Pada bulan Agustus lalu, masyarakat Depok di kejutkan dengan
penemuan mayat dalam plastik di sebuah selokan. Mayat tanpa identitas ini di
temukan dalam keadaan mengerikan, dari seluruh bukti yang ditemukan ternyata
korban telah di potong-potong menjadi 7 (tujuh) potong. Kasus serupa sebenarnya
juga telah terjadi beberapa bulan sebelumnya, kisah Ryan ‘si jagal manusia’
dari Jombang juga mengaku melakukan pembunuhan diikuti pemotongan terhadap
salah satu korban terakhirnya. Tidak kalah mengerikannya, sebuah kasus seorang
pembantu toko tega membunuh, memotong kepala dan tubuh majikannya lalu
merebusnya dengan air panas lalu dengan tenang menjalani aktivitasnya seolah
tidak terjadi apa-apa. Si pelaku seolah-olah menganggap tindakan pembunuhan
yang dilakukannya itu belumlah cukup sehingga harus diikuti dengan tindakan
mutilasi pada korbannya. Tindak Pidana Pembunuhan memang sudah lama di kenal
oleh Hukum Nasional kita melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bab XIX Buku
II KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
Kejahatan terhadap Nyawa. Jenis Pembunuhan yang di atur dalam Bab ini meliputi
Pembunuhan dengan Sengaja (Pasal 338), pembunuhan dengan rencana (Pasal 340),
Pembunuhan anak setelah lahir oleh Ibu (pasal 341-342), Mati Bagus (Pasal 344)
dan Pengguguran kandungan (pasal 346-349). Sama sekali tidak terdapat satu
pasal pun yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan yang diikuti
pemotongan tubuh korban. Keadaan ini tentu saja dapat menimbulkan masalah hukum
tentang kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu dapatlah
diambil beberapa isu hukum yaitu:
- Apakah tindakan pemotongan tubuh korban (mutilasi) dapat disebut sebagai kejahatan?
- ketentuan hukum pidana apakah yang dapat dikenakan pada tindak mutilasi?
Tindak Mutilasi sebagai kejahatan
Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana sebuah tindakan
haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam
ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang baik secara formiil atau
materiil. pembagian tindakan yang terlarang secara formiil atau materiil ini
sebenarnya mengikuti KUHP sebagai buku Induk dari semua ketentuan hukum pidana
Nasional yang belaku. KUHP membedakan tindak pidana dalam dua bentuk, kejahatan
(misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). sebuah tindakan
dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela
seperti yang di tentukan dalam undang-undang. sedangkan tindakan dapat
dikatakan sebagai pelanggaran karena pada sifat perbuatan itu yang menciderai
ketentuan hukum yang berguna untuk menjamin ketertiban umum (biasanya aturan
dari Penguasa). Black’s Law Dictionary (Bryan Garner:1999) memberikan definisi
mutilasi (mutilation) sebagai “the act of cutting off maliciously a
person’s body, esp. to impair or destroy the vistim’s capacity for
self-defense.”Apabila di kaji secara mendalam, tindak mutilasi ini terbatas
pada korban yang berwujud manusia alamiah baik perseorangan maupun kelompok dan
bukanlah binatang. tindakan ini bisa dilakukan oleh pelaku pada korban pada
waktu masih bernyawa atau pun pada mayat korban. tindakan pemotongan manusia
secara hidup-hidup (sadis) ataupun mayat jelas merupakan tindakan yang sangat
di cela oleh masyarakat dan dianggap sebagai tindakan yang sangat jahat. oleh
karena itu, menurut penulis tindak mutilasi sangatlah tepat jika di golongkan
ke dalam Kejahatan dan bukan pelanggaran. hal ini juga di dasarkan atas fungsi
hukum pidana sebagai hukum public yang melindungi dan menjamin rasa keadilan
dan kepastian hukum masyarakat luas.
Ketentuan Hukum Pidana untuk Mutilasi
setelah melakukan studi literatur dan produk hukum pidana
sampai saat ini penulis belum mendapatkan satu ketentuan hukum pidana yang
mengatur secara tegas dan jelas mengenai tindakan mutilasi. KUHP sebagai buku
induk dari semua ketentuan hukum pidana di luar KUHP selama undang-undang
tersebut tidak menentukan lain ( Moeljatno) ternyata juga tidak mengatur
tindakan ini. Lalu apakah pelaku akan bebas jika ternyata tidak terdapat
ketenuan hukum yang mengaturnya. jelas tidak. berikut ini beberapa ketentuan
hukum pidana yang mungkin diterapkan pada tindak mutilasi dan kelemahannya.
- Mutilasi pada korban yang masih hidup
- Mutilasi sebagai bentuk kejahatan penganiayaan
- penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
mutilasi berarti pemotongan anggota
tubuh korban, ini berarti termasuk dalam penganiyaan berat. Pasal 90 KUHP
menjelaskan ‘luka berat’ sebagai luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali/bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan pekerjaan
pencarian; kehilangan salah satu panca indera; cacat berat (verminking); sakit
lumpuh; terganggunya daya pikir selama min. 4 minggu;gugurnya kandungan seorang
perempuan
- Pasal 351 ayat (2) KUHP à tindakan mutilasi pada ketentuan ini jelas mengacu pada tindakan untuk membuat orang lain merasakan atau menderita sakit secara fisik. hanya saja tindakan penganiayaan ini dilakukan oleh pelaku secara langsung tanpa ada rencana yang berakibat ‘luka berat’.
sanksi pidana : penjara max 5 tahun
- pasal 353 ayat (1) KUHP à tindakan mutilasi ini dapat dikatakan sebagai rangkaian atau salah satu dari beberapa tindakan penganiayaan pada korban yang masih hidup. Berbeda dengan Pasal 351 KUHP, Pasal ini lebih menitik beratkan pada perencanaan pelaku untuk melakukan tindakan tersebut sehingga berakibat akhir luka berat pada korban.
sanksi pidana: penjara max. 7 tahun
- Pasal 354 (1) KUHP à secara khusus sebenarnya KUHP sudah memberikan ketentuan yang melarang tindakan yang mengakibatkan luka berat. kekhususan pasal ini tampak pada kesengajaan pelaku dalam melakukan mutilasi yang timbul dari niat agar korban menderita luka berat.
sanksi: pidana penjara max. 8 tahun
- pasal 355 ayat (1) KUHP à dari sejak awal pelaku telah melakukan mutilasi sebagai tindakan penganiayaan dia dan sudah direncanakan terlebih dahulu.
sanksi: pidana penjara max. 12 tahun
- pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi pidana karena pelaku adalah keluarga korban, pejabat, memberikan bahan berbahaya.
sanksi: pidana penjara +1/3 dari sanksi
pidana yang di ancamkan.
- penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban
- pasal 351 ayat (3) KUHP àsanksi pidana penjara: max 7 tahun
- pasal 353 ayat (3) KUHP à sanksi: pidana penjara: max 9 tahun
- pasal 354 ayat (2) KUHPà penganiayaan berat, sanksi: pidana penjara max. 10 tahun
- pasal 355 ayat (2) KUHP à penganiayaan berat dengan rencana, sanksi: pidana penjara max. 15 tahun
- pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi +1/3
- Mutilasi sebagai bentuk kejahatan terhadap nyawa
tindakan mutilasi di sini dapat
dipahami sebagai tindakan pelaku melakukan pemotongan tubuh korban untuk
mengakibatkan si korban mati. sangat berbeda dengan penganiayaan, dimana
matinya korban tidak di rencanakan atau di harapkan sebelumnya. pada golongan
ini, tindakan mutilasi ini jelas-jelas ditujukan untuk matinya korban.
misalnya, dengan menebas kepala korban dengan celurit, memotong tubuh korban
secara langsung dengan gergaji mesin, dll.
- pasal 338 KUHP à perbuatan mutilasi yang dilakukan serta merta dan berakibat matinya korban
sanksi: pidana penjara max. 15 tahun
- pasal 340 KUHP à perbuatan mutilasi sebelumnya telah direncanakan terlebih dahulu dan setelah dijalankan berakibat matinya korban
sanksi: pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
- Mutilasi pada mayat korban
perlu diketahui KUHP memandang mayat
bukan sebagai manusia alamiah yang hidup namun hanya sebagai benda yang sudah
tidak bernyawa lagi. mengenai hal ini dapat kita kaji pasal 180 KUHP tentang
perbuatan melawan hukum menggali dan mengambil jenazah, pelaku di ancam dengan
pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal 300 rupiah. hal ini
sangat berbeda jauh jika di bandingkan dengan pasal penculikan orang (pasal 328
misalnya) memberikan sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun. Jika di
bandingkan terhadap pasal pencurian barang pun sebenarnya juga sangat jauh
berbeda, pasal 362 KUHP sangat memandang serius tindakan pencurian barang dan
mengancam pelaku dengan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun penjara. oleh
karena itu dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa pengaturan tentang mayat atau
jenazah di dalam KUHP masih sebatas pada benda yang sudah tidak bernyawa lagi.
- pasal 406 KUHP à penghancuran atau perusakan barang yang menjadi kepunyaan orang lain. istilah ‘kepunyaan’ orang lain ini sangatlah berbeda dengan kepemilikan dari orang terhadap barang miliknya. pengertian ‘kepunyaan’ ini sangatlah luas tidak hanya semata-mata hak milik tetapi juga tanggung jawab yang telah diberikan dalam undang-undang. Jenazah tidak dapat dimiliki oleh jenazah itu sendiri, karena hak milik mensyaratkan subyeknya orang yang bernyawa. si ahli warislah yang menjadi penanggung jawab atas jenazah tersebut seperti tanggung jawab yang telah diberikan Undang-undang tentang hukum keluarga.
sanksi: penjara 2 tahun 8 bulan
- pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP à penghancuran benda-benda yang dapat dijadikan barang bukti tindak pidana
sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah
- pasal 222 KUHP à pencegahan atau menghalang-halangi pemeriksaan mayat
sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah
sampai saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana
yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas. namun tidak berarti
pelaku dapat dengan bebas melakukan perbuatannnya tanpa ada hukuman. tindak
mutilasi pada hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk
meniadakan identitas korban atau penyiksaan terhadapnya. oleh karena itu
sangatlah jelas dan benar jika tindak mutilasi ini dikelompokan sebagai tindak
pidana bentuk kejahatan. Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP
sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai
salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pembunuhan.
Hanya saja memang sangat diakui dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang
pelaku melakukan mutilasi bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi
seringkali terjadi sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan
dengan tujuan agar bukti (mayat) tidak diketahui identitasnya. Pada titik ini
seringkali aparat kepolisian hanya menganggap tindakan mutilasi sebagai
tindakan menghilangkan barang bukti dengan demikian rasa keadilan masyarakat
tidak terfasilitasi. Adalah tugas hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup
di masyarakat dalam rangka membuat Yurisprudensi yang menetapkan tindakan
mutilasi sebagai bentuk Kejahatan.
No comments:
Post a Comment