BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Internasional
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional.
Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan
antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin
kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga
mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas
tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum
antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk
menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara
raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan
pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa atau negara.
Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
(i)
negara dengan
negara
(ii)
negara dengan
subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.
2.2 Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum internasional
diartikan sebagai pemilik, pemegang, atau pendukung hak dan pemikul kewajiban
berdasarkan hukum internasional. Secara teoritis dapat dikemukakan ahwa subjek hukum internasional
sebenarnya hanyalah negara. Perjanjian internasional seperti misalnya
konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949 memberikan hak dan kewajiban
tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada
orang-perorangan (individu) melalui negaranya yang menjadi peserta konvensi
itu.
Suatu entitas harus memiliki
personalitas HI. Agar suatu entitas dapat
dikatakan telah memiliki personalitas HI harus memiliki beberapa kecakapan
tertentu.
Kecakapan-kecakapan tersebut adalah :
1) Mampu mendukung hak dan kewajiban
internasional (capable of possessing international rights and duties);
2) Mampu melakukan tindakan tertentu yang
bersifat internasional (endowed with the capacity to take certain types of
action on international plane);
3) Mampu menjadi pihak dalam pembentukan
perjanjian internasional (they have related to capacity to treaties and
agreements under international law);
4) Memiliki kemampuan untuk melakukan
penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban internasional (the
capacity to make claims for breaches of international law);
5) Memiliki kekebalan dari pengaruh/penerapan
yurisdiksi nasional suatu negara (the enjoyment of privileges and immunities
from national jurisdiction);
6) Dapat menjadi anggota dan berpartisipasi
dalam keanggotaan suatu organisasi internasional (the question of international
legal personality may also arise in regard to membership or participation in
international bodies).
Adapun yang menjadi subjek hukum
internasional adalah :
1) Negara
2) Tahta Suci Vatican
3) Palang Merah Internasional
4) Organisasi Internasional
5) Individu
6) Pemberontak Dan Pihak Dalam Sengketa.
Berikut ini akan kami jelaskan mengenai berbagai
subjek hukum internasional.
1)
Negara
Negara dinyatakan sebagai
subjek hukum internasional yang pertama karena kenyataan menunjukkan bahwa yang
pertama melakukan hubungan internasional adalah negara. Aturan-aturan yang
disediakan masayarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah
laku yang harus ditaati oleh negara apabila mereka saling mengadakan hubungan. Adapun negara yang
menjadi subjek hukum internasional adalah negara yang merdeka, berdaulat, dan
tidak merupakan bagian dari suatu negara, artinya negara yang mempunyai
pemerintahan sendiri secara penuh yaitu kekuasaan penuh terhadap warga negara
dalam lingkungan kewenangan negara itu. Menurut PASAL 1 Konvensi
Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara
untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
a. Penduduk yang tetap;
b. Mempunyai wilayah (teritorial) tertentu;
c. Pemerintahan yang sah; dan
d. Kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan negara lain.
2) Tahta Suci
Vatican
Tahta
Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat
Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci
Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran adalah salah satu dari Pakta Lateran tahun 1929
atau Persetujuan Lateran, tiga persetujuan yang dibuat di tahun 1929 antara Kerajaan
Italia dan Tahta Suci, diratifikasi pada tanggal 7 Juni 1929, mengakhiri
masa "Pertanyaan Romawi". Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain
dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai
pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya,
tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang
kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun
wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia,
sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara
membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan
besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan
kedutaan besarnya di berbagai negara.
Perjanjian
ini terdiri atas tiga dokumen:
- Sebuah "perjanjian politik" yang menghargai kemerdekaan penuh Tahta Suci di Negara Kota Vatikan, yang oleh karenanya terbentuk;
- Sebuah "concordat" yang mengatur posisi Gereja Katolik Roma dan agama Katolik Roma di dalam negara Italia;
- sebuah "konvensi finansial" yang menyetujui penyelesaian definitif terhadap permintaan ganti rugi Tahta Suci menyusul hilangnya wilayah dan kekayaan milik Tahta Suci.
Wilayah Negara Kota Vatikan, dibentuk oleh Persetujuan Lateran
Tahta
Suci itu sendiri (Bahasa Latin:
Sancta Sedes) adalah yurisdiksi episkopal
dari Uskup Roma (yang umumnya dikenal sebagai Sri Paus), tahta keuskupan nomor satu dalam Gereja Katolik, dan merupakan pusat pemerintahan Gereja
Katolik. Dengan demikian, dalam diplomasi, dan dalam bidang-bidang lainnya
Tahta Suci bertindak dan berbicara atas nama seluruh Gereja Katolik. Tahta Suci
juga diakui oleh subyek-subyek hukum internasional lainnya sebagai sebuah
entitas berdaulat, dikepalai oleh Sri Paus, yang dengannya dapat dijalin
hubungan-hubungan diplomatik.
Sri Paus menjalankan
pemerintahan Gereja Katolik melalui Kuria Romawi. Kuria Romawi terdiri atas sejumlah
jawatan yang menangani urusan-urusan Gereja pada tingkat tertinggi, mencakup Sekretariat Negara, sembilan Kongregasi,
tiga Tribunal, sebelas Dewan Kepausan, dan sebelas
Komisi Kepausan. Sekretariat Negara, di bawah pimpinan Kardinal Sekretaris
Negara, mengarahkan dan mengkoordinasi Kuria. Sekretaris Negara saat ini,
Kardinal Tarcisio Bertone, adalah padanan Tahta Suci untuk seorang perdana menteri.
Uskup Agung Dominique
Mamberti,
Sekretaris Bagian Hubungan Antarnegara dari Sekretariat Negara, bertindak
selaku menteri luar
negeri Tahta Suci.
Bertone dan Mamberti ditunjuk untuk menjabat posisinya masing-masing oleh Paus Benediktus XVI pada bulan September 2006.
Sekretariat Negara adalah
satu-satunya badan Kuria yang berlokasi di dalam Kota Vatikan.
Jawatan lainnya menempati sejumlah gedung di beberapa lokasi berbeda di Roma yang memiliki hak-hak ekstrateritorial
seperti kedutaan-kedutaan besar.
Lembaga-lembaga Kuria yang
paling aktif di antaranya Kongregasi bagi Doktrin Iman, yang mengawasi doktrin Gereja-Katolik; Kongregasi bagi Para Uskup, yang mengkoordinasi penunjukan uskup-uskup di
seluruh dunia; Kongregasi bagi Penginjilan Bangsa-Bangsa, yang memantau seluruh karya misi; dan Dewan Kepausan bagi Keadilan dan Perdamaian, yang berhubungan dengan isu-isu sosial
dan perdamaian internasional.
Tahta suci ini
berpusat di Vatikan merupakan negara merdeka terkecil di dunia, dari
segi luas wilayah dan jumlah penduduk. Vatikan merupakan sebuah enklaf yang berada di dalam wilayah kota Roma di Italia. Vatikan merupakan tempat tinggal Paus dan wilayah Takhta Suci, otoritas pusat Gereja Katolik.
Contoh Kasus Hukum Internasional mengenai Tahta Suci
Pemerintahan AS Lindungi Vatikan Atas Kasus Pelecehan
Seksual
Pemerintahan Presiden Barack Obama menunjukkan
keberpihakannya pada Vatikan terkait tuntutan hukum terhadap Vatikan atas
kasus-kasus pelecehan seksual di dalam gereja-gereja Katolik. Pemerintah AS
menyatakan bahwa Tahta Suci kebal dari segala bentuk tuntutan hukum di AS.
Pemerintahan Obama menegaskan hal tersebut, setelah
Mahkamah Agung AS mendesak agar Gedung Putih segera mengumumkan sikapnya atas
gugatan hukum terhadap Vatikan yang dilakukan seorang korban kasus pedofilia di
sebuah gereja Katolik di Oregon.
Pemerintah AS mengacu pada hukum federal tahun 1976
dalam mengambil keputusan untuk berpihak pada Vatikan. Berdasarkan
Undang-Undang "Foreign Sovereign Immunities Act", pemerintah AS
dikenakan batasan tertentu terkait gugatan terhadap kedaulatan negara lain yang
diajukan warga negara AS.
Undang-Undang tersebut menempatkan posisi Paus
Benediktus XVI, pimpinan umat Katolik se-dunia setaraf dengan kepala negara.
Dalam gugatan yang diajukan ke pengadilan Oregon pada
tahun 2002, penggugat menyatakan bahwa Vatikan harus bertanggung jawab karena
memindahkan pendeta yang mengidap pedofilia ke negara bagian AS itu, padahal
Vatikan sudah memiliki catatan bahwa pendeta yang bersangkutan pernah
tersandung tuduhan pelecehan anak di bawah umur di Irlandia dan Chicago.
Gugatan terhadap Vatikan juga diajukan warga negara AS
di Kentucky dan Wisconsin. Gugatan hukum itu menuding para uskup berkonspirasi
menutupi kasus-kasus pedofilia yang dilakukan sejumlah pendetanya.
Vatikan sejauh ini menolak bertanggung jawab atas
tuduhan-tuduhan tersebut, dengan alasan para uskup yang bertugas di wilayah AS
secara teknis tidak dipekerjakan oleh Vatikan
3)
Palang Merah Internasional
4)
Organisasi Internasional
Sejarah dan Perkembangan
Organisasi Internasional
Tata urutan subyek hukum
internasional disesuaikan dengan kewenangan yang dimilikinya. Pada tingkat
paling atas terdapat negara yang mempunyai wewenang internasional secara penuh
karena statusnya sebagai subyek asli hukum internasional semenjak abad ke-16.
Selanjutnya menyusul organisasi-organisasi antar pemerintah atau
organisasi-organisasi internasional yang mempunyai wewenang-wewenang khusus.
Organisasi internasional ditempatkan setelah negara dengan alasan bahwa
organisasi internasional hanya memiliki hak dan kewajiban menurut hukum
internasional dalam hal tertentu.
Pertumbuhan organisasi
internasional telah dimulai sejak abad pertengahan. Organisasi international
paling awal yang dapat teridentifikasi adalah Holly Alliance yang didirikan
oleh negara-negara Eropa, antara lain Austria; Prusia; dan Rusia, untuk
menghadapi kekuasaan Napoleon. Setelah Holly Alliance, kemudian bermunculan
organisasi internasional lain seperti :
1.
Geodetic Union pada tahun 1864;
2.
International Telegraph Union (1865) yang merupakan
pendahulu International Telecommunication Union;
3.
Universal Postal Union (1874);
4.
Berne Bureau for the Protection of Literary and
Artistic Works (1886); dan lainnya.
Yang tidak mungkin
dikesampingkan adalah munculnya League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa/LBB) pada
tahun 1919, yang kemudian diteruskan oleh United Nations (Perserikatan
Bangsa-Bangsa/PBB) pada tahun 1945. PBB kemudian menjadi organisasi
internasional yang paling besar dalam sejarah pertumbuhan kerjasama semua
bangsa di dunia di dalam berbagai sektor kehidupan internasional.
Meskipun telah muncul sejak
lama, belum ada kesepakatan mengenai definisi dari organisasi internasional.
Namun menurut Sumaryo Suryokusumo, organisasi internasional dapat didefinisikan
sebagai :
“himpunan negara-negara yang terikat
dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi anggaran dasar sebagai
instrumen pokok (constituent instrument) dan mempunyai personalitas yuridik.”
Sementara menurut D.W. Bowett, organisasi internasional didefinisikan sebagai :
“…they were permanent
association of governments, or administration (i.e. postal or railway
administration), based upon a treaty of a multilateral rather than a bilateral
type and with some definite criterion of purpose”.
Dalam pembentukan suatu
organisasi internasional, maka ada empat aspek yang menjadi faktor terpenting.
Keempat aspek tersebut adalah : aspek filosofis; aspek hukum; aspek
administratif; aspek struktural.
1. Aspek filosofis merupakan
aspek pembentukan organisasi internasional yang berkenaan dengan falsafah atau
tema-tema pokok suatu organisasi internasional, misalnya:
a)
Tema keagamaan,
seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI); Moslem
Brotherhood.
b)
Tema perdamaian,
seperti Association of South East Asian Nations (ASEAN);
PBB;
c)
Tema penentuan
nasib sendiri (the right of self-determination) seperti
Organization of African Unity
(OAU)
d)
Tema kerjasama
ekonomi, seperti Asian Pacific Economic Cooperation
(APEC); Organization of
Petroleum Exporting Countries (OPEC).
2. Aspek hukum adalah aspek
yang berkenaan dengan permasalahan-permasalahan konstitusional dan prosedural,
misalnya:
a)
Diperlukannya
constituent instrument, seperti covenant; charter; statute; dan l ainnya, yang memuat
prinsip-prinsip dan tujuan, struktur maupun cara
organisasi itu bekerja.
b)
Dapat bertindak
sebagai pembuat hukum, yang menciptakan prinsip-prinsip
hukum internasional dalam
berbagai instrumen hukum (treaty-making powers).
c)
Mempunyai
personalitas dan kemampuan hukum.
3. Aspek administratif adalah
aspek yang berkenaan dengan administrasi internasional, misalnya:
a)
Adanya
sekretariat tetap atau permanent headquarter yang pendiriannya dibuat
melalui headquarter agreement
dengan negara tuan rumah.
b)
Adanya pejabat
sipil internasional atau international civil servants.
c)
Mempunyai
anggaran atau budgeting yang diatur secara proporsional.
4. Aspek struktural
adalah aspek yang berkenaan dengan permasalahaan kelembagaan yang dimiliki oleh
organisasi internasional tersebut, misalnya sebuah organisasi internasional
harus memiliki:
a)
Principal organs;
b)
Subsidiary
organs;
c)
Commissions /
committee;
d)
Sub-commissions;
e)
Sub-committee;
Personalitas Yuridik
Organisasi Internasional
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, salah satu aspek pendirian organisasi internasional
adalah aspek hukum, dan personalitas hukum/yuridik termasuk dalam aspek
tersebut. Personalitas hukum yang dimiliki oleh organisasi internasional adalah
mutlak penting guna memungkinan organisasi internasional itu dapat berfungsi
dalam hubungan internasional, khusunya kapasitas dalam melaksanakan fungsi
hukum seperti membuat kontrak, membuat perjanjian dengan suatu negara atau
mengahukan tuntutan dengan negara lainnya. Personalitas yuridik yang dimiliki
oleh sebuah organisasi internasional tidak akan hilang meskipun tidak
dicantumkan dalam instrumen pokok pendirian organisasi internasional tersebut.
PBB sendiri tidak
mencantumkan secara khusus mengenai personalitas yuridik yang dimilikinya.
Piagam PBB hanya memuat mengenai personalitas yuridik yang dimiliki oleh PBB
dalam pasal 104, yaitu : “The Organization shall enjoy in the territory of each
of its Members such legal capacity as may be necessary for the exercise of its
functions and the fulfilment of its purposes.”
Personalitas
yuridik yang dimiliki oleh organisasi internasional dapat dibedakan menjadi dua
pengertian, yaitu personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum nasional,
dan personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum internasional.
1.
Personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum
nasional dapat dilihat khususnya apabila sebuah organisasi internasional akan
mendirikan sekretariat tetap ataupun markas besar organisasi tersebut melalui
headquarters agreement. Contohnya, headquarters agreement yang dibuat oleh PBB
dengan Amerika Serikat, Belanda, Swiss, dan Austria; ASEAN dengan Indonesia.
Pada umumnya headquarters agreement mengatur mengenai keistimewaan dan
kekebalan diplomatik yang dimiliki oleh pejabat sipil internasional, pembebasan
pajak, dan lainnya
2.
Personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum
internasional dapat diartikan bahwa organisasi internasional memiliki hak dan
kewajiban berdasarkan hukum internasional. Hak dan kewajiban ini antara lain
mempunyai wewenang untuk menuntut dan dituntut di depan pengadilan, memperoleh
dan memiliki benda-benda bergerak, mempunyai kekebalan (immunity), dan hak-hak
istimewa (privileges). Permasalahan mengenai personalitas yuridik yang dimiliki
oleh organisasi internasional, pertama kali mencuat pada kasus Reparation for
Injuries Suffered in the Service of the United Nations (Reparation for Injuries
Case). Dengan munculnya kasus ini, personalitas yuridik yang dimiliki oleh
organisasi internasional menjadi tidak diragukan lagi.
Studi Kasus Reparation for Injuries Case
Reparation for Injuries Case
merupakan kasus yang melahirkan penegasan terhadap personalitas yuridik
organisasi internasional. Kasus ini terjadi pada tahun 1948 dan kemudian
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) memberikan advisory
opinion pada tahun 1949. Dengan adanya kasus ini, organisasi internasional yang
ada di dunia mendapatkan penegasan mengenai status yuridiknya. Meskipun
sebenarnya status yuridik dari organisasi internasional telah ada, namun sampai
sebelum adanya kasus ini, masih belum ada kepastian hukum mengenai bisa atau
tidaknya sebuah organisasi internasional untuk bisa berperkara sebagaimana
layaknya subyek hukum internasional lainnya. ICJ telah membuat suatu terobosan
hukum dengan mengeluarkan advisory opinion berkenaan dengan kasus ini.
Ringkasan Kasus
Pada tahun 1948, tepatnya
tanggal 17 September, seorang mediator PBB bernama Count Folke Bernadotte dan
ajudannya Kolonel Serot, terbunuh dalam perjalanan dinas ke Yerusalem. Mereka
dibunuh oleh anggota dari kelompok Lehi, yang terkadang disebut dengan “Stern
Gang”. Kelompok ini merupakan organisasi radikal zionis yang telah melakukan
beberapa serangan terhadap warga Inggris dan Arab. Pembunuhan terhadap
Bernadotte ini, telah disepakati oleh ketiga pemimpin kelompok Lehi, yaitu :
Yitzhak Shamir, Natan Yelli-Mor, dan Yisrael Eldad, dan direncanakan oleh
kepala operasi Lehi di Yerusalem, Yehoshua Zetler.
Empat orang yang dipimpin oleh
Meshulam Makover, kemudian menyerang kendaraan yang ditumpangi oleh Bernadotte,
dan salah satu diantara mereka yaitu Yehoshua Cohen menembak Bernadotte.
Fakta Hukum
Dari kasus tersebut, terdapat
empat permasalahan hukum yang muncul :
1. Count Folke
Bernadotte adalah pejabat sipil internasional yang bekerja untuk PBB
2. Count Folke
Bernadotte adalah warga negara Swedia
3. Pembunuh
Bernadotte, Yehoshua Cohen, adalah warga negara Israel
4. Pembunuhan terhadap
Bernadotte terjadi di wilayah pengawasan Israel.
Permasalahan Hukum
Berkenaan dengan kasus di
atas, Sekjen PBB Trygve Lie mempersiapkan memorandum, dan disampaikan pada
Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Memorandum tersebut berisi 3
permasalahan pokok :
1.
Apakah suatu negara mempunyai tanggung jawab terhadap
PBB atas musibah
atau kematian dari salah
seorang pejabatnya?
2.
Kebijaksanaan secara umum mengenai kerusakan dan
usaha-usaha untuk
mendapatkan ganti rugi
3.
Cara-cara yang akan ditempuh untuk penyampaian dan
penyelesaian mengenai
tuntutan-tuntutan.
Setelah mendengarkan
memorandum dari Sekjen PBB, Majelis Umum kemudian meminta pendapat dari ICJ,
dengan mengajukan permasalahan hukum sebagai berikut :
1.
Apakah PBB
sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk dapat mengajukan gugatan
terhadap pemerintah de jure maupun de facto untuk mendapatkan ganti rugi atas
kerugian yang dialami oleh :
a.
PBB;
b.
Korban atau orang-orang
yang menerima dampak dari kejadian yang menimpa korban.
2.
Apabila
pertanyaan 1(b) dapat diterima, apakah tindakan yang harus dilakukan PBB untuk
mengembalikan hak Negara tempat korban menjadi warganya ?
Putusan
ICJ
Terhadap permasalahan hukum yang
diajukan oleh Majelis Umum, ICJ memberikan jawaban sebagai berikut :
1. Untuk pertanyaan
1(a), ICJ secara mutlak sepakat bahwa PBB dapat melakukan hal tersebut
2. Untuk pertanyaan
1(b), ICJ memberikan pendapat dengan 11 suara melawan 4 bahwa PBB dapat mengajukan
gugatan meskipun pemerintah yang diminta pertanggungjawabannya bukanlah anggota
PBB
Untuk
pertanyaan 2, ICJ memberikan pendapat dengan 10 suara melawan 5 bahwa apabila
PBB membawa gugatan karena kerugian yang dialami pejabatnya, tindakan tersebut
hanya dapat dilakukan apabila gugatannya didasarkan pada pelanggaran kewajiban
kepada PBB.
5)
Individu
Pertumbuhan
dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan
membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin
bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada
tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak
asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi
individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
Dalam
arti yang terbatas, orang perorangan sudah agak lama dianggap sebagai subjek
hukum internasional. Dalam perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919 yang
mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris serta Perancis, dengan
masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang
perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional, sehingga
dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya Negara yang bisa
menjadi pihak di hadapan suatu peradilan internasional. Ketentuan yang serupa
juga terdapat dalam perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai
Silesia Atas (upper Silesia).
Lebih
penting artinya bagi perkembangan pengertian individu sebagai subjek hukum
internasionaldari beberapa ketentuan diatas yang bertujuan melindungi hak
minoritas, ialah keputusan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of
International Justice) dalam perkara yang menyangkut pegawai kereta api Danzig
(Danzig Railway Official's Case).Karena sifat yang umum dari dictum Mahkamah,
keputusan tersebut memperkuat arah perkembangan pemberian hak kepada individu
dalam perjanjian internasional yang dimulai dalam perjanjian yang telah disebut
diatas.
Kedudukan
individu-individu dalam orde yuridik internasional telah menyebabkan terjadinya
perdebatan doctrinal yang cukup hangat. Prof. Georges Scelle menyatakan bahwa
masyarakat internasional pada akhirnya adalah masyarakat individu yang diatur
secara langsung oleh hukum internasional, yang bertentangan dengan anggapan
bahwa individu tidak mempunyai tempat dalam orde yuridik internasional.
Sehingga untuk mengetahui mana yang benar antara kedua pandangan ini tidaklah
mudah karena hukum internasional tidak mempunyai kejelasan mengenai hal
tersebut.
Secara prinsip, merupakan tugas Negara bahwa para individu yang tunduk pada yurisdiksinya mematuhi ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum internasional. Sebaliknya, sangat jarang bahwa individu-individu secara langsung mendapatkan manfaat yang diberikan norma-norma tertentu hukum internasional tanpa perantara Negara dari individu yang bersangkutan. Pengakuan secara terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional mengalami perkembangan yang nyata sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi regional, Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma tahun 1957 dan pada tingkat Universal dengan diterimanya The International Convenant on Civil and Political Right (ICPR) dan The International Convenant Economic Social and Culture Right (ICES) di tahun 1966 telah meningkatkan status individu yang bukan hanya sebagai objek tetapi juga dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional.
Secara prinsip, merupakan tugas Negara bahwa para individu yang tunduk pada yurisdiksinya mematuhi ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum internasional. Sebaliknya, sangat jarang bahwa individu-individu secara langsung mendapatkan manfaat yang diberikan norma-norma tertentu hukum internasional tanpa perantara Negara dari individu yang bersangkutan. Pengakuan secara terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional mengalami perkembangan yang nyata sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi regional, Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma tahun 1957 dan pada tingkat Universal dengan diterimanya The International Convenant on Civil and Political Right (ICPR) dan The International Convenant Economic Social and Culture Right (ICES) di tahun 1966 telah meningkatkan status individu yang bukan hanya sebagai objek tetapi juga dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional.
Ketika
adanya penuntutan penjahat-penjahat perang di hadapan MI yang diadakan khusus
untuk itu oleh negara-negara sekutu yang menang perang. Dalam proses peradilan
yang diadakan di Nurnberg dan Tokyo, para penjahat perang tersebut dituntut
sebagai
individu untuk perbuatan yang diklasifikasikan
sebagai:
(1) kejahatan
terhadap perdamaian;
(2)
kejahatanterhadap perikemanusiaan;
(3) pelanggaran
terhadap hukum perang; dan
(4) permufakatan jahat untuk mengadakan perang.
Dengan adanya peradilan Nurnberg dan Tokyo tersebut
maka seseorang dianggap langsung bertanggung jawab sebagai individu atas
kejahatan perang yang dilakukannya.
Contoh kasus Inividu
Statuta
Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan
yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu
kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war
crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).3 Selain
itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual
criminal responsibility.
Pengadilan
Militer Internasional, Nuremberg 1945
-
pengadilan atas pelaku kejahatan perang Nazi diselenggarakan oleh empat negara
sekutu utama Perang Dunia II (Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan
Prancis)
- 12
persidangan diselenggarakan di bawah yurisdiksi Control Council Law No.10
- Selain
persidangan-persidangan tersebut, juga diselenggarakan banyak persidangan ainnya yang dilakukan oleh pengadilan
militer di berbagai negara lainnya Howard S Levie, “War Crimes
Programs: Europe”, Chapter III in Howard S Levie, Terrorism in War: The Law
of War Crimes (Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications, 1993) p 135-139
(bagian statistik)
Kejahatan
yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan:
- kejahatan
terhadap perdamaian (crimes against peace)
- kejahatan
perang (war crimes)
- kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
pemberkasan
dakwaan di Pengadilan Nuremberg:
1. menyusun
rencana bersama atau melakukan konspirasi untuk menyelenggarakan kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
2. pelaku
kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan perang
sebagai bentuk tindak agresi yang juga merupakan perang yang dilarang
berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional.
3. pelaku
kejahatan perang dari tanggal 1 september 1939 sampai 8 Mei 1945 di Jerman serta seluruh wilayah negara dan teritori yang dikuasai
tentara Jerman sejak 1 September 1939, dan di Austria, Cekoslowakia, dan
Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.
4. pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum 8 Mei 1945 di Jerman serta seluruh
wilayah negara dan teritori yang dikuasai tentara Jerman sejak 1 September
1939, dan di Austria, Cekoslowakia, dan Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.
Berdasarkan
pasal 6(c) Statuta Pengadilan Nuremberg, kejahatan terhadap kemanusiaan
mempunyai beberapa elemen. Yaitu:
- dilakukannya salah satu atau lebih tindak kejahatan
spesifik sebagaimana tercantum dalam pasal (pembunuhan, dll sebelum dan selama
masa perang; atau persecution)
- terhadap populasi sipil DI MANAPUN (berarti termasuk
warga negara pelaku dan juga penduduk di wilayah yang dikuasai)
- sebagai bagian dari atau dilakukan sehubungan dengan
bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan (i.e. kejahatan
perang dan kejahatan terhadap perdamaian)
- tanpa memperdulikan apakah tindakan tersebut
merupakan kejahatan menurut hukum domestik negara dimana tindakan tersebut
dilakukan.
6)
Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa
Pemberontakan,
dalam pengertian umum, adalah penolakan terhadap otoritas.
Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil
disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan
otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada
perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan. Orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan
disebut sebagai "pemberontak".
Didalam hukum perang,
pemberontakan dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa
( belligerent ) dalam keadaan
tertentu. Belligerency pada awalnya
adalah insurgency, setelah berkembang
dapat diakui sebagai belligerency,
"Para pemberontak sebagai kelompok dapat
diberikan hak-hak sebagai pihak sedang berperang (belligerent) dalam perselisihannya
dengan pemerintah yang sah, meskipun tidak dalam artian organisasi seperti
negara." Keputusan House of Lord (1962).
Pengakuan beligerensi.
Pengakuan beligerensi.
Pengakuan ini mirip dengan pengakuan
sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan
sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah
demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang
bertarung. Konsekuensi dari pemberian
pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang
mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.
sebagai subjek hukum internasional harus mematuhi syarat sebagai
berikut :
a.
Pemberontak tersebut harus terorrganisir dengan rapi ;
b.
Sudah menaati hukum perang ;
c.
Memiliki wilayah yang telah dikuasai ;
d.
Memiliki kemampuan menjalankan hubungan internasional dengan negara lain.
Pengakuan Sebagai Pemberontak
Pengakuan ini diberikan kepada
sekelompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahnya sendiri di suatu negara.
Dengan memberikan pengakuan ini,
bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar
pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan.
Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena
memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan
politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah
penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar
pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak
menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.
Pihak yang bersengketa dalam suatu Negara dapat
menjadi subyek hukum internasional. Mereka dianggap mewakili pihak dalam
hubungan internasional. Contohnya adalah gerakan pembebasan seperti PLO
Permasalahan
Peperangan antara GAM dan TNI menunjukkan bahwa perang
ini telah menyebabkan kerugian harta benda dan nyawa, baik dari pihak TNI, GAM
maupun
pihak masyarakat sipil. Perang yang diawali tindakan diskriminatif baik secara ekonomi maupun politik oleh pemerintahan Orde Baru kepada masyarakat Aceh bukanlah fenomena baru dalam tatanan internasional. Padahal, dalam konvensi PBB
Pasal 1 ayat 1 secara tegas menolak praktik-praktik diskriminasi. Perang yang dalam klasifikasinya termasuk kategori perang internal.
pihak masyarakat sipil. Perang yang diawali tindakan diskriminatif baik secara ekonomi maupun politik oleh pemerintahan Orde Baru kepada masyarakat Aceh bukanlah fenomena baru dalam tatanan internasional. Padahal, dalam konvensi PBB
Pasal 1 ayat 1 secara tegas menolak praktik-praktik diskriminasi. Perang yang dalam klasifikasinya termasuk kategori perang internal.
Bagi pemerintah yang berkuasa yakni pemerintahan
Mega-Hamzah, tindakan GAM tersebut dianggap sebagai usaha memberontak terhadap
pemerintahan yang sah dan berdaulat. Pemerintah berpendapat bahwa GAM adalah gerakan
separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI dan mengganggu semangat
nasionalisme. Di Indonesia sendiri, gerakan pemberontakan semacam ini tidak
hanya muncul di Aceh, tetapi juga di Papua, Makassar, dan wilayah lainnya.
Gerakan ini marak ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang memberikan
sedikit angin segar bagi kebebasan
berpendapat.Namun, di antara semua itu, GAM adalah bentuk organisasi pemberontak yang terbesar di wilayah Indonesia.
berpendapat.Namun, di antara semua itu, GAM adalah bentuk organisasi pemberontak yang terbesar di wilayah Indonesia.
Pertama, GAM punya struktur pemerintahan sendiri yang
tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh. Dengan pemerintahan ini, GAM dapat
menyelenggarakan kegiatan administrasi dalam interaksi
sosial dan hal ini sudah dilaksanakan oleh GAM sehingga terdapat dua
administrasi di wilayah Aceh.
Kedua, GAM memiliki angkatan perang yang jumlahnya
memadai. Angkatan perang inilah yang kemudian menjalankan fungsi keamanan
internal di tingkatan mereka. Kedua faktor inilah yang akhirnya membentuk
parameter ketiga yakni otoritas de facto di wilayah Aceh.
Fakta Hukum
Dalam kerangka hukum internasional, organisasi GAM
dapat dikategorikan sebagai kelompok pemberontak (belligerent) yang diakui
sebagai subjek dari hukum internasional. Pengakuan GAM sebagai subjek hukum
internasional dilihat dari
beberapa prinsip penting.
beberapa prinsip penting.
Pertama, kegiatan-kegiatan GAM telah mencapai suatu
titik keberhasilan saat mereka dapat menduduki secara efektif dan membentuk
otoritas de facto di wilayah Aceh yang sebelumnya dikuasai penuh oleh
pemerintah Indonesia. Prinsip ini muncul karena ada pertimbangan negara lain
menyangkut kepentingan perlindungan warga negaranya dan perdagangan internasional. Dalam kondisi ini,
negara-negara luar dapat mengambil keputusan untuk mengakui secara de facto
kepada GAM terbatas pada wilayah Aceh. Pengakuan seperti ini pernah ditempuh
pemerintah Inggris terhadap pihak pemberontak dalam perang saudara di Spanyol
tahun 1937. Kedua, peperangan antara pihak GAM dan TNI telah mencapai dimensi
tertentu di mana negara luar harus melihatnya sebagai perang sesungguhnya antara
dua kekuatan. Konsekuensinya adalah pelaksanaan hukum perang bagi kedua belah
pihak. Pengakuan keadaan berperang ini tentu sangat berbeda dari pengakuan
pemerintah induk atau pemerintah pemberontak sebagai pemerintah yang sah.
Dalam pengakuan de facto kepada GAM, hanya pemerintah
RI yang diakui secara de jure yang dapat mengklaim atas harta benda yang berada
di seluruh wilayah RI termasuk Aceh. Selain itu, hanya pemerintah RI yang dapat
mewakili negara untuk tujuan suksesi negara dan wakil-wakil dari kelompok GAM
yang diakui de facto secara hukum tidak berhak atas imunitas-imunitas dan
privilegde-privilegde diplomatik penuh (Starke:1992).
Kesimpulan
Oleh karenanya, jelas bahwa perang antara GAM dan TNI
harus dilihat sebagai peperangan dua pihak yang harus memerhatikan hukum
perang. Sebenarnya penyelesaian konflik antara GAM dan TNI dapat ditempuh
dengan jalan diplomasi. Hal ini karena dalam perspektif hukum internasional,
GAM dapat diakui sebagai kaum belligerent (pemberontak) sehingga mampu menjadi
subjek dari hukum internasional. Meskipun pada proses historisnya jalan
diplomasi kerap tidak menemukan titik temu, sebagai langkah demokratis,
kegagalan tersebut harus saling diintrospeksi satu sama lain. Yang terpenting
lagi adalah bagaimana mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat sipil sebagai
komunitas mayoritas di Aceh dalam setiap meja perundingan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari penjelasan
diatas,maka dapat disimpulkan bahwa Hukum
Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara antara:
1. negara dengan negara
2. negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau
subyek hukum bukan negara satu sama lain.
Subjek hukum internasional
diartikan sebagai pemilik, pemegang, atau pendukung hak dan pemikul kewajiban
berdasarkan hukum internasional. Secara teoritis dapat dikemukakan ahwa subjek hukum internasional
sebenarnya hanyalah negara. Perjanjian internasional seperti misalnya
konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949 memberikan hak dan kewajiban
tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada
orang-perorangan (individu) melalui negaranya yang menjadi peserta konvensi
itu.
Adapun yang menjadi subjek hukum
internasional adalah :
1.
Negara
2.
Tahta Suci
Vatican
3.
Palang Merah
Internasional
4.
Organisasi
Internasional
5.
Individu
6.
Pemberontak Dan
Pihak Dalam Sengketa.
Referensinya dicantumkan biar mantap....
ReplyDeleteReferensinya dicantumkan biar mantap....
ReplyDelete