Di dalam mata kuliah Kapsel HAN ada penambahan materi
dan juga sebagai perkembangan mata kuliah HAN. Adanya pergeseran dari sistem
kodifikasi menjadi sistem kompilasi. Sistem kodifikasi dengan tiga ukuran dalam
masyarakat :
1. Larangan;
2. Perintah;
3. Kebolehan.
Contohnya dalam perjanjian harus memenuhi syarat –
syarat tersebut di atas.
Kodifikasi mendapatkan reaksi keras, karena apakah
hukum itu UU? Karena hukum bukan UU, UU hanya bagian dari hukum adanya
keputusan hogeraad 1919 UU itu belum tentu merupakan hukum, hukum harus
ditemukan dalam hukum konkrit karena hukum yang ditemukan dalam UU itu in
abstracto pada saat ada kasus di tempatkan UU yang abstrak ke kasus yang
konkrit.
Perkembangan HAN dimulai ada 2 (dua) sektor yang
pesat:
1. Pertanahan, UU
Agraria : ditempatkan sebagai perubahan terhadap kodifikasi. Khusus untuk
agraria sudah dilepaskan dari sistem kodifikasi.
Peraturan pelaksana:
-
PP
-
Beschiking
-
Sertifikat tanah
2. UU Perpajakan.
Permasalahan:
-
Daya ikat UU, kodifikasi hogeraad 1919, In absracto : mengatakan bahwa UU
itu bukan hukum. Hukum yang nyata adalah kaidah – kaidah yang nyata dan
berkembang di masyarakat.
-
UU Sistem Pendidikan Nasional ditempatkan dalam kondisi yang konkrit dengan
sekumpulan aturan perundang – undangan yang melengkapinya.
-
Abstracto to Concreto tapi memang konkrit, itulah kapita selekta yang berbicara
mengenai prinsip2 sektorisasi peraturan perundang – undangan.
contoh: Hukum Kepegawaian sudah menjadi mata kuliah.
Rekodifikasi : RUU KUHP 1970, KUHAP 1980, kodifikasi kepastian hukum kaitkan
dengan hogeraad 1919 hukum adat itu harus diserap oleh UU. UU nya harus diganti
prinsip2 kaitkan dengan UU. ex : asas retrokatif.
Tipikor : Ad Hoc modelnya UU No. 8 Tahun 1956
Peradilan Semu Pajak menonjol.
Para birokrat harus punya pemahaman yang prima setidak – tidaknya yang
berkaitan dengan pekerjaan karena ada penilaian masyarakat tentang palayanan
kalau pejabat tidak mengerti HAN, pelayanannya tidak prima.
Konvergensi itu omong kosong UU ITE, UU
Telekomunikasi, UU Penyiaran, ada prinsip kalau UU yang sebelumnya tidak boleh
dimatikan hanya karena ada UU baru. Perbedaan model bisnis tidak bisa dijadikan
UU Konvergensi.
Kuliah minggu ke-3
Kesulitan lahir dari karakteristik HAN:
1. Kondisi aturan
perundang – undangan tidak memberikan ukuran yang tepat. ukuran ketidak tepatan
itu sendiri, yang diterapkan…kaidah yang tepat …hukum pidana, hukum perdata :
pasal 1338, 1320 adalah kaidah tepat. Pidana : 338, 362. 20 Tahun jadi 10 tahun
itu adalah pertimbangan dari hakim seperti halnya perdata adanya putusan hakim.
Dalam Han: tugas atau kaidah memberikan kesempatan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bahwa norma atau kaidah dasar itu di gradasi oleh Undang – Undang yang
ada di bawahnya .
2. Sektor yang
menjadi beban dari pemerintah itu banyak : sektor pertanian, kehutanan,
pertambangan, yang makin lama makin melebar menjadi tugas pemerintah sehingga
kalau ingin melakukan penelitian dari kaca mata administrasi negara tidak semua
sektor dilakukan oleh HAN.
Kok tidak ada acuan yang tetap?
Kok banyak segi2 yang penting mana yang tidak
penting?mana yang perlu diatur mana yang tidak? Ex: kewajiban belajar dibatasi
oleh negara tidak tetap, untuk sekolah2 tertentu peraturan itu tidak berlaku
absolut menyimpang dari ketentuan umum.
3. HAN beda dengan
IAN
ada pandanganklasik bahwa kalau pelajari HAN
pendekatannya harus yuridis normatif. klasik : apakah ada tindakan2 yang
melawan hukum, sebatas yang dilakukan oleh pejabat yang berkaitan dengan UU
yang berkaitan dengan itu.
Bagaimana pelaksanaan dari UU itu? “pejabat ini
melakukan pelanggaran terhadap peraturan2 yang ada”. Terbatas pada kacamata
hukumnya saja. Pandangan klasik ini makin lama makin ditinggalkan karena makin kompleksnya
UU menyebabkan komplek perubahan. Lahir dari UU itu tidak disusun secara
sempurna karena masih ada peraturan pelaksanaan. Ex : KUHPerdata Penambahannya
sedikit UU yang menyangkut penyelenggraan negara ada peraturan pelaksanaannya.
Karena adanya orderinisasi yang lahir dalam pemerintahan eksekutif karena
presiden butuh menteri, menteri butuh pejabat sehingga banyak penambahan norma
– norma baru. Peraturan pelaksana dibuat oleh Birokrat itu sendiri karena
mereka akan mewujudkan UU itu pada saat mereka membuat, apakah mereka melihat
yuridis normatif?
Ex : Pejabat akan mempelajari sistem pendidikan.
Pemahaman klasik berubah, harus punya wawasan mengenai sektor yang diatur,
menempatkan asas – asas hukum. Persoalan HAN dan IAN dalam kenyataannya
kesulitan – kesulitan itu dikemas dalam dua istilah itu.
4. Pada saat
reformasi Prof. Sjachran Basah adanya pemahaman monodualistis. Hasil penelitian
yang melihat HAN tidak hanya dari penegakan hukum semata melainkan pilar2
kekuasaan negara. Kedaulatan negara dan hukum, dan kedulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat : ciri kebebasan
Kedaultan hukum : ciri aturan
Kedulatan negara : ciri pemaksaan
Tidak bisa menempatkan dalam kondisi yang ideal karena
masing – masing konteksnya terpisah.
Politikus : rakyat
Birokrat : negara
ahli hukum : hukum
Faktanya di serikat negara semua kedaulatan di semua
negara ada. negara itu mengatur maka memerlukan aturan hukum. terikat tidak
dengan kedaulatan hukum?
jawabanya tidak.
Kedaulatan rakyat bebas tidak?
tidak…ketiga kedaulatan harus dilihat hak – haknya. ex
: kedaulatan rakyat itu bebas memilih berdemo. Kedaulatan hukum, kecendrungan
hukum itu pemaksaan. Kedaulatan – kedaulatan itu hanya teori. Dominasi
kedaulatan negara.Pemaksaan itu boleh tapi harus berdasarkan aturan yang
berlaku. Kondisinya akan ideal kalau hukum bisa dilahirkan untuk menjamin
kesejahtraan masyarakat, membatasi perlikau senonoh dari para pejabat.
Prof. Sjachran terinspirasi dari lahirnya peradilan tata usaha negara
keseimbangan antar ketiga kedaulatan pemaksaan bisa di nilai. pemaksaan dari
hukum atau kehendak rakyat sendiri.
5. Perkembangan :
kondisi monodualistis yang ideal untuk mencapai
keseimbangan tidak mudah. menggambarkan suatu kondisi kedaulatan : Keinginan
dari masyarakat menjadi besar beban pemerintah menjadi besar pula. UU
harus aplikatif sehingga apakah hukum yang terhambat implementasinya berupa
pemaksaan2 masyarakat demo untuk dibuatnya suatu UU tapi ketika diberlakukan
bagaimana? Masyarakat sendiri menjadi tidak ingin dipaksa dan dianggap
merugikan. Bagaimana mengatasi hal ini?
a) ruang lingkup
dalam kontek penyelenggaraan negara
b) negara penjaga
malam hanya simbol – simbol saja teori itu, yang trendi itu negara kesejahtraan
sebelum tahun 60 Utrecht (Indonesia menganut negara kesejahtraan). Untuk
menagtur suatu hal tertentu. Penjaga malam : kalau ada masalah baru
turun.
Masyarakat tidak melihat satu persoalan dengan kacamata yang sama jadi
eksistensi UU itu akan terganggu, UU itu membatasi kecendrungan untuk
melanggar. Setiap UU itu bersifat sektoral, mengatur hal – hal tertentu. UU
tidak selalu dekat dengan masyarakat UU,hukum, dengan masyarakat. Pasal 5 UUD
dalam UUD tidak hanya ada kedualatan rakyat namun ada juga kedaulatan negara
dan hukum.
Ada kaidah perdata ada juga kaidah administrasi, UU perkawinan itu perdata
namun pada saat adanya pencatatan itu kaidah administrasi negara kalau ada
pidana itu umum. program DPR membuat 20 – 30 RUU walaupun pada kenyataanya DPR
itu tidak produktif membuat UU kalau bisa UU itu tetap agar kepastian hukumnya
lebih terjamin.
Minggu ke- 4
Dosen tidak hadir, ada tugas tentang birokrasi yang
ideal di Indonesia berdasarkan peraturan perundang – undangan.
Minggu ke – 5
Kuliah disampaikan oleh Dosen Aby Ma’ruf Radjab SH,
M.Kes
Beliau menjelaskan mengenai birokrasi yang ideal itu
ada tiga (coba cek dari siapa)
1. Khrismatik : bergantung pada pemimpin;
2. Tradisional : rentan jatuh;
3. Legal rasional : bisa berumur lebih panjang, bisa
melakukan birokrasi terus menerus. kalau ada penyimpangan maka memperbaiki diri
sendiri (self healing).
Birokrasi yang sakit, cirinya:
a) tidak efisien
dan efektif – cenderung mahal, koruptif
b) tidak melayani
Di antara ketiganya semuanya tidak beres. Pada
pergantian rezim – vacum of rule, power and law sehingga menimbulkan
ketidakpastian. Birokrasi dianggap yang ke 4 dari ke 3 lembaga kekuasaan yaitu
eksekutif, legislatif, yudikatif, (birokrasi) yang ketiga lembaga itu bisa
hancur karena birokrasi yang gagal.
Birokrasi itu harus efektif dan efisien dan melayani, masyarakat berubah
sedangkan birokrasinya tidak berubah ini lah merupakan titik awal birokrasi
hancur.
Minggu ke – 6
Teori Montesqieu yaitu adanya pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif. Di Indonesia dikenal dengan pembagian kekuasaan, namun
pemisahan dan pembagian kekuasaan tersebut tidak secara konsekuen dilaksanakan,
tidak ada negara yang menerapkan teori ini secara murni.
Ada teori panca praja, catur praja, dwi praja.
Menurut Inu Kencana Syafiie, pembagian kekuasan negara
meliputi:
1. Eka Praja,
apabila kekuasaan negara dipegang oleh satu badan.
2. Dwi Praja,
apabila kekuasaan negara dipegang oleh dua badan
3. Tri Praja,
apabila kekuasaan negara dipegang oleh tiga badan
4. Catur Praja,
apabila kekuasaan negara dipegang oleh empat badan
5. Panca Praja,
apabila kekuasaan negara dipegang oleh lima badan
Teori Dwi Praja
penyelenggaraan kekuasaan negara sering dibentuk
menjadi dua:
-
Policy making (pembentukan kebijakan)
-
Eksekusi Policy (pelaksanaan atau eksekusi kebijakan)
Kedua bentuk ini menempatkan bentuk implementasi dari
teori tadi sehingga kita dapat melihat pelaksanaan adalah merupakan bagian dari
policy making, dari kedua konteks policy making dan eksekusi policy ini sulit
dibedakan secara tegas adanya pemisahan kekuasaan dari Montesqieu.
Dalam pengertian pembentukan regulasi, sistem
penyelenggaraan kita apa yang dilakukan oleh setiap pejabat harus berlandaskan
hukum untuk itu regulasi sangat lah penting, bisa melahirkan pengawasan –
pengawasan terkait dengan penyelenggaraan negara. Eksekutif mempunyai kekuasaan
yang besar dalam penyelenggaraan negara ini konsepsi dwi praja yang kemudian
dihilangkan dalam MPR kewenangannya.
Presiden dan lembaga
perwakilan rakyat kalau melihat model ini partai politik sangat menentukan arah
perjalannan pemerintah itu sendiri. DPR menginginkan posisi yang kuat koalisi.
Kekuasaan itu harus bisa dipertahankan tanpa hambatan untuk melaksanakan kebijaksanaan
– kebijaksanaan yang diambil. penetapan arah kebijakan itu sendiri tidak tetap
atau tidak teguh.
Upaya – upaya yang dilakukan untuk memberikan keseimbangan poicy making, peran
masyarakat menjadi mines karena akan terbentuk kelembagaan, supra struktur,
partai politik, infra struktur, suara rakyat makin lama makin hilang. Partai
politik kalau menang mengeksekusi kebijakan kalau kalah mengkritisi kebijakan
agar pemilu selanjutnya menang.
Masyarakat menghimpun suaranya dalam lembaga untuk menghimpun latar belakang
upaya untuk menertibkan pemerintah itu sendiri yaitu melalui LSM. Kalau LSM
mengganggu eksekusi kebijakan, maka LSM itu menjadi koasi. Implementasi
kekuasaan di negara kita menjadi rumit. DPR ditempatkan dalam UUD dan UU,
sedangkan komisi tidak dapat ditempatkan dengan UU komisi tidak tetap beda
dengan lembaga. LSM lebih cair karena mereka bisa melakukan apapun yang mereka
kehendaki karena tidak terikat pada regulasi.
GBHN terpaksa dilepaskan, pendekatan sentralistik harus kita lepas menjadi
desentralisasi.
Kuliah minggu ke – 7
Anggaran negara sudah sangat terbatas 20% untuk pendidikan 30% untuk membayar
utang, dan 50% di bagi – bagi lagi.
Akibat Reformasi:
1. reformasi dapat
menjadikan birokrasi kita tidak stabil berkaitan dengan pelayanan maka selalu
dikaitkan dengan pelayanan maka selalu dikaitkan dengan birokrasi.
2. reformasi
berakibat pada tuntutan kesejahtraan, apabila birokrasinya buruk maka rakyat
akan menyalahkan dan menuntut untuk segera diperbaiki.
Badan Administrasi :
-
Teori Montesqieu
Presiden boleh membuat UU tapi tidak dalam posisi
dengan DPR.
Usulan MPR – pemerintah tidak boleh mengusulkan UU
harus oleh DPR. UU itu merupakan target DPR dalam masa kerjanya, mereka
mempunyai peran legislasi yaitu membuat UU. Menurut Pak Adrian E. Rompis
SH.,MH.,BBA DPR membuat UU seperti pabrik roti “diproduksi setiap hari”
persoalannya menyangkut kepastian kalau UU diganti pemikirannya atau pada
prinsipnya “dengan UU diganti akan lebih baik padahal belum tentu, alasan utama
kita adalah tidak mungkin melanggar asas – asas hukum dalam UU, ex :
retroaktif.
Niat untuk membuat UU lebih banyak persoalan yang politis sifatnya , kekuatan
politik selalu terkontaminasi untuk mendapatkan suara. Kalau ada perubahan UU
itu menyangkut kepentingan umum atau kepentingan partai – partai politik?
Menurut pak Adrian perubahan UU tidak selalu berkaitan dengan kepentingan umum
padahal UU itu sendiri dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Selain kita berhadapan dengan birokrasi yang menjadi gemuk tapi juga berhadapan
dengan peraturan – peraturan pekerjaan birokrasi. Kalau tidak ada
aturannya mereka tidak akan bekerja sesuai dengan sektornya. Pengaturan
terhadap sektor – sektor tersebut dilakukan untuk masyarakat, adanya relasi
antara sektor yang diatur dengan masyarakat persoalanya adalah sektor itu kecendrungannya
terkait dengan pengaturan makin lama makin banyak. Contoh sektor pertanian
regulasinya banyak sekali yang terkait dengan sektor pertanian.
Tumpang tindihnya UU – pemisahan sektor – sektor yang diatur. Ex : Sektor
ekonomi kecil dan menengah termasuk juga sektor pertanian. Satu sektor ada
beberapa aturan UU yang berbeda. UU kehutanan – mengatur objek kehutanan tapi
ada UU tentang Pemerintah Daerah di mana hutan merupakan milik pemerintah
daerah?(dikelola atau ,milik)
Jangan berpikir masalah akan selesai dengan adanya UU, hukum dan birokrasi
kemudian bagaimana selesainya?tidak ada yang bisa menjawabnya.
Hubungan birokrasi dan Pelayanan publik.
Tumpang tindih UU adalah suatu kondisi kalau mengandalkan UU persoalanya bisa
terselesaikan dengan manajemen pemerintahan. Istilah ego sektoral – manajemen
pemerintahan (baca lagi).
Perselisihan selesainya manjemen PSSI : Hak suara ada
liga – liga kalau menentukan suara dari hak pemprov adanya dualisme. Anggaran
negara terhadap PSSI itu harus ditiadakan. Ketentuan yang lokal itu ditutup
oleh ketentuan internasional – konflik negara tidak perlu ikut campur seperti
di Inggris. Pemerintah punya keterbatasan untuk bertindak karena adanya FIFA
dan Asean Game. Di negara Amerika Latin dibekukan, tapi mereka membangun
kembali organisasinya dan mendaftarkan kembali ke FIFA dan diterima, dibekukan
bukan berarti harga mati kalau dibekukan paling tidak bisa ikut SEA GAMES.
kalau di daftarkan ke FIFA pembukuannya dicabut.
Siklus bergejolak masyarakat 1966, kemudian adanya perubahan peralihan kepada
masyarakat kemudian ada gerakan 1978. Titik jenuh dari masyarakat ada upaya
reformasi namun tidak ada gaung yang besar karena banyak masyarakatnya yang
apatis. Bandingkan dengan negara Mesir dan Libya pemerintahannya mengalami
ujian dari masyarakat sekitar 30 tahunnan, di mana tumbuh dan besarnya generasi
baru 40 – 50 tahun generasi lama dengan usia 60 – 70 tahun. Di Libya hal ini
terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap Kadafi. Di Indonesia adanya
ketidakpuasan terhadap hukum. Pergantian UU lebih ke pemberdayaan UU, ide atau
cita anggota DPR. Penggantian UU :
-
merubah ketentuan – ketentuan yang ada
-
mematikan ketentuan – ketentuan yang ada
Ada yang merubah secara total, ada yang sebagian kalau
50 persen dirubah maka UU itu akan dicabut. Ada peraturan yang sedang berjalan,
ada asas adanya UU yang menggantikan UU yang sebelumnya tidak boleh merugikan
hak orang karena adanya UU yang sebelumnya telah berlaku.
Kalau tidak ada UU DPR tidak akan bekerja, maka sudah menjadi pekerjaan rutin
bagi DPR untuk membuat undang – undang. Dari ketiga lembaga kekusaan yaitu
lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif tidak ada yang perlu di reformasi
nanti juga pensiun sendiri kalau mau percepat saja aturan pensiunnya. di
Indonesia ada yang sudah golongan 4 E namun waktu pensiunnya masih lama.
Kuliah tanggal 19 April 2011
Ada tugas khusus di kelas
“Hukum sebagai sarana pembaharuan dalam
penyelenggaraan negara”
Teori hukum sebagai pembaharuan upaya pembangunan yang akan dilakukan oleh
pemerintah sebagai jawaban atau kondisi ekonomi yang terpuruk dan politik yang
tidak jelas. Kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah adalah
pembangunan. Dengan adanya pembangunan maka diharapkan ekonomi dapat berjalan
baik.
Ide adalah pemikiran – pemikiran secara ekonomi harus diwujudkan dalam
peraturan perundang – undangan, hukum harus mendapatkan tempat yang layak dalam
pembangunan. Kebijaksanaan negara akan bertumpu pada GBHN, berisi peranan dari
hukum, dicantumkan dalam GBHN, hukum sebagai sarana pembaharuan punya kaitan
erat dengan kebijaksanaan pemerintah berkaitan dengan UUD’45 karena UUD
dijadikan sumber hukum itu sendiri menjadi landasan atau patokan hukum positif.
Hukum sebagai sarana pembaharuan, formalnya : upaya pemenuhan dalam
kebijaksanaan negara. Materilnya : apa yang menjadi cita rakyat itu sendiri.
Berbangsa : Komunitas besar RI
Bernegara : Bagian negara itu
Dalam konteks bernegara mereka akan menjadi bagian kebijaksanaan sebagai objek
kebijaksanaan negara. Berbangsa : sebagai satu kesatuan pada hakekatnya dalam
tujuan yang sama yaitu keadilan dan kemakmuran itu sendiri, atau bagaimana
meningkatkan masyarakat dari suasana tradisional menjadi modern. Persoalannya
yang muncul : istilah modernisasi (seringkali diistilahkan dengan mode pakean
yang lebih maju).
Para sosiolog mengatakan modernisasi itu berkaitan dengan pemikiran.Istilah
Prayudi dalam buku HAN : Modern itu adalah perubahan prilaku masyarakat yang
menempatkan prilaku mereka pada sikap, dalam berbagai hal mereka dapat
menghitung baik buruknya, untung ruginya sikap yang mereka ambil sehingga sikap
mereka mandiri dan tidak terpengaruh pemikiran – pemikiran yang tidak logis.
realiasasinya : demo, menunjukan sikap modern atau tidak?
Seringkali diaktualisasikan ketidakpuasaan dengan cara
berdemo dan hal itu dianggap modern dan sikap diam dianggap sikap tradisional
atau mungkin dapat berarti sebaliknya.
Apakah kebijakan atau kebijaksanaan negara itu berjalan baik dilihat ukuran
masyarakatnya, yang tidak pernah diukur adalah sikap yang tidak terlihat dalam
masyarakatnya. Teori Prof. Mochtar : masyarakat tradisional ke masyarakat
modern.
Yang harus dilihat itu dari masyrarakatnya bukan dari peraturannya yang baik
tetapi masyarakatnya menerima atau tidak. UU ITE belum ada, PP – belum siap
“masih di awang – awang” .
Masih banyak masyarakat tradisional – apakah aturan itu sampai menyentuh
masyarakat tradsional. Apakah aturan itu sampai menyentuh masyarakat
tradisional.
Masyarakat dulu harus dirubah…masyarakat dapat menilai baik atau tidak setelah
berhadapan itu. DPR beda lagi…sarana atau alat itu (hukum harus lahir dari
masyarakat) hal ini berarti masyarakatnya harus modern artinya dapat menentukan
apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Apa bedanya hukum sebagai sarana dan hukum sebagai
alat pembaharuan masyarakat?
Istilah tersebut tidak ada bedanya namun dalam implementasinya
berbeda, kalau alat : cenderung sebagai pemaksa/pakasaan yaitu dengan hukumnya.
Sarana : menampung kepentingan masyarakat yang harus
dipelihara dan digunakan.
Tergantung dengan faktor apa yang menambahnya apakah
masyarakat – modern tergantung parameternya.
Modernisasi : pola – pola hubungan itu sendiri : ikatan – ikatan akan
menjadi longgar. SKB dua menteri di tolak oleh dua pihak :
1. Pihak pro
demokrasi : tidak hanya SKB tapi UU penistaan agama juga harus dihilangkan.
2. Pihak tidak pro
demokrasi : hanya SKBnya saja.
UU PMA (Penanaman Modal Asing), direvisi tahun – tahun kemarin, UU ini ada dua
persoalan :
-
tidak dekat dengan perubahan – perubahan itu terjadi;
-
UU tidak difasilitasi untuk berubah walaupun masyarakatnya membutuhkan.
Setelah krisis UU PMA itu mundur, Knp?
Padahal sangat dibutuhkan. Ada UU yang belum berjalan
baik yaitu UU ketenagakerjaan. UU itu harus bisa menampung kepentingan
masyarakat (sarana) atau alat (paksa) kalau lihat teori Prof. Mochtar jangan
hanya mengandalkan sarana tapi juga alat.
No comments:
Post a Comment