BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah
faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana dengan keadaan yang
sehat manusia bisa hidup dengan produktif untuk menghasilkan sesuatu hal yang
bermanfaat bagi hidupnya oleh karena itu kesehatan merupakan suatu kebutuhan
yang tidak bisa diganggu gugat.
Pelayanan kesehatan secara umum diketahui
adanya pemberi pelayanan dalam hal ini dokter dan yang menerima pelayanan atau
melakukan upaya kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Sudah sejak dahulu
dikenal dengan adanya hubungan kepercayaan yang disebut dengan transaksi terapeutik. Transaksi merupakan hubungan timbal balik yang
dihasilkan melalui komunikasi, sedangkan terapeutik
diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsur atau pengobatan, secara
yuridis transaksi terapeutik diartikan
sebagai hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medic secara professional didasarkan
kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang
kedokteran, pelayanan yang diberikan bersifat pemberian pertolongan atau
bantuan yang di dasarkan kepercayaan pasien terhadap dokter[1].
Transaksi terapeutik ini berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan oleh
masyarakat, transaksi terapeutik memiliki
sifat atau ciri yang khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya,
kekhususannya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan, objek dari
perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien, jadi
menurut hukum objek perjanjian dalam transaksi
terapeutik bukan kesembuhan pasien melainkan mencari upaya yang tepat untuk
kesembuhan pasien[2]
Pada
awalnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini adalah hubungan vertikal
atau hubungan kepercayaan yang bersifat paternalistik,
dimana tenaga kesehatan di anggap paling superior (father know best),
kedudukan atau posisi dokter dan pasien
tidak sederajat, karena dokter dokter di anggap paling tahu tentang segala
seluk beluk penyakit, sedangkan pasien dianggap tidak tahu apa-apa tentang
penyakit tersebut dan ia menyerahkan sepenuhnya pada dokter, dokter ditempatkan
sebagai patron (pelindung) dan pasien
ditempatkan sebagai klien (orang yang
dilindungi)[3].
Pola hubungan vertical paternalistik antara dokter dan pasien mengandung dampak
positif dan dampak negatif, dampak positif karena pola paternalistik ini sangat membantu pasien dalam hal pasien awam terhadap
penyakit, sebaliknya dampak negatif, karena tindakan dokter yang berupa
langkah-langkah upaya penyembuhan penyakit pasien itu merupakan
tindakan-tindakan yang tidak menghiraukan otonomi pasien, yang justru menurut
sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia sudah ada sejak lahir[4].
Saat ini bentuk hubungan hukum tersebut
bergeser ke bentuk yang lebih demokratis, yaitu hubungan horizontal kontraktual
atau partisipasi bersama, hubungan hukum kesederajatan antara pasien dan
dokternya, segala sesuatu dikomunikasikan antara kedua belah pihak, kesepakatan
ini lazim disebut dengan Informed Consent
atau persetujuan tindakan medik, sehingga tuntutan kehati-hatian dan
profesionalitas dari kalangan dokter akan semakin mengemuka[5].
Pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien haruslah didukung dengan
sarana prasarana yang memadai atau dengan kata lain fasilitas yang menunjang
dimana fasilitas itu lah yang dapat membantu dokter dalam melakukan pelayanan
kesehatan terhadap pasien.
Salah satu fasilitas
kesehatan yaitu klinik, dimana Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Selanjutnya disebut UU Kesehatan) tidak mengatur dan mendefinisikan
tentang klinik dengan begitu UU Kesehatan ini merujuk dan mengatur masalah
klinik dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 028 Tahun 2011 Tentang
Klinik (Selanjutnya disebut PERMENKES No.028 Tahun 2011) yang dimana
menyebutkan bahwa klinik adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis.
Dalam hal pelayanan kesehatan didalam klinik pada
dasarnya sama seperti rumah sakit dimana dokter sebagai pelayan kesehatan
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sebagai penerima pelayanan
kesehatan, hal tersebut dilakukan oleh pasien dengan cara mendatangi klinik
untuk melakukan upaya kesehatan, selanjutnya pasien bertemu dengan dokter untuk
membicarakan keluhan atau sakit yang di derita kemudian setelah mendengar
keluhan pasien, dokter meminta izin untuk memeriksa keluhan pasien, setelah
memeriksa keluhan atau sakit yang di derita pasien barulah dokter menyimpulkan
atau mendiagnosa sakit pasien dengan keilmuan kedokteran yang dimilikinya dan
yang terakhir memberikan resep obat untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhan penyakit.
Akan tetapi dalam melakukan upaya kesehatan pasien
harus mengerti tentang jenis pelayanan klinik dimana klinik dibagi menjadi dua
yaitu klinik pratama dan klinik utama. Yang membedakan jenis pelayanannya yaitu
jika klinik pratama hanya untuk menyediakan pelayanan medic dasar sedangkan
klinik utama untuk pelayanan medic dasar dan spesialis. Dengan begitu setiap
klinik terdapat batasan atau terdapat kewenangan untuk memeriksa tidak setiap
klinik berwenang untuk memeriksa penyakit tertentu.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan kemajuan diberbagai
bidang termasuk di bidang teknologi hal tersebut tidak bisa dielakan atau
dihindari. Munculnya berbagai
fenomena baru yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi.
Perkembangan yang saat ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat global
adalah perkembangan teknologi dan informatika yang ditandai dengan yang
memperkenalkan dunia maya (cyberspace)
dengan hadirnya interconnected network (internet)
yang mempengaruhi komunikasi tanpa kertas (paperless
document)[6]. Adanya
kemajuan di bidang teknologi terdapat dampak negative dan positif bagi manusia,
ada yang bersifat membantu dan ada juga yang bersifat merugikan jika manusianya
tidak berhati-hati mengelola teknologi tersebut. Kebutuhan manusia akan
teknologi salah satunya juga berdampak pada bidang kesehatan karena teknologi
bisa membantu manusia dalam bidang kesehatan dengan kemajuan di dalam segala
aspek dalam bidang kesehatan.
Perkembangan saat ini muncul suatu rezim
hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber
atau cyber law, secara internasional
digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi dan
komunikasi[7]. Dengan adanya cyber
law tersebut sebagai payung hukum bagi segala pengaturan tentang
hubungannya dengan dunia maya maka dibentuklah Undang-Undang No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya disebut UU ITE).
Dampak kemajuan
di bidang teknologi mengakibatkan adanya suatu jenis pelayanan baru pada
bidang kesehatan salah
satunya dengan adanya Telemedicine.
Telemedicine merupakan suatu layanan
kesehatan antara dokter atau praktisi kesehatan dengan pasien jarak jauh guna
mengirimkan data medik pasien menggunakan komunikasi audio visual mengunakan
infrastruktur telekomunikasi yang sudah ada misalnya menggunakan internet,
satelit dan lain sebagainya[8].
Salah satu bagian dari Telemedicine adalah dengan adanya klinik online, dimana pasien dan
dokter dapat berkonsultasi melalui internet
mengenai masalah penyakit yang di derita oleh pasien dan bahkan dokter bisa
mendiagnosa keadaan pasien tanpa harus bertemu secara langsung dan tanpa
memeriksa atau merabanya, selain itu pasien juga bisa membeli obat langsung
dari klinik online tersebut dengan anjuran dari dokter yang mendiagnosa pasien
yang bersangkutan, dan pengiriman obatnya pun dilakukan melalui jasa titipan
kilat.
Salah satu contoh mengenai klinik online ini
yaitu klinik dokter online, yang memberikan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan
teknologi dan informasi
atau dengan kata lain klinik dokter ini melakukan transaksi secara elektronik
karena melakukan perbuatan hukum dalam hal ini memberikan pelayanan kesehatan
dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan media elektronik lainnya,
proses pembayaran serta pembelian obatnya pun dilakukan lewat transfer tanpa
harus bertatap muka antara dokter dan pasien. Adapun tahapan-tahapan pemberian
pelayanan kesehatan klinik dokter online ini yaitu[9] :
1. Pasien
berkonsultasi kepada staf dokter jaga melalui email, YM,SMS,BBM,Tlp berbayar (member) baik non member (gratis);
2. Dari
hasil konsultasi, dokter akan mendiagnosa sakitnya pasien, misalkan jika pasien
sakit kulit bisa memfotokan dan mengirimkan secara online;
3. Jika
pasien menghendaki obat dan dikirimkan obatnya bisa melakukan pembayaran;
4. Obat
akan dikirimkan lewat pos (DFA), atau jika pasien menghendaki pembelian obat di apotik terdekat dengan pasien, pasien
harus menjadi member, pastikan apotik terdekat anda bisa menerima resep
tersebut;
5. Klinik
online akan mengirimkan no resi ke pada pasien jika sudah dilakukan pembayaran;
6. Jika
belum ada perbaikan anda bisa berkonsultasi langsung dengan kami di alamat
klinik online gratis.
Adanya
klinik online ini berdampak positif dan negatif bagi dunia kesehatan di satu
sisi memudahkan proses pemberian pelayanan dan upaya kesehatan yang dilakukan
oleh dokter maupun pasien dengan tidak adanya batasan jarak, tetapi di sisi
lain dengan adanya klinik online tersebut yang menggunakan perangkat internet
sebagai media penghubung, sehingga kerahasiaan pasien dalam hal ini tidak terlindungi. Selain itu
pelayanan klinik online termasuk di dalam nya terdapat praktek kedokteran, jika
melihat praktek kedokteran standart yang dilakukan oleh klinik biasa tentu hal
ini menimbulkan suatu permasalahan tersendiri, karena proses pendiagnosaan
secara online oleh dokter dilakukan dengan tidak bertatap muka dengan pasien,
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan pendiagnosaan terhadap
pasien.
Besarnya persentasi kesalahan pendiagnosaan oleh
dokter kepada pasien di dalam klinik online, hal tersebut merupakan salah satu
tantangan yang harus dihadapi untuk kemajuan di bidang kesehatan. Jika
kesalahan pendiagnosaan oleh dokter terjadi maka sudah seharusnya dokter bisa
atau dapat dimintai pertanggung jawabannya, karena pada umumnya setiap orang
harus bertanggung jawab terhadap setiap tindakan atau perbuatan yang mereka
lakukan[10].
Berdasarkan contoh kasus di atas tentang
klinik online, dapat terlihat dinamika hukum kesehatan di Indonesia masih
kurang mencukupi untuk mengantisipasi perkembangan di dalam dunia kesehatan
ini, dimana teknologi yang berkembang cepat tidak dapat di ikuti dengan
perkembangan hukum di bidang kesehatan. Oleh karena itu seharusnya UU Kesehatan sudah
mengakomodir UU ITE tentang perkembangan pelayanan kesehatan dengan
memanfaatkan internet khususnya dengan adanya klinik online ini, tetapi pada
nyatanya hal tersebut tidak diatur di dalam UU Kesehatan.
Secara filosofis, hukum bertujuan untuk melindungi
menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hukum dalam hubungannya dalam
massalah-masalah kesehatan kesehatan dan dalam fungsinya sebagai alat untuk “social engineering” sangat terkait erat
dengan diadakannya hukum tersebut untuk
mengubah masyarakat sesuai dengan tujuannya[11].
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, terdapat judul skripsi yang
memiliki persamaan dengan yang dilakukan oleh peneliti, yaitu :
1. Skripsi
karya Febby Richard Immanuel L. Tobing tahun 2009 yang berjudul : Tinjauan
Yuridis Atas Praktek Layanan Kesehatan Melalui Internet (Telemedicine Internet) Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan Dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktek Kedokteran.
2. Skripsi
karya Nindya Melyani tahun 2009 yang berjudul : Layanan Apotek Online Dikaitkan
Dengan Tanggung Jawab Apoteker Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun persamaan dengan peneliti sebelumnya
yaitu meneliti layanan kesehatan di internet, namun perbedaan penelitian yang
dilakukan peneliti dengan peneliti yang sebelumnya terletak pada obyek
penelitian yang diteliti yaitu mengenai klinik online, yang lebih
mengkualifikasikan dan menspesifikasikan bagian layanan kesehatan di internet.
Dengan demikian penulisan tugas akhir ini dapat terlihat keasliannya.
Mengenai dipilihnya penulisan klinik online
ini sebab menurut pengamatan, walaupun konsep pelayanan kesehatan melalui
internet sudah lama dikenal di Indonesia, tetapi klinik online ini adalah suatu
hal yang baru dan belum cukup mendapat perhatian di Indonesia. Oleh sebab itu
peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai klinik online tersebut
dengan berdasarkan kepada permasalahan perbuatan yang dilakukan klinik online
yang melakukan pelayanan kesehatan melalui dunia maya atau cyberspace yang memanfaatkan jaringan internet, yang memudahkan masyarakat luas untuk bisa dengan mudah melakukan
upaya kesehatan tanpa harus secara langsung bertatap muka dengan dokter,
sedangkan di satu sisi lain inovasi dan perkembangan kemajuan di bidang
kesehatan tersebut tidak diikuti dengan perkembangan hukum untuk mengatur
kemajuan tersebut. Sehingga menarik untuk diteliti lebih mendalam mengenai hal
tersebut, Berdasarkan keadaan-keadaan serta masalah-masalah yang telah
dijelaskan di atas, maka Peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian hukum
berupa skripsi yang dituangkan dalam judul:
“LAYANAN KLINIK ONLINE DIHUBUNGKAN DENGAN TANGGUNG JAWAB DOKTER
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian
ini bertujuan untuk memfokuskan dan membatasi uraian penelitian pada hal-hal
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Untuk menganalisis permasalahan
di atas, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana
kedudukan hukum klinik
online dalam pemberian pelayanan kesehatan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
2. Bagaimana
pertanggung jawaban hukum dokter
yang melakukan pelayanan kesehatan pada klinik online apabila terjadi kerugian terhadap pasien berdasarkan
Undang-Undang Kesehatan
dan Undang-Undang Informasi
dan Trasnsaksi Elektronik ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui kedudukan hukum
klinik online dalam pemberian
pelayanan kesehatan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Untuk
mengetahui pertanggung jawaban hukum dokter yang melakukan pelayanan kesehatan pada klinik online apabila terjadi kerugian terhadap pasien berdasarkan
Undang-Undang Kesehatan
dan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini
diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan
Teoretis
a. Diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum, khususnya dalam bidang
hukum kesehatan terkait sarana kesehatan.
b. Diharapkan
dapat memberikan bahan bacaan dan referensi bagi kepentingan akademis, dan juga
sebagai tambahan bagi kepustakaan.
2. Kegunaan
Praktis
a. Diharapkan
dapat memberikan informasi kepada para penyelenggara sarana kesehatan klinik
online untuk menjalankan profesinya sesuai dengan standart profesi dan sesuai
dengan perizinan klinik.
b. Diharapkan
dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sisi positif dan sisi
negatif dari klinik online, dan juga memberikan informasi mengenai pertanggung
jawaban dokter sebagai pelayan kesehatan pada klinik online sebagai sarana
kesehatan.
E. Kerangka Pemikiran
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan
pokok manusia selain sandang, pangan, papan. Untuk memenuhi kebutuhan pokok
kesehatan, manusia dalam hidupnya dengan manusia lainnya, agar tidak terjadi
konflik membutuhkan apa yang dikenal sebagai nilai (value) kesehatan. Nilai ini dalam pelaksanaannya untuk dapat
diwujudkan memerlukan pedoman, pedoman ini lah yang dikenal sebagai kaidah atau
norma[12].
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan
hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan
dan penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis
mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat
atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan ini mengatur hak dan
kewajiban masing-masing
penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan atau masyarakat, baik sebagai
perorangan (pasien), atau kelompok masyarakat[13].
Sebagai landasan konstiitusional bangsa
Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan bagi setiap peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat atau diberlakukan, dimana setiap peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia harus selalu mengacu dan sejalan
dengan Undang-undang Dasar 1945 karena di dalam Undang-Undang Dasar 1945 di
dalamnya terselip mengenai cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum di dalam
pembukaan yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia
tersebut dilaksanakan pembangunan nasional di semua bidang, salah satunya yang
tak luput dari pembangunan adalah di bidang kesehatan.
Di dalam Pasal 28H ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa : “setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat
lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal
tersebut merupakan hak yang paling mendasar karena di dalamnya terdapat
pengertian tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat mutlak, serta
pengaturan secara spesifik terkait kesehatan di dalam Undang-Undang Kesehatan dimana di dalamnya mengatur berbagai
aspek mengenai kesehatan.
Sebagai landasan
pembangunan kesehatan maka dibentuklah suatu acuan hukum di dalam pembangunan
kesehatan yang dinamakan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang menyebutkan bahwa
kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya
sangat luas dan kompleks. Hal ini sejalan dengan pengertian kesehatan yang
diberikan oleh dnia Internasional sebagai : “A
state of complete phsycal, mental, and social, well being and not merely the
absenceof desaese or infirmity”. Dari pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan
melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu,
kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang[14].
Pemerintah sebagai penanggung jawab
penyelenggaraan kesehatan wajib memberikan fasilitas dan layanan kesehatan
untuk masyarakat guna tercipta derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Upaya kesehatan yang dimaksud yaitu serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
Dalam hal pelayanan kesehatan di dalam UU
Kesehatan menyebutkan
beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh pemerintah secara langsung maupun
secara tidak langsung dalam upaya pelayanan kesehatan diantaranya :
1. Promotif
yaitu serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat promosi kesehatan;
2. Preventif
yaitu suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit;
3. Kuratif
yaitu serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, dan pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin;
4. Rehabilitatif
yaitu pemulihan atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita
ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat.
Dalam memberikan
pelayanan kesehatan terdapat hubungan antara pelayan kesehatan dan yang
menerima pelayanan kesehatan dimana hubungan dokter sebagai pelayan kesehatan dan pasien sebagai
penerima pelayanan kesehatan telah berubah sesuai dengan pemahaman
mengenai kesehatan dimana yang semula hubungan dokter dan pasien adalah
hubungan vertikal yang berlandaskan kepercayaan yang bersifat paternalistik, sedangkan dengan semakin
meningkatnya pemahaman kesehatan masyarakat, pada saat ini hubungan dokter dan
pasien telah berubah
menjadi hubungan horizontal kontraktual yang berlandaskan kepada partisipasi
bersama dimana kedudukan dokter dan pasien kini di sejajarkan.
Aspek upaya kesehatan dan aspek sumber daya
kesehatan merupakan aspek terpenting dalam kesehatan. Aspek sumber daya
kesehatan terdiri dari sarana kesehatan dan tenaga kesehatan. Aspek upaya
kesehatan salah satunya adalah pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kesehatan
dibagi lagi menjadi pemeliharaan kesehatan masyarakat dan pemeliharaan
kesehatan individu[15].
Dokter
sebagai aspek sumber daya kesehatan, dalam pelaksanaannya profesi dokter
berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia,
namun profesi dokter bukan profesi bisnis tetapi merupakan suatu profesi yang
harus dijalankan dengan moralitas[16].
Oleh karena itu profesi dokter adalah profesi tenaga kesehatan profesional yang
di dalam menjalankan profesinya harus sesuai dengan keahlian, kewenangannya, serta harus memenuhi norma–norma yang berlaku dalam profesinya.
Di dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang Kesehatan dijelaskan bahwa tenaga kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan di dalam ayat (2) kewenangan untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan harus sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Hal tersebut
sudah menjelaskan bahwa dokter adalah tenaga kesehatan yang berwenang untuk
memberikan pelayanan kesehatan tetapi harus sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya, jangan sampai dokter spesialis jantung membuka praktek tidak
sesuai dengan keahliannya atau kemampuannya. Dan selanjutnya di Pasal 24 ayat (1)
UU Kesehatan menyebutkan bahwa :
“Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional”.
Terdapat
batasan-batasan untuk tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan,
dimana terdapat standar yang harus ditempuh bagi seorang tenaga kesehatan dalam
melakukan pelayanan kesehatan.Untuk itu UU Kesehatan menganjurkan untuk melihat
lebih lanjut atau spesifik mengenai tanggung jawab dokter sebagai tenaga kesehatan dengan Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Selanjutnya disebut dengan UU
Pradok). Di
dalam UU Pradok yang disebut dengan Praktik Kedokteran yaitu rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan
upaya kesehatan.
Selanjutnya untuk bisa melakukan praktik kedokteran,
dokter harus memperoleh registrasi dokter dimana hal tersebut dijelaskan
didalam Pasal 29 ayat (1), (2) dan ayat (3) UU Pradok yang menyebutkan
bahwa :
(1)
Setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
(2)
Surat
tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(3)
Untuk
memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
harus memenuhi persyaratan :
a.
Memiliki
ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis.
b.
Mempunyai
surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi.
c.
Mempunyai
surat keterangan sehat fisik dan mental.
d.
Memiliki
sertifikat kompetensi.
e.
Membuat
pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Selanjutnya kewenangan dokter jika sudah
memperoleh surat tanda registrasi dengan melihat Pasal 35 ayat (1) UU Pradok
yaitu :
(1)
Dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang
dimiliki, yang terdiri atas :
a.
Mewawancarai
pasien.
b.
Memeriksa
fisik dan mental pasien.
c.
Menentukan
pemeriksaan penunjang.
d.
Menegakan
diagnosis.
e.
Menentukan
penatalaksanaan dan pengobatan pasien.
f.
Melakukan
tindakan kedokteran dan atau kedokteran gigi
g.
Menulis
resep obat dan alat kesehatan.
h.
Menerbitkan
surat keterangan dokter dan atau dokter gigi.
i.
Menyimpan
obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan.
j.
Meracik
dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang
tidak ada apotek.
Setelah memperoleh registrasi dokter dan timbulnya
kewenangan kepada dokter, untuk bisa membuka praktik kedokteran ini dokter
harus mengurus izin praktik terlebih dahulu hal tersebut diatur didalam
pasal 36 sampai 38 UU Pradok yaitu
Setiap
dokter yang menyelenggarakan praktik kedokteran di Indonesia harus memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan didalam Pasal 41 dokter wajib
memasang papan nama jika menyelenggarakan praktik kedokteran.
Selanjutnya, jika
di dalam melakukan praktik,
dokter melakukan hal yang merugikan terhadap pasien, maka pasien berhak
mengadukan dokter tersebut sebagaimana di atur di dalam Pasal 66 UU Pradok
yaitu :
(1)
Setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2)
Pengaduan
sekurang-kurangnya harus memuat :
a.
Identitas
pengadu.
b.
Nama
dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan.
c.
Alasan
pengaduan.
(3)
Pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap
orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang
dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Adanya tenaga
kesehatan dalam hal ini yaitu dokter sudah tentu ada
proses pelayanan, dimana ada
yang memberi pelayanan dan menerima pelayanan dan untuk melakukan proses
tersebut harus ada fasilitas kesehatan atau sarana kesehatan untuk menunjang
proses pelayanan kesehatan, menurut Pasal
1 angka 7 Undang-Undang Kesehatan disebutkan bahwa :
“Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu
alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat”.
Di dalam Undang-Undang Kesehatan tidak ada
definisi secara khusus mengenai klinik tetapi menganjurkan dan mengaturnya
dengan Peraturan Menteri Kesehatan, dan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No. 028 tahun 2011 (selanjutnya disebut dengan Permenkes No. 28 tahun 2011),
mendefinisikan klinik di dalam Pasal 1 angka (1) yaitu :
“Klinik
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik,
diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh
seorang tenaga medis”.
Dari
pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa klinik adalah salah satu sarana
untuk melakukan pelayanan kesehatan oleh dokter terhadap pasien, yang dimana
klinik tersebut harus diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga
kesehatan dan diadakan atau didirikan
oleh seorang tenaga medis.
Klinik secara spesifik dijelaskan di dalam PERMENKES No. 028 Tahun 2011
berdasarkan jenis pelayanannya dibagi kedalam dua kelompok yaitu klinik pratama
dan klinik utama, perbedaan keduanya
yaitu jika pada klinik pratama khusus untuk pelayanan medik dasar sedangkan
klinik utama untuk pelayanan medik dasar dan spesialistik.
Adapun perbedaan antara klinik pratama dan
klinik utama adalah:
1. Pelayanan
medis pada klinik pratama hanya pelayanan medis dasar, sementara pada klinik
utama mencangkup pelayanan medis dasar dan spesialis;
2. Pimpinan
klinik pratama adalah dokter atau dokter gigi, sementara pada klinik utama
pimpinannya adalah dokter spesialis atau dokter gigi spesialis;
3. Layanan
di dalam klinik utama mencangkup layanan rawat inap, sementara pada klinik
pratama layanan rawat inap hanya boleh dalam hal klinik berbentuk badan usaha;
4. Tenaga
medis dalam klinik pratama adalah minimal dua orang dokter atau dokter gigi,
sementara dalam klinik utama diperlukan satu orang spesialis untuk
masing-masing jenis pelayanan.
Dalam mendirikan klinik haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan yang sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 6 Permenkes
No. 28 Tahun
2011 dijabarkan yaitu : “Klinik harus memenuhi persyaratan lokasi,
bangunan dan ruangan, prasarana, peralatan, dan ketenagaan”.
Persyaratan
yang dimaksud di dalam Pasal 6 PERMENKES
No.
28 Tahun 2011 tersebut
merupakan syarat mutlak untuk klinik standart, atau dengan kata lain
persyaratan tersebut tidak boleh dilanggar jika ingin mendirikan sebuah klinik.
Selanjutnya untuk
mendirikan sebuah klinik tentu harus ada izin dari pemerintah sebagai
penanggung jawab kesehatan agar klinik tersebut bisa melakukan upaya pelayanan
kesehatan, dimana perizinan tersebut di atur di dalam Pasal 21 PERMENKES No.
028 Tahun 2011 yaitu :
(1)
Untuk mendirikan dan menyelenggarakan
klinik harus mendapat izin dari pemerintah daerah kabupaten/kota setelah
mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
(2)
Dinas
kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan rekomendasi sebagaimana di atur di dalam
ayat (1) setelah klinik memenuhi ketentuan persyaratan klinik dalam peraturan
ini.
(3)
Permohonan
izin klinik di ajukan dengan melampirkan :
a.
Surat
rekomendasi dari dinas kesehatan setempat.
b.
Salinan/fotokopi pendirian badan usaha kecuali
untuk kepemilikan perorangan.
c.
Identitas
lengkap pemohon.
d.
Surat
keterangan persetujuan lokasi dari pemerintah daerah setempat.
e.
Bukti
hak kepemilikan atau penggunaan tanah atau izin penggunaan bangunan untuk
penyelenggaraan kegiatan bagi milik pribadi atau surat kontrak minimal 5 (lima)
tahun bagi yang menyewa bagunan untuk penyelenggaraan kegiatan.
f.
Dokumen
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
g.
Profil
klinik yang akan didirikan meliputi struktur organisasi kepengurusan, tenaga
kesehatan, sarana dan prasarana, dan peralatan, serta pelayanan yang diberikan.
h.
Persyaratan
administrasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Izin
klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan 6 (enam)
bulan sebelum habis masa berlaku izinnya.
(5)
Pemerintah
daerah kabupaten/kota dalam waktu (3) bulan sejak permohonan diterima harus
menetapkan menerima atau menolak permohonan izin atau permohonan perpanjangan
izin.
(6)
Permohonan
yang tidak memenuhi syarat ditolak oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
memberikan alasan penolakannya secara tertulis..
Adanya klinik online yang merupakan salah satu
inovasi di dalam bidang kesehatan. Layanan klinik online ini dilakukan oleh
seorang dokter atau lebih dengan membuat website
atau blog, dengan cara kerja biasanya menawarkan konsultasi, pemeriksaan,
pendiagnosaan dan pengobatan dengan cara yang mudah artinya pasien tidak perlu
repot-repot untuk datang menemui dokter. Tetapi dalam hal
memberikan pelayanan didalam klinik online ini tidak mencantumkan jenis
pelayanan yang sebagaimana dimaksudkan di dalam PERMENKES No. 028 Tahun 2009
artinya klinik online ini mengenyampingkan jenis pelayanan baik itu pelayanan
medic dasar maupun spesialistik, seharusnya hal tersebut di cantumkan dan
dibatasi hanya untuk penyakit-penyakit tertentu yang bisa dilakukan upaya
kesehatan melalui klinik online karena jika tidak ada pembatasan mengenai
penyakit, hal tersebut akan menimbulkan permasalahan lebih lanjut karena pada
dasarnya beberapa penyakit harus diperiksa secara langsung oleh dokter dengan
pasien dengan melakukan tatap muka.
Jika dikaitkan dengan UU
ITE, adanya klinik online yang didalam melakukan pelayanan kesehatan dilakukan
dengan cara membuat website atau blog
maka dapat disimpulkan bahwa dokter disebut sebagai penyelenggara sistem
elektronik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Pasal 1 angka 6 UU ITE yaitu
penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh
penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat.
Untuk menyelenggarakan
sistem elektronik , penyelenggara sistem elektronik pertama-tama harus memperhatikan
Pasal 17 UU ITE yaitu :
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat
dilakukan dalam lingkup publik atau privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikad baik dalam melakukan
interaksi dan/ atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
selama transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya didalam
melaksanakan sistem elektronik penyelenggara sistem elektronik juga harus
memahami Pasal 5 UU ITE mengenai kekuatan pembuktian informasi dan atau dokumen
elektronik, yaitu :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetak lainnya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk
:
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis
b. Surat beserta dokumennya yang menurut
Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh
pembuat akta.
Selain itu adapun
tentang penyelenggaraan sistem elektronik harus memperhatikan syarat-syarat
yang di dalam UU ITE di atur di dalam Pasal 15 UU ITE yaitu :
(1) Setiap penyelenggara sistem elektronik harus
menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung
jawab terhadap beroprasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara sistem elektronik bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud didalam ayat
(2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan,
dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.
Selain itu persyaratan
minimum tentang penyelenggaraan sistem elektronik terdapat di dalam Pasal 16 ayat
1 yaitu :
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh
undang-undang tersendiri setiap penyelenggara sistem elektronik wajib
mengoprasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai
berikut :
a. Dapat menampilkan kembali informasi
elektronik/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan,
keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
c. Dapat beroprasi sesuai dengan prosedur atau
petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak
yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk
menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggung jawaban prosedur atau petunjuk.
Hal ini sangat
terlihat jelas bahwa dokter di dalam klinik online sebagai penyelenggara sistem
elektronik dengan adanya nama domain yaitu klinik online Surabaya yang
berbentuk blog artinya secara tidak langsung klinik online tersebut mempunyai
alamat di dalam dunia maya, dan pengertian nama domain menurut UU ITE terdapat
di dalam Pasal 1 angka 20 yaitu :
“Nama Domain adalah alamat internet
penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat
digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan
karakter yang bersifat unik untuk menunjukan lokasi tertentu di dalam
internet”.
Dan selanjutnya dalam
hal dokter mengelola klinik online dengan nama domain tersebut, di dalam pasal
24 ayat 1 UU ITE dijelaskan bahwa pengelola nama domain adalah pemerintah
dan/atau masyarakat.
Di dalam menjalankan
pelayanan kesehatannya klinik online ini tentu saja tidak akan terlepas dari transaksi
elektronik yang di dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa transaksi elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan
komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Untuk mempermudah
proses pemeriksaan klinik online ini menyarankan agar tanda-tanda tentang
penyakit yang bisa dilihat dengan mata telanjang di foto dan dikirim melalui
media internet artinya foto tersebut UU ITE menyebutkannya sebagai dokumen
elektronik yang disebutkan di dalam Pasal 1 angka 4 UU ITE yaitu :
“Dokumen elektronik adalah setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode, akses, symbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya”.
Klinik onine ini menekankan terhadap cara
pengobatan yang mudah serta efisien, tetapi seharusnya proses pemberian
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh seorang dokter haruslah bertahap, dan
tidak langsung mendiagnosa, artinya di dalam klinik online ini tidak ada
tahapan dokter dan pasien untuk bertatap muka, dengan begitu landasan sosial
dokter yang didasari oleh kaidah-kaidah moral (etik), kesopanan, kesusilaan dan
lain-lain menjadi hilang. Padahal untuk
menghasilkan suatu hasil diagnosa yang sesuai dengan kondisi pasien dan
keilmuan dokter, seorang dokter harus mendengarkan keluhan pasien, meraba atau
memeriksa sakit pasien, serta barulah ke tahapan diagnosa penyakit pasien.
Tetapi di dalam klinik online ini tidak terdapat tahapan meraba atau memeriksa
sakit pasien karena dilakukan melalui dunia maya, sehingga tidak menutup
kemungkinan akan terjadi kesalahan mendiagnosa atau ketidak akuratan dalam
mendiagnosa, maka dokter dalam hal ini bisa dimintai pertanggung jawaban sebagai penyelenggara
sistem elektronik karena telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, hal
tersebut diatur di dalam Pasal 38 UU ITE yaitu setiap orang dapat mengajukan
gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau
menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian. Dan di Pasal 39 ayat
(1) UU ITE menegaskan bahwa jika penyelenggara sistem elektronik membuat suatu
kerugian maka bisa digugat secara perdata sesuai dengan Perundang-undangan yang
berlaku.
Meskipun
antara dokter dan pasien terikat dalam hubungan perjanjian, pasien sangat sulit
untuk menggugat dokter dengan dasar wanprestasi, karena prestasi yang diberikan
dokter tidak dapat di ukur, maka dasar gugatan terhadap dokter, dalam hal
dokter dapat dbuktikan telah berbuat kesalahan/kelalaian adalah perbuatan
melawan hukum yang di atur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata[17].
Untuk dapat diminta pertanggung jawaban
dokter, pihak pasien/konsumen harus membuktikan adanya 4 unsur yang terkandung
di dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, yaitu:
1. Adanya
perbuatan melawan hukum;
2. Adanya
kesalahan/kelalaian;
3. Adanya
kerugian yang dialami konsumen;
4. Adanya
hubugan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang di derita
oleh konsumen.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum
dalam praktik pelaksanaan yang menyangkut dengan permasalahan yang diteliti[18]. Peraturan perundang-undangan
tersebut adalah Undang-Undang Kesehatan
dan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah melalui pendekatan secara
yuridis normatif atau penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka[19].
3.
Tahap
Penelitian
a.
Penelitian
kepustakaan yaitu dengan mengkaji data sekunder yang terdiri dari:
1)
Bahan
hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat[20]. Bahan-bahan hukum tersebut berupa peraturan
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2)
Bahan-bahan
hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat
pakar hukum.
3)
Bahan-bahan
hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan
ensiklopedia.
b.
Penelitian
Lapangan, dilakukan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan merefleksikan data
primer, yaitu data yang diperoleh
langsung dari lapangan untuk mengetahui masalah-masalah hukum yang timbul dalam
perbuatan pelayanan kesehatan yang dilakukan klinik online di dunia maya atau
internet.
4. Teknik
Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, penulis melakukan
teknik pengumpulan data melalui studi dokumen. Studi dokumen tersebut meliputi studi bahan-bahan hukum
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.
5. Metode
Analisis Data
Dalam
menganalisis data maka dilakukan dengan menggunakan metode analisis normatif
kualitatif. Normatif yaitu penelitian bertolak dari penelitian terhadap
peraturan-peraturan yang ada, baik peraturan hukum tertulis maupun tidak
tertulis sebagai norma positif. Kualitatif yaitu analisis data bertitik tolak
pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi untuk mencapai kejelasan
masalah yang dibahas dengan tidak menggunakan rumus matematis.
6. Lokasi
Penelitian
Dalam rangka mendapatkan data yang diperlukan
maka lokasi penelitian yang dipilih adalah:
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, Gedung Mochtar Kusumaatmadja, Jalan Dipatiukur No. 35 Bandung;
b. Pusat Sumber Daya Informasi Ilmiah dan Perpustakaan
Unpad (Center of Information Scientific
Resources and Library Unpad / CISRAL), Jl. Dipatiukur No. 46 Bandung;
[1]Veronica
Komalawati, Peranan Informed Consent
dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1.
[2]Bahder
Johan Nasution, Hukum Kesehatan
Pertanggung Jawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hlm. 11.
[3]Eka
Julianta Wahjoepramono, Op. Cit., hlm
203.
[4]Hermien
Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran Untuk
Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm. 63.
[5]Eka
Julianta Wahjoepramono, Op. Cit.,
hlm. 204.
[6]Efa
Laela Fakhriyah, Bukti Elektronik dalam
sistem Pembuktian Perdata, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 4.
[7] Penjelasan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
[8]Rizka Suci Muliawati, “Pemanfaatan Telematika Di Bidang
Kesehatan”. 23 (Ocktober) 2012, <http://www.rizkasm.blogspot.com.html/>
[09/04/2013]
[9] Dr Sony
Wijaya, “Klinik Dokter Online Surabaya”. 1 (Maret) 2010, <http://www.klinikonline.blogspot.com.html/> [09/04/2013]
[10] Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter
Buku I, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006, hlm. 1.
[11]Hermien
Hadiati Koeswadji, Beberapa :
Permasalahan Hukun Dan Medik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 5.
[12] Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001,
hlm. 25.
[13] Soekidjo Notoatmodjo, Etika Dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta,
Jakarta, 2010, hlm. 44.
[14] Bahder
Johan Nasution, Op Cit., hlm. 1.
[18] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 97-98.
[19] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 13-14.
bisa untuk pembelajaran nih, terima kasih atas informasinya
ReplyDeleteProgram Klinik