Pages

Sunday 2 November 2014

CONTOH SKRIPSI HUKUM KESEHATAN



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana dengan keadaan yang sehat manusia bisa hidup dengan produktif untuk menghasilkan sesuatu hal yang bermanfaat bagi hidupnya oleh karena itu kesehatan merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa diganggu gugat.
Pelayanan kesehatan secara umum diketahui adanya pemberi pelayanan dalam hal ini dokter dan yang menerima pelayanan atau melakukan upaya kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Sudah sejak dahulu dikenal dengan adanya hubungan kepercayaan yang disebut dengan transaksi terapeutik. Transaksi  merupakan hubungan timbal balik yang dihasilkan melalui komunikasi, sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsur atau pengobatan, secara yuridis transaksi terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medic secara professional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran, pelayanan yang diberikan bersifat pemberian pertolongan atau bantuan yang di dasarkan kepercayaan pasien terhadap dokter[1].
Transaksi terapeutik ini berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri yang khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, kekhususannya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan, objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien, jadi menurut hukum objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien[2]
 Pada awalnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini adalah hubungan vertikal atau hubungan kepercayaan yang bersifat paternalistik, dimana tenaga kesehatan di anggap paling superior (father know best), kedudukan  atau posisi dokter dan pasien tidak sederajat, karena dokter dokter di anggap paling tahu tentang segala seluk beluk penyakit, sedangkan pasien dianggap tidak tahu apa-apa tentang penyakit tersebut dan ia menyerahkan sepenuhnya pada dokter, dokter ditempatkan sebagai patron (pelindung) dan pasien ditempatkan sebagai klien (orang yang dilindungi)[3].
Pola hubungan vertical paternalistik antara dokter dan pasien mengandung dampak positif dan dampak negatif, dampak positif karena pola paternalistik ini sangat membantu pasien dalam hal pasien awam terhadap penyakit, sebaliknya dampak negatif, karena tindakan dokter yang berupa langkah-langkah upaya penyembuhan penyakit pasien itu merupakan tindakan-tindakan yang tidak menghiraukan otonomi pasien, yang justru menurut sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia sudah ada sejak lahir[4].
Saat ini bentuk hubungan hukum tersebut bergeser ke bentuk yang lebih demokratis, yaitu hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi bersama, hubungan hukum kesederajatan antara pasien dan dokternya, segala sesuatu dikomunikasikan antara kedua belah pihak, kesepakatan ini lazim disebut dengan Informed Consent atau persetujuan tindakan medik, sehingga tuntutan kehati-hatian dan profesionalitas dari kalangan dokter akan semakin mengemuka[5].
Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien haruslah didukung dengan sarana prasarana yang memadai atau dengan kata lain fasilitas yang menunjang dimana fasilitas itu lah yang dapat membantu dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Salah satu fasilitas kesehatan yaitu klinik, dimana Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Selanjutnya disebut UU Kesehatan) tidak mengatur dan mendefinisikan tentang klinik dengan begitu UU Kesehatan ini merujuk dan mengatur masalah klinik dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 028 Tahun 2011 Tentang Klinik (Selanjutnya disebut PERMENKES No.028 Tahun 2011) yang dimana menyebutkan bahwa klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis.
Dalam hal pelayanan kesehatan didalam klinik pada dasarnya sama seperti rumah sakit dimana dokter sebagai pelayan kesehatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan, hal tersebut dilakukan oleh pasien dengan cara mendatangi klinik untuk melakukan upaya kesehatan, selanjutnya pasien bertemu dengan dokter untuk membicarakan keluhan atau sakit yang di derita kemudian setelah mendengar keluhan pasien, dokter meminta izin untuk memeriksa keluhan pasien, setelah memeriksa keluhan atau sakit yang di derita pasien barulah dokter menyimpulkan atau mendiagnosa sakit pasien dengan keilmuan kedokteran yang dimilikinya dan yang terakhir memberikan resep obat untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan penyakit.
Akan tetapi dalam melakukan upaya kesehatan pasien harus mengerti tentang jenis pelayanan klinik dimana klinik dibagi menjadi dua yaitu klinik pratama dan klinik utama. Yang membedakan jenis pelayanannya yaitu jika klinik pratama hanya untuk menyediakan pelayanan medic dasar sedangkan klinik utama untuk pelayanan medic dasar dan spesialis. Dengan begitu setiap klinik terdapat batasan atau terdapat kewenangan untuk memeriksa tidak setiap klinik berwenang untuk memeriksa penyakit tertentu.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan kemajuan diberbagai bidang termasuk di bidang teknologi hal tersebut tidak bisa dielakan atau dihindari. Munculnya berbagai fenomena baru yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi. Perkembangan yang saat ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat global adalah perkembangan teknologi dan informatika yang ditandai dengan yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace) dengan hadirnya interconnected network (internet) yang mempengaruhi komunikasi tanpa kertas (paperless document)[6]. Adanya kemajuan di bidang teknologi terdapat dampak negative dan positif bagi manusia, ada yang bersifat membantu dan ada juga yang bersifat merugikan jika manusianya tidak berhati-hati mengelola teknologi tersebut. Kebutuhan manusia akan teknologi salah satunya juga berdampak pada bidang kesehatan karena teknologi bisa membantu manusia dalam bidang kesehatan dengan kemajuan di dalam segala aspek dalam bidang kesehatan.
Perkembangan saat ini muncul suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi dan komunikasi[7]. Dengan adanya cyber law tersebut sebagai payung hukum bagi segala pengaturan tentang hubungannya dengan dunia maya maka dibentuklah Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya disebut UU ITE).
Dampak kemajuan di bidang teknologi mengakibatkan adanya suatu jenis pelayanan baru pada bidang kesehatan salah satunya dengan adanya Telemedicine. Telemedicine merupakan suatu layanan kesehatan antara dokter atau praktisi kesehatan dengan pasien jarak jauh guna mengirimkan data medik pasien menggunakan komunikasi audio visual mengunakan infrastruktur telekomunikasi yang sudah ada misalnya menggunakan internet, satelit dan lain sebagainya[8].
Salah satu bagian dari Telemedicine adalah dengan adanya klinik online, dimana pasien dan dokter dapat berkonsultasi melalui internet mengenai masalah penyakit yang di derita oleh pasien dan bahkan dokter bisa mendiagnosa keadaan pasien tanpa harus bertemu secara langsung dan tanpa memeriksa atau merabanya, selain itu pasien juga bisa membeli obat langsung dari klinik online tersebut dengan anjuran dari dokter yang mendiagnosa pasien yang bersangkutan, dan pengiriman obatnya pun dilakukan melalui jasa titipan kilat.
Salah satu contoh mengenai klinik online ini yaitu klinik dokter online, yang memberikan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi dan informasi atau dengan kata lain klinik dokter ini melakukan transaksi secara elektronik karena melakukan perbuatan hukum dalam hal ini memberikan pelayanan kesehatan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan media elektronik lainnya, proses pembayaran serta pembelian obatnya pun dilakukan lewat transfer tanpa harus bertatap muka antara dokter dan pasien. Adapun tahapan-tahapan pemberian pelayanan kesehatan klinik dokter online ini yaitu[9] :
1.    Pasien berkonsultasi kepada staf dokter jaga melalui email, YM,SMS,BBM,Tlp berbayar (member) baik non member (gratis);
2.    Dari hasil konsultasi, dokter akan mendiagnosa sakitnya pasien, misalkan jika pasien sakit kulit bisa memfotokan dan mengirimkan secara online;
3.    Jika pasien menghendaki obat dan dikirimkan obatnya bisa melakukan pembayaran;
4.    Obat akan dikirimkan lewat pos (DFA), atau jika pasien menghendaki pembelian obat di apotik terdekat dengan pasien, pasien harus menjadi member, pastikan apotik terdekat anda bisa menerima resep tersebut;
5.    Klinik online akan mengirimkan no resi ke pada pasien jika sudah dilakukan pembayaran;
6.    Jika belum ada perbaikan anda bisa berkonsultasi langsung dengan kami di alamat klinik online gratis.
Adanya klinik online ini berdampak positif dan negatif bagi dunia kesehatan di satu sisi memudahkan proses pemberian pelayanan dan upaya kesehatan yang dilakukan oleh dokter maupun pasien dengan tidak adanya batasan jarak, tetapi di sisi lain dengan adanya klinik online tersebut yang menggunakan perangkat internet sebagai media penghubung, sehingga kerahasiaan pasien dalam hal ini tidak terlindungi. Selain itu pelayanan klinik online termasuk di dalam nya terdapat praktek kedokteran, jika melihat praktek kedokteran standart yang dilakukan oleh klinik biasa tentu hal ini menimbulkan suatu permasalahan tersendiri, karena proses pendiagnosaan secara online oleh dokter dilakukan dengan tidak bertatap muka dengan pasien, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan pendiagnosaan terhadap pasien.
Besarnya persentasi kesalahan pendiagnosaan oleh dokter kepada pasien di dalam klinik online, hal tersebut merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi untuk kemajuan di bidang kesehatan. Jika kesalahan pendiagnosaan oleh dokter terjadi maka sudah seharusnya dokter bisa atau dapat dimintai pertanggung jawabannya, karena pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab terhadap setiap tindakan atau perbuatan yang mereka lakukan[10].
Berdasarkan contoh kasus di atas tentang klinik online, dapat terlihat dinamika hukum kesehatan di Indonesia masih kurang mencukupi untuk mengantisipasi perkembangan di dalam dunia kesehatan ini, dimana teknologi yang berkembang cepat tidak dapat di ikuti dengan perkembangan hukum di bidang kesehatan. Oleh karena itu seharusnya UU Kesehatan sudah mengakomodir UU ITE tentang perkembangan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan internet khususnya dengan adanya klinik online ini, tetapi pada nyatanya hal tersebut tidak diatur di dalam UU Kesehatan.
Secara filosofis, hukum bertujuan untuk melindungi menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hukum dalam hubungannya dalam massalah-masalah kesehatan kesehatan dan dalam fungsinya sebagai alat untuk “social engineering” sangat terkait erat dengan diadakannya hukum  tersebut untuk mengubah masyarakat sesuai dengan tujuannya[11].
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, terdapat judul skripsi yang memiliki persamaan dengan yang dilakukan oleh peneliti, yaitu :
1.    Skripsi karya Febby Richard Immanuel L. Tobing tahun 2009 yang berjudul : Tinjauan Yuridis Atas Praktek Layanan Kesehatan Melalui Internet (Telemedicine Internet) Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.

2.    Skripsi karya Nindya Melyani tahun 2009 yang berjudul : Layanan Apotek Online Dikaitkan Dengan Tanggung Jawab Apoteker Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun persamaan dengan peneliti sebelumnya yaitu meneliti layanan kesehatan di internet, namun perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan peneliti yang sebelumnya terletak pada obyek penelitian yang diteliti yaitu mengenai klinik online, yang lebih mengkualifikasikan dan menspesifikasikan bagian layanan kesehatan di internet. Dengan demikian penulisan tugas akhir ini dapat terlihat keasliannya.
Mengenai dipilihnya penulisan klinik online ini sebab menurut pengamatan, walaupun konsep pelayanan kesehatan melalui internet sudah lama dikenal di Indonesia, tetapi klinik online ini adalah suatu hal yang baru dan belum cukup mendapat perhatian di Indonesia. Oleh sebab itu peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai klinik online tersebut dengan berdasarkan kepada permasalahan perbuatan yang dilakukan klinik online yang melakukan pelayanan kesehatan melalui dunia maya atau cyberspace  yang memanfaatkan jaringan internet, yang memudahkan masyarakat luas untuk bisa dengan mudah melakukan upaya kesehatan tanpa harus secara langsung bertatap muka dengan dokter, sedangkan di satu sisi lain inovasi dan perkembangan kemajuan di bidang kesehatan tersebut tidak diikuti dengan perkembangan hukum untuk mengatur kemajuan tersebut. Sehingga menarik untuk diteliti lebih mendalam mengenai hal tersebut, Berdasarkan keadaan-keadaan serta masalah-masalah yang telah dijelaskan di atas, maka Peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian hukum berupa skripsi yang dituangkan dalam judul:
“LAYANAN KLINIK ONLINE DIHUBUNGKAN DENGAN TANGGUNG JAWAB DOKTER BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian ini bertujuan untuk memfokuskan dan membatasi uraian penelitian pada hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Untuk menganalisis permasalahan di atas, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.    Bagaimana kedudukan hukum klinik online dalam pemberian pelayanan kesehatan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
2.    Bagaimana pertanggung jawaban hukum dokter yang melakukan pelayanan kesehatan pada klinik online apabila terjadi kerugian terhadap pasien berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Trasnsaksi Elektronik ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui kedudukan hukum klinik online dalam pemberian pelayanan kesehatan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2.    Untuk mengetahui pertanggung jawaban hukum dokter yang melakukan pelayanan kesehatan pada klinik online apabila terjadi kerugian terhadap pasien berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Kegunaan Teoretis
a.    Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum kesehatan terkait sarana kesehatan.
b.    Diharapkan dapat memberikan bahan bacaan dan referensi bagi kepentingan akademis, dan juga sebagai tambahan bagi kepustakaan.
2.    Kegunaan Praktis
a.    Diharapkan dapat memberikan informasi kepada para penyelenggara sarana kesehatan klinik online untuk menjalankan profesinya sesuai dengan standart profesi dan sesuai dengan perizinan klinik.
b.    Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sisi positif dan sisi negatif dari klinik online, dan juga memberikan informasi mengenai pertanggung jawaban dokter sebagai pelayan kesehatan pada klinik online sebagai sarana kesehatan.



E. Kerangka Pemikiran
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan. Untuk memenuhi kebutuhan pokok kesehatan, manusia dalam hidupnya dengan manusia lainnya, agar tidak terjadi konflik membutuhkan apa yang dikenal sebagai nilai (value) kesehatan. Nilai ini dalam pelaksanaannya untuk dapat diwujudkan memerlukan pedoman, pedoman ini lah yang dikenal sebagai kaidah atau norma[12].
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan atau masyarakat, baik sebagai perorangan (pasien), atau kelompok masyarakat[13].
Sebagai landasan konstiitusional bangsa Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat atau diberlakukan, dimana setiap peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia harus selalu mengacu dan sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945 karena di dalam Undang-Undang Dasar 1945 di dalamnya terselip mengenai cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum di dalam pembukaan yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia tersebut dilaksanakan pembangunan nasional di semua bidang, salah satunya yang tak luput dari pembangunan adalah di bidang kesehatan.
Di dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa : “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal tersebut merupakan hak yang paling mendasar karena di dalamnya terdapat pengertian tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat mutlak, serta pengaturan secara spesifik terkait kesehatan di dalam Undang-Undang Kesehatan dimana di dalamnya mengatur berbagai aspek mengenai kesehatan.

Sebagai landasan pembangunan kesehatan maka dibentuklah suatu acuan hukum di dalam pembangunan kesehatan yang dinamakan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang menyebutkan bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks. Hal ini sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dnia Internasional sebagai : “A state of complete phsycal, mental, and social, well being and not merely the absenceof desaese or infirmity”. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang[14].
Pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan kesehatan wajib memberikan fasilitas dan layanan kesehatan untuk masyarakat guna tercipta derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Upaya kesehatan yang dimaksud yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
Dalam hal pelayanan kesehatan di dalam UU Kesehatan menyebutkan beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh pemerintah secara langsung maupun secara tidak langsung dalam upaya pelayanan kesehatan diantaranya :
1.    Promotif yaitu serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat promosi kesehatan;
2.    Preventif yaitu suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit;
3.    Kuratif yaitu serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, dan pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin;
4.    Rehabilitatif yaitu pemulihan atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan terdapat hubungan antara pelayan kesehatan dan yang menerima pelayanan kesehatan dimana hubungan dokter sebagai pelayan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan telah berubah sesuai dengan pemahaman mengenai kesehatan dimana yang semula hubungan dokter dan pasien adalah hubungan vertikal yang berlandaskan kepercayaan yang bersifat paternalistik, sedangkan dengan semakin meningkatnya pemahaman kesehatan masyarakat, pada saat ini hubungan dokter dan pasien telah berubah menjadi hubungan horizontal kontraktual yang berlandaskan kepada partisipasi bersama dimana kedudukan dokter dan pasien kini di sejajarkan.
Aspek upaya kesehatan dan aspek sumber daya kesehatan merupakan aspek terpenting dalam kesehatan. Aspek sumber daya kesehatan terdiri dari sarana kesehatan dan tenaga kesehatan. Aspek upaya kesehatan salah satunya adalah pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kesehatan dibagi lagi menjadi pemeliharaan kesehatan masyarakat dan pemeliharaan kesehatan individu[15].
Dokter sebagai aspek sumber daya kesehatan, dalam pelaksanaannya profesi dokter berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, namun profesi dokter bukan profesi bisnis tetapi merupakan suatu profesi yang harus dijalankan dengan moralitas[16]. Oleh karena itu profesi dokter adalah profesi tenaga kesehatan profesional yang di dalam menjalankan profesinya harus sesuai dengan keahlian, kewenangannya, serta harus memenuhi norma–norma yang berlaku dalam profesinya.
Di dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Kesehatan dijelaskan bahwa tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan di dalam ayat (2) kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Hal tersebut sudah menjelaskan bahwa dokter adalah tenaga kesehatan yang berwenang untuk memberikan pelayanan kesehatan tetapi harus sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, jangan sampai dokter spesialis jantung membuka praktek tidak sesuai dengan keahliannya atau kemampuannya. Dan selanjutnya di Pasal 24 ayat (1) UU Kesehatan menyebutkan bahwa :
Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional”.

Terdapat batasan-batasan untuk tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan, dimana terdapat standar yang harus ditempuh bagi seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan.Untuk itu UU Kesehatan menganjurkan untuk melihat lebih lanjut atau spesifik mengenai tanggung jawab dokter sebagai tenaga  kesehatan dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Selanjutnya disebut dengan UU Pradok). Di dalam UU Pradok yang disebut dengan Praktik Kedokteran yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Selanjutnya untuk bisa melakukan praktik kedokteran, dokter harus memperoleh registrasi dokter dimana hal tersebut dijelaskan didalam Pasal 29 ayat (1), (2) dan ayat (3) UU Pradok yang menyebutkan bahwa :
(1)  Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
(2)  Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(3)  Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a.    Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis.
b.    Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi.
c.    Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental.
d.    Memiliki sertifikat kompetensi.
e.    Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Selanjutnya kewenangan dokter jika sudah memperoleh surat tanda registrasi dengan melihat Pasal 35 ayat (1) UU Pradok yaitu :
(1)  Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas :
a.    Mewawancarai pasien.
b.    Memeriksa fisik dan mental pasien.
c.    Menentukan pemeriksaan penunjang.
d.    Menegakan diagnosis.
e.    Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien.
f.     Melakukan tindakan kedokteran dan atau kedokteran gigi
g.    Menulis resep obat dan alat kesehatan.
h.    Menerbitkan surat keterangan dokter dan atau dokter gigi.
i.      Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan.
j.      Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Setelah memperoleh registrasi dokter dan timbulnya kewenangan kepada dokter, untuk bisa membuka praktik kedokteran ini dokter harus mengurus izin praktik terlebih dahulu hal tersebut diatur didalam pasal 36 sampai 38 UU Pradok yaitu Setiap dokter yang menyelenggarakan praktik kedokteran di Indonesia harus memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan didalam Pasal 41 dokter wajib memasang papan nama jika menyelenggarakan praktik kedokteran.
Selanjutnya, jika di dalam melakukan praktik, dokter melakukan hal yang merugikan terhadap pasien, maka pasien berhak mengadukan dokter tersebut sebagaimana di atur di dalam Pasal 66 UU Pradok yaitu :
(1)  Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2)  Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a.    Identitas pengadu.
b.    Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan.
c.    Alasan pengaduan.
(3)  Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Adanya tenaga kesehatan dalam hal ini yaitu dokter sudah tentu ada proses pelayanan, dimana ada yang memberi pelayanan dan menerima pelayanan dan untuk melakukan proses tersebut harus ada fasilitas kesehatan atau sarana kesehatan untuk menunjang proses pelayanan kesehatan, menurut Pasal  1 angka 7 Undang-Undang Kesehatan disebutkan bahwa :
“Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat”.

Di dalam Undang-Undang Kesehatan tidak ada definisi secara khusus mengenai klinik tetapi menganjurkan dan mengaturnya dengan Peraturan Menteri Kesehatan, dan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 028 tahun 2011 (selanjutnya disebut dengan Permenkes No. 28 tahun 2011), mendefinisikan klinik di dalam Pasal 1 angka (1) yaitu :
“Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis”.

Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa klinik adalah salah satu sarana untuk melakukan pelayanan kesehatan oleh dokter terhadap pasien, yang dimana klinik tersebut harus diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan diadakan atau didirikan oleh seorang tenaga medis.

Klinik secara spesifik dijelaskan di dalam PERMENKES No. 028 Tahun 2011 berdasarkan jenis pelayanannya dibagi kedalam dua kelompok yaitu klinik pratama dan klinik utama,  perbedaan keduanya yaitu jika pada klinik pratama khusus untuk pelayanan medik dasar sedangkan klinik utama untuk pelayanan medik dasar dan spesialistik.
Adapun perbedaan antara klinik pratama dan klinik utama adalah:
1.    Pelayanan medis pada klinik pratama hanya pelayanan medis dasar, sementara pada klinik utama mencangkup pelayanan medis dasar dan spesialis;
2.    Pimpinan klinik pratama adalah dokter atau dokter gigi, sementara pada klinik utama pimpinannya adalah dokter spesialis atau dokter gigi spesialis;
3.    Layanan di dalam klinik utama mencangkup layanan rawat inap, sementara pada klinik pratama layanan rawat inap hanya boleh dalam hal klinik berbentuk badan usaha;


4.    Tenaga medis dalam klinik pratama adalah minimal dua orang dokter atau dokter gigi, sementara dalam klinik utama diperlukan satu orang spesialis untuk masing-masing jenis pelayanan.
Dalam mendirikan klinik haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 6 Permenkes No. 28 Tahun 2011 dijabarkan yaitu : “Klinik harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan dan ruangan, prasarana, peralatan, dan ketenagaan”.
Persyaratan yang dimaksud di dalam Pasal 6 PERMENKES No. 28 Tahun 2011 tersebut merupakan syarat mutlak untuk klinik standart, atau dengan kata lain persyaratan tersebut tidak boleh dilanggar jika ingin mendirikan sebuah klinik.
Selanjutnya untuk mendirikan sebuah klinik tentu harus ada izin dari pemerintah sebagai penanggung jawab kesehatan agar klinik tersebut bisa melakukan upaya pelayanan kesehatan, dimana perizinan tersebut di atur di dalam Pasal 21 PERMENKES No. 028 Tahun 2011 yaitu :
(1)   Untuk mendirikan dan menyelenggarakan klinik harus mendapat izin dari pemerintah daerah kabupaten/kota setelah mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
(2)  Dinas kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan rekomendasi sebagaimana di atur di dalam ayat (1) setelah klinik memenuhi ketentuan persyaratan klinik dalam peraturan ini.
(3)  Permohonan izin klinik di ajukan dengan melampirkan :
a.    Surat rekomendasi dari dinas kesehatan setempat.
b.     Salinan/fotokopi pendirian badan usaha kecuali untuk kepemilikan perorangan.
c.    Identitas lengkap pemohon.
d.    Surat keterangan persetujuan lokasi dari pemerintah daerah setempat.

e.    Bukti hak kepemilikan atau penggunaan tanah atau izin penggunaan bangunan untuk penyelenggaraan kegiatan bagi milik pribadi atau surat kontrak minimal 5 (lima) tahun bagi yang menyewa bagunan untuk penyelenggaraan kegiatan.
f.     Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
g.    Profil klinik yang akan didirikan meliputi struktur organisasi kepengurusan, tenaga kesehatan, sarana dan prasarana, dan peralatan, serta pelayanan yang diberikan.
h.    Persyaratan administrasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)  Izin klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan 6 (enam) bulan sebelum habis masa berlaku izinnya.
(5)  Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam waktu (3) bulan sejak permohonan diterima harus menetapkan menerima atau menolak permohonan izin atau permohonan perpanjangan izin.
(6)  Permohonan yang tidak memenuhi syarat ditolak oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dengan memberikan alasan penolakannya secara tertulis..

Adanya klinik online yang merupakan salah satu inovasi di dalam bidang kesehatan. Layanan klinik online ini dilakukan oleh seorang dokter atau lebih dengan membuat website atau blog, dengan cara kerja biasanya menawarkan konsultasi, pemeriksaan, pendiagnosaan dan pengobatan dengan cara yang mudah artinya pasien tidak perlu repot-repot untuk datang menemui dokter. Tetapi dalam hal memberikan pelayanan didalam klinik online ini tidak mencantumkan jenis pelayanan yang sebagaimana dimaksudkan di dalam PERMENKES No. 028 Tahun 2009 artinya klinik online ini mengenyampingkan jenis pelayanan baik itu pelayanan medic dasar maupun spesialistik, seharusnya hal tersebut di cantumkan dan dibatasi hanya untuk penyakit-penyakit tertentu yang bisa dilakukan upaya kesehatan melalui klinik online karena jika tidak ada pembatasan mengenai penyakit, hal tersebut akan menimbulkan permasalahan lebih lanjut karena pada dasarnya beberapa penyakit harus diperiksa secara langsung oleh dokter dengan pasien dengan melakukan tatap muka.
Jika dikaitkan dengan UU ITE, adanya klinik online yang didalam melakukan pelayanan kesehatan dilakukan dengan cara membuat website atau blog maka dapat disimpulkan bahwa dokter disebut sebagai penyelenggara sistem elektronik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Pasal 1 angka 6 UU ITE yaitu penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat.
Untuk menyelenggarakan sistem elektronik , penyelenggara sistem elektronik pertama-tama harus memperhatikan Pasal 17 UU ITE yaitu :
(1)  Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik atau privat.

(2)  Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/ atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya didalam melaksanakan sistem elektronik penyelenggara sistem elektronik juga harus memahami Pasal 5 UU ITE mengenai kekuatan pembuktian informasi dan atau dokumen elektronik, yaitu :
(1)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetak lainnya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3)  Informasi Elektronik dan/dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4)  Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a.    Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis
b.    Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pembuat akta.

Selain itu adapun tentang penyelenggaraan sistem elektronik harus memperhatikan syarat-syarat yang di dalam UU ITE di atur di dalam Pasal 15 UU ITE yaitu :
(1)  Setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroprasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya.
(2)  Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya.
(3)  Ketentuan sebagaimana dimaksud didalam ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.

Selain itu persyaratan minimum tentang penyelenggaraan sistem elektronik terdapat di dalam Pasal 16 ayat 1 yaitu :
(1)  Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri setiap penyelenggara sistem elektronik wajib mengoprasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut :
a.    Dapat menampilkan kembali informasi elektronik/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
b.    Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
c.    Dapat beroprasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
d.    Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
e.    Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggung jawaban prosedur atau petunjuk.


Hal ini sangat terlihat jelas bahwa dokter di dalam klinik online sebagai penyelenggara sistem elektronik dengan adanya nama domain yaitu klinik online Surabaya yang berbentuk blog artinya secara tidak langsung klinik online tersebut mempunyai alamat di dalam dunia maya, dan pengertian nama domain menurut UU ITE terdapat di dalam Pasal 1 angka 20 yaitu :

“Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukan lokasi tertentu di dalam internet”.

Dan selanjutnya dalam hal dokter mengelola klinik online dengan nama domain tersebut, di dalam pasal 24 ayat 1 UU ITE dijelaskan bahwa pengelola nama domain adalah pemerintah dan/atau masyarakat.
Di dalam menjalankan pelayanan kesehatannya klinik online ini tentu saja tidak akan terlepas dari transaksi elektronik yang di dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Untuk mempermudah proses pemeriksaan klinik online ini menyarankan agar tanda-tanda tentang penyakit yang bisa dilihat dengan mata telanjang di foto dan dikirim melalui media internet artinya foto tersebut UU ITE menyebutkannya sebagai dokumen elektronik yang disebutkan di dalam Pasal 1 angka 4 UU ITE yaitu :
“Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode, akses, symbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.

Klinik onine ini menekankan terhadap cara pengobatan yang mudah serta efisien, tetapi seharusnya proses pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh seorang dokter haruslah bertahap, dan tidak langsung mendiagnosa, artinya di dalam klinik online ini tidak ada tahapan dokter dan pasien untuk bertatap muka, dengan begitu landasan sosial dokter yang didasari oleh kaidah-kaidah moral (etik), kesopanan, kesusilaan dan lain-lain menjadi hilang.  Padahal untuk menghasilkan suatu hasil diagnosa yang sesuai dengan kondisi pasien dan keilmuan dokter, seorang dokter harus mendengarkan keluhan pasien, meraba atau memeriksa sakit pasien, serta barulah ke tahapan diagnosa penyakit pasien. Tetapi di dalam klinik online ini tidak terdapat tahapan meraba atau memeriksa sakit pasien karena dilakukan melalui dunia maya, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi kesalahan mendiagnosa atau ketidak akuratan dalam mendiagnosa, maka dokter dalam hal ini bisa dimintai pertanggung jawaban sebagai penyelenggara sistem elektronik karena telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, hal tersebut diatur di dalam Pasal 38 UU ITE yaitu setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian. Dan di Pasal 39 ayat (1) UU ITE menegaskan bahwa jika penyelenggara sistem elektronik membuat suatu kerugian maka bisa digugat secara perdata sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun antara dokter dan pasien terikat dalam hubungan perjanjian, pasien sangat sulit untuk menggugat dokter dengan dasar wanprestasi, karena prestasi yang diberikan dokter tidak dapat di ukur, maka dasar gugatan terhadap dokter, dalam hal dokter dapat dbuktikan telah berbuat kesalahan/kelalaian adalah perbuatan melawan hukum yang di atur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata[17].
Untuk dapat diminta pertanggung jawaban dokter, pihak pasien/konsumen harus membuktikan adanya 4 unsur yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, yaitu:
1.    Adanya perbuatan melawan hukum;
2.    Adanya kesalahan/kelalaian;
3.    Adanya kerugian yang dialami konsumen;
4.    Adanya hubugan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang di derita oleh konsumen.




F. Metode Penelitian
1.    Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaan yang menyangkut dengan permasalahan yang diteliti[18]. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2.    Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah melalui pendekatan secara yuridis normatif atau penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka[19].
3.    Tahap Penelitian
a.    Penelitian kepustakaan yaitu dengan mengkaji data sekunder yang terdiri dari:
1)    Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat[20]. Bahan-bahan hukum tersebut berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2)    Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
3)    Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia.
b.    Penelitian Lapangan, dilakukan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan merefleksikan data primer, yaitu data  yang diperoleh langsung dari lapangan untuk mengetahui masalah-masalah hukum yang timbul dalam perbuatan pelayanan kesehatan yang dilakukan klinik online di dunia maya atau internet.
4.    Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, penulis melakukan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen. Studi dokumen tersebut meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
5.    Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data maka dilakukan dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif yaitu penelitian bertolak dari penelitian terhadap peraturan-peraturan yang ada, baik peraturan hukum tertulis maupun tidak tertulis sebagai norma positif. Kualitatif yaitu analisis data bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas dengan tidak menggunakan rumus matematis.
6.    Lokasi Penelitian
Dalam rangka mendapatkan data yang diperlukan maka lokasi penelitian yang dipilih adalah:
a.    Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Gedung Mochtar Kusumaatmadja, Jalan Dipatiukur No. 35 Bandung;
b.    Pusat Sumber Daya Informasi Ilmiah dan Perpustakaan Unpad (Center of Information Scientific Resources and Library Unpad / CISRAL), Jl. Dipatiukur No. 46 Bandung;


[1]Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1.
[2]Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hlm. 11.
[3]Eka Julianta Wahjoepramono, Op. Cit., hlm 203.
[4]Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran Untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 63.
[5]Eka Julianta Wahjoepramono, Op. Cit., hlm. 204.
[6]Efa Laela Fakhriyah, Bukti Elektronik dalam sistem Pembuktian Perdata, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 4.
[7] Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[8]Rizka Suci Muliawati, “Pemanfaatan Telematika Di Bidang Kesehatan”. 23 (Ocktober) 2012, <http://www.rizkasm.blogspot.com.html/> [09/04/2013]

[9] Dr Sony Wijaya, “Klinik Dokter Online Surabaya”. 1 (Maret) 2010, <http://www.klinikonline.blogspot.com.html/>  [09/04/2013]
[10] Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006, hlm. 1.
[11]Hermien Hadiati Koeswadji, Beberapa : Permasalahan Hukun Dan Medik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 5.
[12] Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 25.
[13] Soekidjo Notoatmodjo, Etika Dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 44.
[14] Bahder Johan Nasution, Op Cit., hlm. 1.
[15]Wila Chandrawila, Op Cit., hlm 4.
[16]Veronica Komalawati, Op.Cit., hlm. 21.
[17]Idem, hlm. 44.
[18] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 97-98.
[19] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 13-14.
[20]Ibid.

1 comment: