Pages

Saturday 1 November 2014

TINDAK PIDANA KHUSUS




ANALISA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA MUTILASI
Daftar Isi
DAFTAR ISI
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
B.     KASUS POSISI
C.     IDENTIFIKASI MASALAH
D.    ANALISIS / PEMBAHSAN
E.     PENUTUP
-          Kesimpulan
-          Saran
DAFTAR PUSTAKA













A.    Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi ini, tingkat kejahatan dan kriminalitas semakin meningkat mengikuti pertumbuhan ekonomi dan industry yang cukup berkembang. Hal tersebut bisa dilihat dimedia cetak maupun elektronik.
Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan.[1]
Berbicara mengenai kejahatan khususnya pembunuhan, dahulu orang membunuh dengan cara yang sederhana sehingga mudah terungkap oleh aparat kepolisian. Namun sekarang terjadi peristiwa pembunuhan dengan cara yang berbeda dan cukup sadis, yakni dengan cara mutilasi. Pembunuhan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang jelas-jelas dilarang oleh negara karena telah melanggar Hak Asasi Manuasia yaitu Hak untuk hidup sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 dan juga ketentuan pidananya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu pada Bab XIX.
Dalam prakteknya banyak cara yang dilakukan pelaku pembunuhan dalam melakukan pembunuhan terhadap korbannya yaitu salah satunya dengan cara di mutilasi yaitu dipotong-potong hingga menjadi beberapa bagian.

B.     Kasus Posisi
DEPOK, KOMPAS.com — Tim kuasa hukum Very Idham Henyansyah alias Ryan (30) berargumen bahwa kliennya tidak terbukti melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana seperti yang didakwakan jaksa penuntut umum. Hal tersebut disampaikan salah satu kuasa hukumnya, Kasman Sangaji, dalam persidangan lanjutan dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi kasus mutilasi terhadap Heri Santoso (40) di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Senin (30/3).
Sebelumnya, JPU menuntut tuntutan pidana mati kepada Ryan karena perbuatannya dinilai memenuhi empat unsur pembunuhan berencana, yakni barang siapa dengan sengaja merencanakan dan menghilangkan nyawa orang lain. Ryan secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Heri di tempat tinggalnya di apartemen Margonda Residence, Depok.
Kasman Sangaji, ketika membacakan pledoi setebal 94 halaman, mengatakan, berdasarkan fakta-fakta persidangan, Ryan menderita sakit jiwa karena telah melakukan pembunuhan secara keji tanpa merasa bersalah. Dengan demikian, unsur "barang siapa" tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
"Dengan demikian, terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana," ujar Kasman. Unsur lainnya yang krusial adalah "merencanakan".
Menurut G Nyoman Rae, kuasa hukum Ryan lainnya, Ryan melakukan pembunuhan karena dipicu oleh ucapan korban mengenai Novel Andreas, kekasih Ryan waktu itu, yang tidak mengenakkan sehingga pemuda Jombang tersebut naik pitam.
Ditambahkan, jika Ryan merencanakan pembunuhan, dia mungkin akan menggunakan golok atau senjata tajam lainnya, bukan dengan pisau dapur. Nyoman mengatakan, melihat fakta-fakta persidangan yang ada, beserta pledoi, pihaknya optimistis bahwa Ryan tidak akan dijatuhi vonis hukuman mati oleh majelis hakim yang diketuai oleh Suwidya.
Tim kuasa hukum tersebut juga meminta majelis hakim membebaskan Ryan dari segala tuntutan, mengembalikan hak-hak Ryan, dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Sementara itu, Ismed, salah satu jaksa penuntut umum, meminta majelis hakim untuk menolak nota pembelaan tim kuasa hukum Ryan. "Tindak pidana yang dilakukan terdakwa telah meresahkan orang lain," ujarnya.
C.    Identifikasi Masalah
Tindak Pidana Pembunuhan memang sudah lama di kenal oleh Hukum Nasional kita melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bab XIX Buku II KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap Nyawa.
Keadaan ini tentu saja dapat menimbulkan masalah hukum tentang kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu dapatlah diambil beberapa isu hukum yaitu:
  1. Apakah tindakan pemotongan tubuh korban (mutilasi) dapat disebut sebagai kejahatan?
  2. ketentuan hukum pidana apakah yang dapat dikenakan pada tindak mutilasi?

D.    Analisis dan Pembahasan
Analisa Yuridis
Setelah kita ketahui beberapa analisa terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh Ryan yaitu pembunuhan terhadap beberapa korban yang salah satunya di mutilasi oleh Ryan, perlu juga kita analisa tindakan hukum yang pantas diberikan terhadap pelaku kejahatan tersebut yaitu Very Idham Heryansyah alias Ryan.
Seperti yang telah kita ketahui dari kronologis pembunuhan yang telah dilakukan oleh Ryan terhadap korbannya yaitu Heri Santoso, maka dapat kita tarik unsur-unsur dari tindakan yang telah dilakukan Ryan yaitu :
  1. pembunuhan dilakukan dengan sengaja dengan cara mengambil pisau diatas meja dan menusuk korban berkali-kali.
  2. korban di potong-potong (mutilasi) menjadi 7 bagian untuk menghilangkan jejak dan alat vital Heri dirusak Ryan
  3. harta korban dikuasai untuk digunakan bersama Noval pasangan gay Ryan
dari ketiga unsur tersebut Ryan dapat didakwa dengan pasal 339 KUHP dengan ancaman hukuman seumur hidup yaitu ; “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dan pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara malawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”, hal ini karena setelah Ryan melakukan pembunuhan dia juga melakukan mutilasi atau memotong-motong tubuh korban agar tidak ketahuan oleh orang lain akan tindakannya terhadap korban (Heri Santoso) yang telah dibunuh Ryan selain itu juga Ryan menguasai harta yang dimiliki korban untuk digunakan bersama dengan Noval.
Selain pasal 339 KUHP, Ryan didakwa lebih subsider pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara yaitu ; “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun penjara”, ini karena Ryan dengan sengaja melakukan pembunuhan terhadap korban (Heri Santoso) yang pada saat itu berselisih dengan pelaku, hal ini terbukti dengan tindakan yang Ryan lakukan dengan mengambil pisau diatas meja untuk ditusukkan terhadap korban yang bukan hanya sekali tetapi berkali-kali yang berarti pembunuhan yang Ryan lakukan merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang dan bukan suatu tindakan untuk melindungi diri, karena apabila tindakan melindungi diri tidak akan mengulangi tindakan menikam secara berkali-kali kecuali ada dendam sebelumnya.
Selain itu juga Ryan dapat didakwa pasal 365 ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara yaitu ; “Jika perbuatan (pencurian) mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, ini karena Ryan telah melakukan pencurian yang sebelumnya didahului dengan pembunuhan terhadap korban.
Akan tetapi Ryan sebagai pelaku pembunuhan tidak hanya didakwa dengan dakwan seperti yang telah disebutkan diatas, tetapi juga didakwa dengan pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati yaitu ; “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”, hal ini karena Ryan sebagai pelaku pembunuhan tidak hanya melakukan pembunuhan pada Heri Santoso saja tetapi pada korban-korban lain sebelum Heri yang dilakukan dengan sengaja dan berencana untuk menguasai harta yang dimiliki korban kecuali korban ke 4 yang dibunuh karena menjadi saksi atas tindakan yang telah Ryan lakukan terhadap korban sebelumnya.
Selain Ryan, Noval juga dapat didakwa dengan pasal 480 ayat 2 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama empat tahun penjara yaitu ; “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah :
  1. barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
  2. barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan”,
ini karena Noval ikut serta menggunakan hasil secara bersama-sama dengan Ryan dari barang yang dirampas dari korban oleh Ryan.
Namun dari pembahasan sebelumnya kita ketahui bahwa Ryan diduga sebagai seorang Psikopat yang berarti mempunyai kelainan jiwa pada dirinya. Hal ini dilihat dari tingkah laku Ryan yang lebih cenderung mendekati ciri-ciri dari seorang psikopat yaitu tidak adanya penyesalan dari dirinya atas apa yang telah dia lakukan kepada para korbannya selama ini.
Apabila dugaan terhadap Ryan terbukti yaitu mempunyai kelainan jiwa, maka secara hukum Ryan dapat dibebaskan dari ancaman pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 KUHP yaitu ;
  1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya katrena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
  2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimaasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
  3. Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dari kalimat “jiwanya cacat dalam tumbuhnya” diatas sebenarnya tidak jelas, sebab ini memang dapat diasumsikan juga sebagai “kelainan jiwa”, dan ini pun memungkinkan seorang psikopat lolos dari jeratan hukum. Yang berarti Ryan sebagai seorang pelaku pembunuhan dapat lolos dari jeratan hukum apabila dinyatakan sebagai seorang Psikopat yang notabene merupakan orang yang memiliki “Kelainan Jiwa”.
Maka dalam hal ini Penyidik dari kepolisian, Jaksa ataupun Hakim dapat menelaah dengan benar akan kasus yang dilakukan oleh Ryan karena jika sampai Ryan dinyatakan “Sakit jiwa” maka Ryan tidak dapat di pidana dan hanya dapat dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa paling lama satu tahun sebagai suatu percobaan dan setelahnya dapat bebas berkeliaran dalam masyarakat yang dapat membuat masyarakat resah dengan adanya Ryan yang notabene seorang Psikopat dan membahayakan terhadap orang sekitarnya.
Pembahasan
Mutilasi adalah pemotongan atau perusakan mayat, tidak jarang mempunyai motof kejahatan seksual, dimana tidak jarang tubuh korban dirusak, dipotong-potong menjadi beberapa bagian.[2] Menurut beberapa ahli kejahatan pidana, kejahatan mutilasi terjadi tergantung pada keadaan psikis sipelaku, dimana sipelaku cenderung mengalami gangguan jiwa, pada pendapat lain ahli berpendapat bahwa kejahatan ini untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik dalam mengungkap identitasnya.[3]
1.      Tindak Mutilasi sebagai kejahatan
Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana sebuah tindakan haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang baik secara formiil atau materiil. pembagian tindakan yang terlarang secara formiil atau materiil ini sebenarnya mengikuti KUHP sebagai buku Induk dari semua ketentuan hukum pidana Nasional yang belaku. KUHP membedakan tindak pidana dalam dua bentuk, kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). sebuah tindakan dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela seperti yang di tentukan dalam undang-undang. sedangkan tindakan dapat dikatakan sebagai pelanggaran karena pada sifat perbuatan itu yang menciderai ketentuan hukum yang berguna untuk menjamin ketertiban umum (biasanya aturan dari Penguasa). Black’s Law Dictionary (Bryan Garner:1999) memberikan definisi mutilasi (mutilation) sebagai “the act of cutting off maliciously a person’s body, esp. to impair or destroy the vistim’s capacity for self-defense.”Apabila di kaji secara mendalam, tindak mutilasi ini terbatas pada korban yang berwujud manusia alamiah baik perseorangan maupun kelompok dan bukanlah binatang. tindakan ini bisa dilakukan oleh pelaku pada korban pada waktu masih bernyawa atau pun pada mayat korban. tindakan pemotongan manusia secara hidup-hidup (sadis) ataupun mayat jelas merupakan tindakan yang sangat di cela oleh masyarakat dan dianggap sebagai tindakan yang sangat jahat. oleh karena itu, menurut penulis tindak mutilasi sangatlah tepat jika di golongkan ke dalam Kejahatan dan bukan pelanggaran. hal ini juga di dasarkan atas fungsi hukum pidana sebagai hukum public yang melindungi dan menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum masyarakat luas.
2.      Ketentuan Hukum Pidana untuk Mutilasi
setelah melakukan studi literatur dan produk hukum pidana sampai saat ini penulis belum mendapatkan satu ketentuan hukum pidana yang mengatur secara tegas dan jelas mengenai tindakan mutilasi. KUHP sebagai buku induk dari semua ketentuan hukum pidana di luar KUHP selama undang-undang tersebut tidak menentukan lain ( Moeljatno) ternyata juga tidak mengatur tindakan ini. Lalu apakah pelaku akan bebas jika ternyata tidak terdapat ketenuan hukum yang mengaturnya. jelas tidak. berikut ini beberapa ketentuan hukum pidana yang mungkin diterapkan pada tindak mutilasi dan kelemahannya.
a.      Mutilasi pada korban yang masih hidup
o    Mutilasi sebagai bentuk kejahatan penganiayaan
§  penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
mutilasi berarti pemotongan anggota tubuh korban, ini berarti termasuk dalam penganiyaan berat. Pasal 90 KUHP menjelaskan ‘luka berat’ sebagai luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali/bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca indera; cacat berat (verminking); sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama min. 4 minggu;gugurnya kandungan seorang perempuan
·         Pasal 351 ayat (2) KUHP à tindakan mutilasi pada ketentuan ini jelas mengacu pada tindakan untuk membuat orang lain merasakan atau menderita sakit secara fisik. hanya saja tindakan penganiayaan ini dilakukan oleh pelaku secara langsung tanpa ada rencana yang berakibat ‘luka berat’.
sanksi pidana : penjara max 5 tahun
·         pasal 353 ayat (1) KUHP à tindakan mutilasi ini dapat dikatakan sebagai rangkaian atau salah satu dari beberapa tindakan penganiayaan pada korban yang masih hidup. Berbeda dengan Pasal 351 KUHP, Pasal ini lebih menitik beratkan pada perencanaan pelaku untuk melakukan tindakan tersebut sehingga berakibat akhir luka berat pada korban.
sanksi pidana: penjara max. 7 tahun
·         Pasal 354 (1) KUHP à secara khusus sebenarnya KUHP sudah memberikan ketentuan yang melarang tindakan yang mengakibatkan luka berat. kekhususan pasal ini tampak pada kesengajaan pelaku dalam melakukan mutilasi yang timbul dari niat agar korban menderita luka berat.
sanksi: pidana penjara max. 8 tahun
·         pasal 355 ayat (1) KUHP à dari sejak awal pelaku telah melakukan mutilasi sebagai tindakan penganiayaan dia dan sudah direncanakan terlebih dahulu.
sanksi: pidana penjara max. 12 tahun
·         pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi pidana karena pelaku adalah keluarga korban, pejabat, memberikan bahan berbahaya.
sanksi: pidana penjara +1/3 dari sanksi pidana yang di ancamkan.
§  penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban
·         pasal 351 ayat (3) KUHP àsanksi pidana penjara: max 7 tahun
·         pasal 353 ayat (3) KUHP à sanksi: pidana penjara: max 9 tahun
·         pasal 354 ayat (2) KUHPà penganiayaan berat, sanksi: pidana penjara max. 10 tahun
·         pasal 355 ayat (2) KUHP à penganiayaan berat dengan rencana, sanksi: pidana penjara max. 15 tahun
·         pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi +1/3
    • Mutilasi sebagai bentuk kejahatan terhadap nyawa
tindakan mutilasi di sini dapat dipahami sebagai tindakan pelaku melakukan pemotongan tubuh korban untuk mengakibatkan si korban mati. sangat berbeda dengan penganiayaan, dimana matinya korban tidak di rencanakan atau di harapkan sebelumnya. pada golongan ini, tindakan mutilasi ini jelas-jelas ditujukan untuk matinya korban. misalnya, dengan menebas kepala korban dengan celurit, memotong tubuh korban secara langsung dengan gergaji mesin, dll.
§  pasal 338 KUHP à perbuatan mutilasi yang dilakukan serta merta dan berakibat matinya korban
sanksi: pidana penjara max. 15 tahun
§  pasal 340 KUHP à perbuatan mutilasi sebelumnya telah direncanakan terlebih dahulu dan setelah dijalankan berakibat matinya korban
sanksi: pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
b.      Mutilasi pada mayat korban
perlu diketahui KUHP memandang mayat bukan sebagai manusia alamiah yang hidup namun hanya sebagai benda yang sudah tidak bernyawa lagi. mengenai hal ini dapat kita kaji pasal 180 KUHP tentang perbuatan melawan hukum menggali dan mengambil jenazah, pelaku di ancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal 300 rupiah. hal ini sangat berbeda jauh jika di bandingkan dengan pasal penculikan orang (pasal 328 misalnya) memberikan sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun. Jika di bandingkan terhadap pasal pencurian barang pun sebenarnya juga sangat jauh berbeda, pasal 362 KUHP sangat memandang serius tindakan pencurian barang dan mengancam pelaku dengan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun penjara. oleh karena itu dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa pengaturan tentang mayat atau jenazah di dalam KUHP masih sebatas pada benda yang sudah tidak bernyawa lagi.
·         pasal 406 KUHP à penghancuran atau perusakan barang yang menjadi kepunyaan orang lain. istilah ‘kepunyaan’ orang lain ini sangatlah berbeda dengan kepemilikan dari orang terhadap barang miliknya. pengertian ‘kepunyaan’ ini sangatlah luas tidak hanya semata-mata hak milik tetapi juga tanggung jawab yang telah diberikan dalam undang-undang. Jenazah tidak dapat dimiliki oleh jenazah itu sendiri, karena hak milik mensyaratkan subyeknya orang yang bernyawa. si ahli warislah yang menjadi penanggung jawab atas jenazah tersebut seperti tanggung jawab yang telah diberikan Undang-undang tentang hukum keluarga.
sanksi: penjara 2 tahun 8 bulan

·         pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP à penghancuran benda-benda yang dapat dijadikan barang bukti tindak pidana
sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah
·         pasal 222 KUHP à pencegahan atau menghalang-halangi pemeriksaan mayat
sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah

E.     Penutup
-          Kesimpulan
Sampai saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas. namun tidak berarti pelaku dapat dengan bebas melakukan perbuatannnya tanpa ada hukuman. tindak mutilasi pada hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk meniadakan identitas korban atau penyiksaan terhadapnya. oleh karena itu sangatlah jelas dan benar jika tindak mutilasi ini dikelompokan sebagai tindak pidana bentuk kejahatan. Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pembunuhan. Hanya saja memang sangat diakui dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang pelaku melakukan mutilasi bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi seringkali terjadi sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti (mayat) tidak diketahui identitasnya. Pada titik ini seringkali aparat kepolisian hanya menganggap tindakan mutilasi sebagai tindakan menghilangkan barang bukti dengan demikian rasa keadilan masyarakat tidak terfasilitasi. Adalah tugas hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam rangka membuat Yurisprudensi yang menetapkan tindakan mutilasi sebagai bentuk Kejahatan.


















Daftar Pustaka
1.      Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
2.      Koesparmono Irsan, Kedokteran Porensik, Jakarta:2008
4.      Topo Santoso, Eva Achjhani Zulfa, Kriminologi,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003


[1] Topo Santoso, Eva Achjhani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)hal1
[2] Koesparmono Irsan, Kedokteran Porensik, (Jakarta:2008)hal 123
[3] http://www.gagasanhukumwordpress.com/kejahatan-mutilasi

No comments:

Post a Comment