TULISAN MENGENAI
Tinjauan
Masalah status Anak Dari Perkawinan
Campuran kewarganegaraan ganda berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Dibuat Untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2012
A.
Latar
Belakang Masalah
Kasus
perkawinan campuran telah banyak terjadi di Indonesia dalam berbagai tingkatan
masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, antara lain
: ekonomi, transportasi, globalisasi informasi, pendidikan, kecanggihan
teknologi, ekonomi, dan masih banyak lagi. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club,
jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara
lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian mantan teman kerja atau
bisnis, berkenalan saat berlibur, mantan teman sekolah atau kuliah, dan sahabat
pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga
kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia
sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diatur dengan
baik dalam perundang-undangan di Indonesia agar tidak merugikan masing-masing
subjek hukum dalam perkawinan campuran.
Selama
48 tahun lebih pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara
warga negara indonesia dengan warga negara asing berdasarkan pada UU
Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Dengan berjalannya waktu UU ini dinilai tidak
sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran,
terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Persoalan
yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah
kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran
hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan
bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini
menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah,
tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
B.
Teori
Terkait
C.
Pembahasan
dan Analisis
Dalam
kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara Belanda dan
ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang
perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa
kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan
tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin
memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia
bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena
berbagai factor, antara lain : faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan
pendidikan,dll maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup terpisah .
Menurut UU No.62 tahun 1958 Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti
ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai
hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik
Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan
tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap
anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia
menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam
ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa
menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing . Dalam kasus
Eddy yang telahir dari hasil perkawinan campuran ibunya Warga Negara Indonesia
dan Ayahnya Warga Negara Belanda, anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai
warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya,
dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus
diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah.
Dalam
hal terjadi perceraian antara orang tua Eddy, akan sulit bagi Maudy sebagai ibu
untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan
bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi
anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam
praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih
terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya
kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya
yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun
atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan
kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah)
menjadi hilang apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya.
Di dalam Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: Asas ius
sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
a. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
b. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
c. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
Undang-Undang
ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda ataupun tanpa
kewarganegaraan. Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang
ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka
hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu apabila anak tersebut tidak punya
hubungan hukum dengan ayahnya tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan
anak menjadi hilang
Berdasarkan
UU ini Eddy yang merupakan anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI
dengan pria WNA diakui sebagai warga negara Indonesia. Eddy akan
berkewarganegaraan ganda , dan setelah dia berusia 18 tahun atau sudah kawin
maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau
setelah kawin. Namun pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan
baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk
pada dua yurisdiksi, dalam kasus ini antara Indonesia dan Belanda.
Kritik terkait dengan status
kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati yaitu organisasi
para istri warga negara asing. Menurut ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan,
Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan
antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi
kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU
yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan
campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati
menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya
terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan
tersebut bisa berlaku selamanya .
Di dalam pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru ditentukan
“(1) Dalam hal
status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah
kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”
Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan
kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum
untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara
yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya
bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang
jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum
pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan
hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di
suatu negara.
D.
Penutup
berupa Kesimpulan
* Anak
sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum karena belum
dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum,
sehingga diperlukan peraturan yang yang tegas dan bijak untuk penentuan hukum
status personalnya.
* Pengaturan
status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memberi peraturan baru yang positif
karena secara garis besar Undang-undang baru ini memperbolehkan dwi
kewarganegaraan yang terbatas dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul
dari perkawinan campuran.
* Pemberian
kewaranegaraan ganda akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau
tidak karena memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
* Pemilihan kewarganegaraan penting untuk mengindari
penyelundupan hukum dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang
berlaku di suatu negara.
3.2 Saran
*
Diharapkan dengan adanya tulisa ini dapat memberikan saran kepada pemerintah
untuk mengkaji ulang mengenai pemberian kewarganegaraan ganda akan menimbulkan
permasalahan baru di kemudian hari atau tidak karena memiliki kewarganegaraan
ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
No comments:
Post a Comment