebagai rangkaian atau salah satu dari
beberapa tindakan penganiayaan pada korban yang masih hidup. Berbeda dengan
Pasal 351 KUHP, Pasal ini lebih menitik beratkan pada perencanaan pelaku untuk
melakukan tindakan tersebut sehingga berakibat akhir luka berat pada korban.
sanksi pidana: penjara max. 7 tahun
·
Pasal 354 (1) KUHP à secara khusus sebenarnya KUHP sudah
memberikan ketentuan yang melarang tindakan yang mengakibatkan luka berat.
kekhususan pasal ini tampak pada kesengajaan pelaku dalam melakukan mutilasi
yang timbul dari niat agar korban menderita luka berat.
sanksi: pidana penjara max. 8 tahun
·
pasal 355 ayat (1) KUHP à
dari sejak awal pelaku telah melakukan mutilasi sebagai tindakan penganiayaan
dia dan sudah direncanakan terlebih dahulu.
sanksi: pidana penjara max. 12 tahun
·
pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi pidana karena
pelaku adalah keluarga korban, pejabat, memberikan bahan berbahaya.
sanksi: pidana penjara +1/3 dari sanksi
pidana yang di ancamkan.
§
penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban
·
pasal 351 ayat (3) KUHP àsanksi
pidana penjara: max 7 tahun
·
pasal 353 ayat (3) KUHP à
sanksi: pidana penjara: max 9 tahun
·
pasal 354 ayat (2) KUHPà
penganiayaan berat, sanksi: pidana penjara max. 10 tahun
·
pasal 355 ayat (2) KUHP à
penganiayaan berat dengan rencana, sanksi: pidana penjara max. 15 tahun
·
pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi +1/3
- Mutilasi sebagai bentuk kejahatan terhadap nyawa
tindakan mutilasi di sini dapat
dipahami sebagai tindakan pelaku melakukan pemotongan tubuh korban untuk
mengakibatkan si korban mati. sangat berbeda dengan penganiayaan, dimana
matinya korban tidak di rencanakan atau di harapkan sebelumnya. pada golongan
ini, tindakan mutilasi ini jelas-jelas ditujukan untuk matinya korban.
misalnya, dengan menebas kepala korban dengan celurit, memotong tubuh korban
secara langsung dengan gergaji mesin, dll.
§
pasal 338 KUHP à perbuatan mutilasi yang dilakukan
serta merta dan berakibat matinya korban
sanksi: pidana penjara max. 15 tahun
§
pasal 340 KUHP à perbuatan mutilasi sebelumnya telah
direncanakan terlebih dahulu dan setelah dijalankan berakibat matinya korban
sanksi: pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup
b.
Mutilasi pada mayat korban
perlu diketahui KUHP memandang mayat bukan sebagai manusia
alamiah yang hidup namun hanya sebagai benda yang sudah tidak bernyawa lagi.
mengenai hal ini dapat kita kaji pasal 180 KUHP tentang perbuatan melawan hukum
menggali dan mengambil jenazah, pelaku di ancam dengan pidana penjara maksimal
1 tahun 4 bulan atau denda maksimal 300 rupiah. hal ini sangat berbeda jauh
jika di bandingkan dengan pasal penculikan orang (pasal 328 misalnya)
memberikan sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun. Jika di bandingkan terhadap
pasal pencurian barang pun sebenarnya juga sangat jauh berbeda, pasal 362 KUHP
sangat memandang serius tindakan pencurian barang dan mengancam pelaku dengan
sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun penjara. oleh karena itu dapat di ambil
suatu kesimpulan bahwa pengaturan tentang mayat atau jenazah di dalam KUHP
masih sebatas pada benda yang sudah tidak bernyawa lagi.
·
pasal 406 KUHP à penghancuran atau perusakan barang
yang menjadi kepunyaan orang lain. istilah ‘kepunyaan’ orang lain ini sangatlah
berbeda dengan kepemilikan dari orang terhadap barang miliknya. pengertian
‘kepunyaan’ ini sangatlah luas tidak hanya semata-mata hak milik tetapi juga
tanggung jawab yang telah diberikan dalam undang-undang. Jenazah tidak dapat
dimiliki oleh jenazah itu sendiri, karena hak milik mensyaratkan subyeknya
orang yang bernyawa. si ahli warislah yang menjadi penanggung jawab atas
jenazah tersebut seperti tanggung jawab yang telah diberikan Undang-undang
tentang hukum keluarga.
sanksi: penjara 2 tahun 8 bulan
·
pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP à
penghancuran benda-benda yang dapat dijadikan barang bukti tindak pidana
sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau
denda max. 300 rupiah
·
pasal 222 KUHP à pencegahan atau menghalang-halangi
pemeriksaan mayat
sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau
denda max. 300 rupiah
E.
Penutup
-
Kesimpulan
Sampai
saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana
mutilasi ini secara jelas dan tegas. namun tidak berarti pelaku dapat dengan
bebas melakukan perbuatannnya tanpa ada hukuman. tindak mutilasi pada
hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk meniadakan
identitas korban atau penyiksaan terhadapnya. oleh karena itu sangatlah jelas
dan benar jika tindak mutilasi ini dikelompokan sebagai tindak pidana bentuk
kejahatan. Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP sebenarnya
memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah satu
bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pembunuhan. Hanya saja
memang sangat diakui dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang pelaku melakukan
mutilasi bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi seringkali terjadi sebagai
rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti
(mayat) tidak diketahui identitasnya. Pada titik ini seringkali aparat
kepolisian hanya menganggap tindakan mutilasi sebagai tindakan menghilangkan
barang bukti dengan demikian rasa keadilan masyarakat tidak terfasilitasi.
Adalah tugas hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam
rangka membuat Yurisprudensi yang menetapkan tindakan mutilasi sebagai bentuk
Kejahatan.
Daftar Pustaka
1.
Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana
2.
Koesparmono
Irsan, Kedokteran Porensik, Jakarta:2008
4.
Topo
Santoso, Eva Achjhani Zulfa, Kriminologi,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
No comments:
Post a Comment