KATA PENGANTAR
Segala puji bagi
Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi. Dialah Yang Maha
Kekal, tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah berfirman dalam
Al-Qur'an:
"Sesungguhnya
Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada
Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)
Semoga shalawat dan
salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa cahaya, perintis kemanusiaan
dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw. Dengannyalah Allah SWT
menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan dengannyalah Allah mengeluarkan umat
manusia dari kegelapan kepada alam yang terang benderang.
Semoga shalawat dan
salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, para sahabatnya, dan siapa
pun yang mengikuti jejaknya.
Makalah saya buat
atas dasar tugas yang diberikan oleh dosen Hukum Islam, dan membahas tentang
keadilan dalam Hukum Waris Islam. Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini
dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa, dan umumnya bagi seluruh kaum
muslim yang memiliki keinginan untuk mengetahui dengan pasti mengenai faraid
(ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka).
Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk memenuhinya.
Penyusun
KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian atau meninggal dunia adalah suatu
peristiwa yang pasti akan dialami oleh setiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari
perjalanan kehidupan seorang manusia. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika orang tersebut
meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan ataupun tirkah,
dengan cara apa kita hendak menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa yang
akan kita terapkan
dalam penyelesaian harta warisan itu.
Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala
sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang
ditinggalkan seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas
tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau
dikenal juga dngan hukum faraid.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa
hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan
tersebut berdasarkan
pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.l
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan:
"Hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris ".
Dari
kedua definisi tersebut dapat diketahui bahwa hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur
tentang peralihan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang
yang masih hidup (yang berhak menerimanya), yang mencakup
1 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta;
PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3-4
apa
saja yang menjadi harta warisan, siapa-siapa saja yang berhak menerima, berapa
besar forsi atau
bagian masing-masing ahli waris, kapan dan bagaimana tata cara pengalihannya.
Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah
semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda
bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut
pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas
hutangnya ketika pewaris masih hidup.2
Allah
Swt. memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuanketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan
sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar
peraturan ini.3
Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman:
Artinya : Hukum-hukum tersebut adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang ta'at pada (hukum-hukum)
Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir
di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut
merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta
melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke
dalam api neraka,
sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan.
Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum
Allah menyangkut penentuan para ahli
waris, tahapan pembagian warisan serta forsi masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian
warisan sebagaimana yang ditentukan Allah, yang
disertai
ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuanNya, Allah
menjanjikan surga.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : Barangsiapa yang
tidak menerapkan hokum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat
warisan surga, (muttafak alaih)
2 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jiid III, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1993), hlm. 57.
3 Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 1989),
hlm. 5.
Dalam
tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak
tidak memperoleh bagian warisan, dengan alasan mereka tidak atau belum
dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya, 4 oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah
laki-laki yang berfisik kuat dan dapat
memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.5 Konsekwensinya perempuan, anak-anak dan orang tua
renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan
kerabatnya.
Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan
laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang yang tua renta, suami, isteri saudara
laki-laki dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing.
Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan Islam,
setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang dianggap menyifati hukum
kewarisan Islam, yaitu
bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan
akibat kematian.6
Makalah ini akan membahas tentang "Keadilan
Dalam Hukum Waris Islam", menyangkut forsi laki-laki dan perempuan dalam satu
tingkatan.
4 Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu,
tt.), hlm. 15.
5 Ahmad Rofik,
Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 6.
6 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau,
(Jakarta: PT. Gunung Agung,
1984), hlm. 24.
BAB II
KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
A.
Pengertian
Kata keadilan berasal dari
kata "'adala ",7 yang dalam Al-Quran terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun
dalam bentuk kalimat berita.8
Kata "'adala"
dalam Al-Qur'an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 kali dalam berbagai bentuknya, untuk menyebutkan suatu
keadaan yang lurus. Disebut lurus karena
secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar.9
Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk menegakkan
perdamaian di muka bumi dengan mengatur
masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi
syari'ah.10
Dalam bahasa Indonesia,
keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat
sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional dll.11
Dalam hubungannya dengan hak
yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa
keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan
perolehan dan kewajiban/keperluan.12
Dengan demikian keadilan dalam
hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris
(pemilik harta yang meninggal dunia) kepada para ahli waris yang bersifat
proporsional dan berimbang.
B.
Dasar Hukum Waris Islam
Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis, khususnya menyangkut forsi atau bagian
masing-masing ahli waris.
Dalam QS. An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman:
7 Ali Parman, Kewarisan
Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 73.
8 Amir
Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 23.
9 Ali Parman,
Op. Cit., hlm. 84.
10 Muhammad
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan
Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hlm. 77.
11 Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka Cet. III, 1990), hlm. 6-7.
12 Amir Syarifuddin, Loc. Cit.
Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang
pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya perempuan (lebih dari dua orang), maka
berilah mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang Ibu Bapa, bagai mereka masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, apabila yang
meninggakan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal tersebut tidak mempunyai anak, sedangkan ahli waris hanya ibu
dan bapak, maka bagian ibu adalah
sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. (Pembagian pembagian tersebut)
dilakukan setelah pelaksanaan wasiat yang
dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak)
mendatangkan manfaat kepadamu. (Ketentuan) ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta
yang ditinggalkan isteri isterimu, apabila mereka tidak mempunyai anak. Apabila mereka
mempunyai anak,
maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditinggalkan isteri-isterimu,
setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utangnya. Para isteri memperoleh
seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu meninggalkan anak maka isteri-isterimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan
wasiat dan dibayarkan utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan,
namun tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi
apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan
wasiat yang dibuat dan dibayarkan utang
yang dibuat, dengan tidak memberikan mudharat (bagi ahli waris). Allah menetapkan yang demikian tersebut sebagai syarai
'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu tentang Kalalah
(tidak meninggalkan ayah dan anak),
maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, yaitu:
Jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak
(tetapi) mempunyai (seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut seperdua dari harta yang
ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan). Jika ia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi
mereka dua pertiga dan harta yang ditinggalkannya. Dan Jika ahli warisnya terdiri dari seorang
saudara laki-laki
dan saudara perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki adalah dua bahagian dari saudara
perempuan. Alah menerangkan hukum ini kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan
ketentuan Allah secara umum ('Am) menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli
waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun
karena hubungan perkawinan (suami/isteri).
Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang
dilakukau sebelum menentukan harta peninggalan
pewaris baru dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).
Selain dari pada itu, dalam ayat di atas juga digariskan
bahwa forsi seorang laki-laki sama dengan forsi dua orang perempuan dalam satu
tingkatan, baik dalam tingkatan anak, saudara ataupun antara swami dengan isteri.
Diantara
hukum waris Islam yang bersumber dari Hadis Nabi Muhammad Saw., adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas ra.:
Artinya : Nabi Muhammad Saw. bersabda: "
Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang)
laki-laki yang lebih utama.
Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta
dari pewaris kepada ahli waris, setelah itu
jika terdapat sisa, maka forsi laki-laki lebih besar dari forsi perempuan.
13 M. Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu wa al Marjan, Juz II, (Kairo: dar
al-Ihya al-Kutub a1-’ Arabiyah, tt.,), hlm. 183.
C. Keadilan Dalam Hukum Waris
Islam
Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa
keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan
dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang
kewarisan.
Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan
menyangkut hukum Kewarisan
Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2
: 1 (baca 2 banding 1) antara forsi laki-laki dan perempuan.
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam
mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta
warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara
para ahli waris , 14
karena itu arti
keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara
ahli waris, tetapi
ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggungjawab diembankan
kepada mereka,
ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.
Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan
Amir Syarifuddin sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan
dan kegunaan", 15
atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab diantara ahli waris yang
sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan
menurut Islam.
Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku
antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara
bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan,16 yang kesemuanya itu mempunyai
hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.17
Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi
penanggung jawab nafkah untuk
keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung
jawab orang tua ataupun
14 Ahmad
Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI,
(Pontianak: Romeo Grafika, 2003), hlm. 25.
15 Juga
merupakan salah setu intisari kuliah perdana Capita Selekta Hukum Islam
Magister Ilmu Hukum Semester IV, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang
disampaikan Prof. DR. H. Abdullah Syah, MA tanggal 2 April 2005 di
Kampus UMSU-Medan.
16 Cholil Umam, Agama
Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya:
Ampel Suci, 1994), hlm. 101.
17 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah,
(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997), hlm. 207.
walinya ataupun saudara
laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi
tangguag jawab suaminya (laki-laki).
Syari'at Islam
tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun
kebutuhan anak-anaknya, meskipun is tergolong mampu/kaya, jika ia telah bersuami,18
sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian) keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan
syara' kepada suami (laki-laki setelah ia menikah).
Dalam QS.
At-Thalaq ayat 6 Allah berfirman:
Artinya: "Temp
atkanlah (isterimu) dimana kamu bertemp at tinggal berdasarkan kemampuanmu, dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka... ".
Dalam QS. Al-
Baqarah ayat 233 Allah berfirman:
Artinya: "...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma 'ruf... ".
Pasal 34 ayat
(1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
"Suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya ".19
Sedangkan kewajiban isteri pada
dasarnya adalah mengatur urusan intern rumah tangga dengan sebaik-baiknya.20 Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan sebagai ayah dan ibu pewaris.21
Dalam tingkatan anak, anak
laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan memberi mahar22 dan segala persyaratan
pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon isteri kepadanya. Setelah menikah,
maka beban menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akan diletakkan dipundaknya.
18 Ash-Shabuni, Op. Cit., hlm. 13.
19 Bunyi dan maksud yang sama juga
terdapat dalam Pasal 80 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan pada Pasal 80 ayat (4) KHI diuraikan tentang kewajiban suami memberi nafkah,
kiswah, maskan, biaya kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak dan biaya
kesehatan, sesuai dengan kemampuan suami
20 Lihat
Pasa134 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 83 ayat (2) KHI.
21 Sayuti
Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo,
1995), hlm.
119.
22 Pasal 30 KHI menyebutkan: "Calon mempelai pria
wajib membayar mahar kepada calon mempelai
wanita, yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak".
Sebaliknya anak perempuan, dengan forsi yang diperolehnya
tersebut akan mendapat penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah,
selanjutnya setelah
menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya , bahkan sebaliknya dia akan
menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan sebaliknya,
tapi jumlahnya tidak banyak.
Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara konkrit
adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta), sedangkan saudara perempuannya memperoleh
Rp.10.000.000; (sepuluh juta) berdasarkan ketentuan 2 : 1, maka ketika laki-laki tersebut akan
menikah, ia akan mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp.5.000.000,- (lima juta
rupiah), jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah
Rp.15.000.000; (lima belas juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan
Rp.10.000.000; (sepuluh juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan
Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) disebabkan mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah
dengannya. Dengan demikian maka kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh
bagian warisan tersebut sama-sama memperoleh Rp.151 1`.000.000,-
(lima belas juta rupiah).
Dengan demikian maka perempuan selain pemilik penuh dari
kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan,
juga akan mendapatkan
tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari
suaminya tersebut.
Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris
Islam bukan saja keadilan yang
bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan
tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian
warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal tersebut berbeda dengan
hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga
hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.23
23 Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2004), hlm. 124-125.
Jika dalam
satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh dari harta
peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab
kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke
tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian laki-laki tersebut
akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan tersebut)
akan tetap utuh tak berkurang, jika diinginkannya,24 karena pada hakikatnya
perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, Ia mendapat bagian
warisan dan memperoleh
nafkah, tidak sebaliknya.
Perbedaan yang
berdasarkan besar kecilnya beban dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagaimana
diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur
diskriminasi. Forsi perempuan yang ditentukan tersebut seimbang dengan
kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab
ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti
hal itu merupakan manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan
secara sosiologis dalam masyarakat Islam.25
Di Indonesia
pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan yang bersifat pasti
dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa
setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan
unsur-unsur :
a.
Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua
tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.
b.
Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan
kondisi sebagaimana
kaidah:
Artinya: Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan
perubahan masa, temp at dan keadaan26
Oleh karena itu yang abadi dan
universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan
kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua.
Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang
sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
24 Nashruddin Baidan, tafsir bi al-Ra yi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 65
25 Zainuddin
Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 203 dan 342.
26 Jalaluddin
Abdurrahman as-Suyuthi, AI Asybah wa an Nadhoir (Indonesia; Syirkah Nur Asia,
tt), hal. 72.
Meski demikian,
pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materil di lingkungan
Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser.27
Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan forsi 2
: 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli
hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut
bersifat Sarih/tafsil dan gath 'i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang
menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki
berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan
di atas.
Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu
dan bapak yang berhak mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak
sama-sama mewarisi dengan forsi yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan,
apabila pewaris meninggalkan
anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.28
Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan forsi 1
: 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6
bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak
dan kewajiban, yakni
beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan.
Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih
besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli
waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami
memperoleh Y2 (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan
ayah mendapat sisa (2 bagian).
27 Ibid., hlm. 121.
28 Mamud Yunus, Op. Cit., hlm.
92.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1.
Azas " Keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan
laki-laki dan perempuan
sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan forsi yang berbeda.
2.
Berdasarkan nash yang gath 'i,
maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hukum waris Islam adalah bagian
laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (forsi 2 : 1 antara laki-laki dan
perempuan).
3.
Perbedaan forsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan
atas perbedaan tugas
dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada
perempuan dalam konteks masyarakat Islam, sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan
:"Semakin besar dan berat beban yang dipikul seorang laki-laki, maka semakin besar pula
hak yang akan diperolehnya", disebabkan biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengemban
tanggung jawab dimaksud
lebih besar.
DAFTAR
BACAAN
Ahmad Rofik, Fiqh
Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998).
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam:
Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003).
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995).
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984).
Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah
Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994).
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka Cet. III, 1990).
H. Abdullah
Syah, Kuliah perdana Capita Selekta Hukum Islam Magister Ilmu Hukum Semester
IV, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang disampaikan tanggal 2 April 2005 di Kampus
UMSU-Medan.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum
Kewarisan Islam (Jakarta; PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995).
Jalaluddin
Abdurrahman as-Suyuthi, Al Asybah wa an-Nadhoir (Indonesia; Syirkah Nur Asia, tt.).
M. Fuad Abdul Baqi, AI-lu 'lu wa al Marjan, Juz II,
(Kairo: dar al-Ihya al-Kutub al= `Arabiyah, tt.,).
Mahmud Yunus, Hukum
Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989). Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997).
________________ Studi Islam, Jilid III, (Jakarta: PT. RajaGrafmdo, 1993).
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut
Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, tt.).
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia
Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991). Nashruddin
Baidan, tafsir bi al-Ra yi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafmdo, 1995). Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987).
No comments:
Post a Comment