BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang :
Menurut Ter Haar, hukum waris adat
adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan
dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke
generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele
goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur
proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat
diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di
Indonesia, di antaranya adalah :
- Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
- Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
- Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
·
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum
waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam
penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas
ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan
kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan dan parimirma. Jika
dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang
termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
·
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat
juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas
keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap
berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa
(tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan
menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan
dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat
diselesaikan dengan baik dan tuntas.
Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis
besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem,
yaitu :
- Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
- Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
- Sistem Individual, Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.
Peradilan
adat adalah acara yang berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa,
mempertimbangkan, menyelesaikan suatu perkara, meliputi pemeriksaan perkara,
yang berhak memeriksa, saksi-saksi dan sumpah. Istilah peradilan (rechtspraak)
pada dasarnya berarti pembicaraan tentang hukum dan keadilan yang dilakukan
dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di muka
pengadilan dan atau di luar pengadilan. Dalam proses peradilan adat dapat
dilakukan oleh anggota masyarakat secara perorangan, keluarga, tetangga, kepala
kerabat/ adat, kepala desa atau oleh pengurus perkumpulan organisasi.
Penyelesaian konflik ini diupayakan secara damai untuk mengembalikan
keseimbangan masyarakat yang terganggu. Pemulihan keseimbangan yang terganggu
ini diutamakan dengan jalan kerukunan, keselarasan dan keharmonisan
antara para pihak yang bersengketa. Warisan adalah harta peninggalan yang
ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats,
dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa-
yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum
lain. Ahli waris adalah orang-orang yang
berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena
hubungan keluarga,
pernikahan, maupun karena
memerdekakan hamba sahaya (wala’).
Harta Warisan yang dalam istilah fara’id dinamakan tirkah
(peninggalan) adalah sesuau yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik
berupa uang atau materi lainyayang dibenarkan oleh syariat Islam
untuk diwariskan kepada ahli warisnya. Pewaris adalah orang yang meninggal
dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda
maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun
tanpa surat wasiat. Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar
untuk mendapat bagian harta peninggalan menurut Al-Qur’an yaitu:
a. Karena hubungan darah, ini di tentukan secara jelas dalam
QS. An-Nisa: 7, 11, 12, 33, dan 176.
b. Hubungan pernikahan.
c. Hubungan persaudaraan, karena agama yang di tentukan oleh
AL- Qur’an bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris (QS. Al-Ahzab:
6).
d. Hubungan kerabat karena sesame hijrah pada permulaan
pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (QS. Al-Anfal: 75).
Masalah-masalah
yang ada dalam warisan diantaranya yaitu:
a. Al-Gharawain atau Umariyatain
ada dua kemungkinan yaitu :
1. Jika
seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang
di tinggal): Suami, ibu dan Bapak.
2. Jika
seseorangyang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang
tinggal): Istri, ibu, dan bapak.[5]
b. Al-Musyarakah (disyariatkan) di
istilahkan juga dengan himariyah (keledai), Hajariyah (batu).
Persoalan Al-Musyarakah yaitu khusus untuk menyelesaikan persoalan
kewarisan antara saudara seibu (dalam hal saudara seibu laki-laki dan perempuan
sama saja) dengan saudara laki-laki seibu sebapak, untuk lebih jelasnya dapat
di kemukakan bahwa kasus Al-Musyarakah ini terjadi apabila ahli waris
hanya terdiri dari: Suami, ibu atau nenek, sdr seibu lebih dari 1 (>1), dan
sodara seibu sebapak.
BAB II
PERMASALAHAN
A.
Bagaimanakah hak waris anak
yang lahir dari perkawinan kontrak ?
B.
Bagaimanakah hak wwaris ddari
istri yang telah pindah agama, apakah masih berhak atas harta warisan atau
tidak ?
C.
Bagaimanakah hak waris anak
luar kawin suami dalam perkawinan semenda bebas pada masyarakat yang mengenal
system kekrabatan matrilineal (Minangkabau) ?
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Hak Waris dari anak yang lahir dari
perkawinan Kontrak :
Mahkamah Konstitusi menyatakan
seorang anak hasil pernikahan yang tidak dicatatkan pada pencatatan sipil punya
hak yang sama dengan yang dicatatkan. Misalnya, hak keperdataan dari ayahnya
dan hak untuk diakui secara perdata. Adapun yang dimakasudkan perkawinan tidak
tercatat di pencatatan sipil adalah kawin siri dan kawin kontrak yang sah
menurut agama. , meskipun masa kawin kontrak sudah habis, namun hubungan
perdata dengan ayahnya tetap ada. Menurut Ketua MK “Hubungan perdata dan
hak-hak keperdataan antara anak dengan ayah tidak ikut berakhir saat, Mahfud
berpendapat, sang anak tetap mendapat hak seperti memperoleh nafkah, mendapat
hak waris, dan nama ayah dicantumkan untuk pengurusan administrasi seperti
mendaftar sekolah. Meskipun demikian, setiap anak yang lahir dari kawin kontrak
harus membuktikan dulu di pengadilan bahwa pernah terjadi kawin kontrak dan ada
anak yang lahir dari kawin kontrak tersebut. “Harus dibuktikan dulu di
pengadilan bahwa pernah kawin kontrak. Itu kan ada saksinya dan alat bukti
lainnya. Jika kemudian ayah si anak tidak mengakui, nantinya bisa dilakukan tes
DNA. Keputusan yang diambil oleh Ketua MK yakni mengakui anak yang lahir
diluarn perkawinan banyak menimbulkan pro dan kontra dimayarakat salah satunya
adalah Ketua MK dikatakan pro terhadap perzinahan karena mengakui anak yang
lahir diluar pengadilan, Ketua MK menyatakan bahwa "Justru menghindari
perzinahan. Sekarang kan banyak laki-laki sembarang menggauli orang, gampang
punya istri simpanan, kawin kontrak bisa dengan mudah meninggalkan sementara
anak dibebankan ke ibunya itu tidak adil, Dengan dikeluarkanya peraturan baru
tersebut, sambung Mahfud maka diharapkan para pria akan takut melakukan praktek
perzinahan karena harus bertanggungjawab atas anak biologisnya. Mahfud
menjelaskan dalam putusan tersebut tidak membahas terkait akta si anak dan hak
waris, namun dengan keluarnya putusan tersebut maka secara otomatis hak waris
dan pembuatan akta anak akan terurus sebagaimana anak yang lahir dalam status
pernikahan sah. Seperti diketahui, Jumat lalu MK mengeluarkan putusan judicial
review atas pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa pasal 43 Ayat yang menyebutkan
anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya. Hal itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan hak asasi manusia.
Oleh karenanya, MK memutuskan bahwa anak diluar pernikahan diakui oleh hukum
terutama terkait hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan pihaknya tidak secara spesifik menyebut
sahnya perkawinan seseorang. Tapi mengatakan bahwa orang yang kawin sah secara
agama atau kawin siri harus dinyatakan mempunyai hubungan perdata dan hak-hak
keperdataan yang bisa dituntut seorang anak dari ayahnya yang tidak mau
mengakui. “Termasuk kawin kontrak atau kawin mut’ah yang dilakukan
secara sah tidak serta merta selesai. Pokoknya kalau ada anak, maka sang ayah
harus bertanggungjawab, Sedang yang dimaksud hak keperdataan, menurut Mahfud
MD, termasuk waris, nafkah, administrasi kalau anak sekolah yang harus disebut
ayahnya, maka harus disebutkan. “Itulah prinsip-prinsip baru dalam konstitusi
kita. Mahfud menegaskan, putusan MK pada uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat 1 sebetulnya hanya mengatur soal anak di
luar pernikahan. "Keputusan itu tidak bicara akta dan waris. Jika kemudian
ada akibat munculnya akta perkawinan dan hak waris, itu hanya mengikuti. d. Aul Aul menurut bahasa (etimologi)
berarti irtifa’ :mengangkat. Kata aul ini kadang-kadang cenderung
kepada perbuatan aniaya (curang). Secara istilah aul adalah
beertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan
warisan mereka. Atau bertambahnya jumlah bagian yang di tentukan dan
berkurangnya bagian masing-masing waris.[8]
Terjadinya masalah aul adalah apabila terjadi angka pembilang lebih besar
dari angka penyebut (misalnya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi
dengan penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjanagn
pendapatan, dan sekaligus menimbulkan persoalan, yaitu siapa yang lebih
ditutamakan dari pada ahli waris tersebut.[9]
e. Radd Kata Radd secara
bahasa (etimologi) berarti I’aadah: mengembalikan. Mengembalikan haknya
kepada yang berhak. Kata radd juga berarti sharf yaitu
memulangkan kembali. Radd menurut istialh (terminologi) adalah
mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawul furudh nasabiyah
kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada
orang lain yang berhak untuk menerimanya.[10]
Masalah radd terjadi apabila pembilangan lebih kecil dari pada penyebut
( 23/24), dan pada dasarnya adalah merupakan kebalikan dari masalah aul.
Namun demikian penyelesaian masalahnya tentu berbeda denga masalah aul, karena
aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada rad ada kelebihan
setelah diadakan pembagian.
B. Hak Waris istri yang
pindah agama :
Istri yang pindah agama tidak akan
mendapatkan hak untuk mewaris sebagaimana ketentuan bahwa ia berhak untuk
mewaris. Karena dengan pindahnya agama seseorang secara otomatis Hukum yang
digunakan untk pewarisan tersebut akan berubah, dan pewarisan hanya dapat
dilakukan apabila sang pewaris dan sang ahli waris memmiliki agama yang sama,
tetapiapabila antara ahli waris dengan oewaris berbeda agamanya, begitu
pulaberbeda hukum agamanya yang mengaturnys dikarenakan aadanya perbedaan
agama, sang ahli waris dapat kehilangan Hak mewarisnya. Karena pewarisan
menggunakan Hukum yang diberlakukan untuk pewaris dan hampir disetiap agama
mengatur bahwa pewarisan tersebut hanya dapat dilakukan apabila antara ahli
waris dan pewaris memiliki agama yang sama.
C. Hak waris suami dalam
perkawinan semendo pada masyarakat Matrilineal (Minangkabau).
Suami
dalam perkawinan semendo pada masyarakat matrilineal atau dalam hal ini adalah
minangkabau tidak berhak mewaris karena disini suami atau ayah hanya dianggapsebagai tamu di rumah istrinya dan
datang hanya pada malam hari kemudian kembalike rumah ibunya pada pagi harinya.
Ayah atau suami tidak mempunyai tanggung jawabpenuh terhadap keluarganya tetapi
mamak mempunyai tanggung jawab terhadapkemenakannya. Sejalan dengan
perkembangan zaman dan masuknya ajaran Islam yangbanyak mempengaruhi
sendi-sendi adat di Minangkabau Bukittinggi maka bentuk perkawinan semendo
bertandang telah mengalami pergeseran kepada bentuk perkawinan semendo
menetap dan pada masa sekarang telah menjadi bentuk perkawinan bebas, di
mana ayah atau suami telah mempunyai tanggung jawab terhadapkeluarganya dan
telah berkumpul bersama istri dan anak-anaknya Masyarakat
Minangkabau menarik garis keturunan melalui sistem matrilinealmempunyai bentuk
perkawinan semendo. Sistem perkawinan itu bersifat eksogami berarti perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuanyang tidak satu clan.. Sampel yangdiambil dengan
purposive sampling. Analisa dilakukan secara dekriptif analisis,
yaitumemberikan gambaran dan mengungkapkan bagaimana sesungguhnya kedudukan
danperanan laki-laki dalam masyarakat Minangkabau Bukittinggi perantauan di
Jakartaserta pengaruhnya terhadap hukum waris.Adapun hasil dari penelitian ini untuk
mengetahui kedudukan dan perananlaki-laki dalam masyarakat Minangkabau
Bukittinggi. serrta pengaruhnya terhadap
hukum waris. Dan untuk mengetahui faktor-faktor yangmenyebabkan terjadinya
pergeseran kedudukan dan peranan laki-laki dalam masyarakat Minangkabau
Bukittinggi perantauan di Jakarta serta pengaruhnya terhadap hukumwaris. Selain
itu juga perihal kedudukan dan peranan mamak pun mulai bergeser.Akibat dari
pergeseran bentuk perkawinan tersebut membawa pengaruh pula terhadapkedudukan
dan peranan laki-laki dalam masyarakat Minangkabau Bukittinggiperantauan di
Jakarta.Kesimpulan dari hasil dari penelitian ini adalah dengan adanya
pergeserantersebut maka masyarakat hukum adat Minangkabau dikenal adanya 2
(dua) jenis harta yaitu harta pusaka
tinggi dan harta pusaka rendah. Khusus mengenai harta pencaharianyang didapat
oleh suami istri dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Sedangkanpengertian
pewarisan menurut adat Minangkabau adalah merupakan peralihan peranandalam
pengurusan dan pengelolaan harta pusaka milik bersama (ini berlaku pada
hartapusaka tinggi).. Jadi hukum adat Minangkabau adalah
kebiasaan-kebiasaan yang telahlama berlangsung dalam masyarakat yang menjadi
ketentuan-ketentuan dasarsebagai aturan (kaidah) ditentukan oleh nenek moyang
(leluhur) yang berada diMinangkabau dikatakan berasal dari Datuk Katemanggungan
dan Datuk PerpatihanNan Sebatang di balai Balairung Padang Panjang.Sebagaimana
dikatakan dalam petuah adat : Nagari berpenghulu, sukuberbuah perut, kampung bertua,
rumah bertungganai, diasak layu, dibubut mati,artinya
Negeri Minangkabau memiliki penghulu (pemimpin Nagari), Nagarimempunyai suku
berasal dari keturunan yang satu perut dan suku terdiri darikampung-kampung
yang dikepalai orang yang dituakan dan kampung terdiri darirumah-rumah yang
dikepalai oleh kepala rumah yang disebut tungganai.Apabila adat istiadat ini
akan dipindahkan akan layu dan apabila dibunuhakan mati. Dalam hal ini adat mengandung
kaidah-kaidah atau aturan yang berlakutradisional sejak zaman nenek moyang
sampai sekarang Di Minangkabau dikenal. Adat nan diadatkan adalah kaidah, peraturan, ajaran, Undang-undang
dan hukum yangditetapkan atas dasar bulat mufakat (kesepakatan) para penghulu
tua-tua cerdik pandai dalam majelis kerapatan adat atas dasar alur dan
patut. Ketentuan ini dapatberubah menurut keadaan tempat dan waktu, oleh karena
lain negeri lainpandangannya tentang alur dan patut maka sifat adat nan
diadatkan itu. lain padang,lain belalang, lain lubuk lain ikannya
Adat
nan teradat
adalah kebiasaan tingkah laku yang dipakai karenameniru
di antara anggota-anggota masyarakat karena perilaku kebiasaan yang
sudahterbiasa dipakai maka dirasakan tidak baik ditinggalkan misalnya
dikalangan orangMinangkabau sudah teradat, apabila ada tamu kaum kerabat yang
meninggal atau untuk
menyambut tamu agung mereka yang berdatangan dengan berpakaianberwarna hitam.
BAB IV
PENUTUP
A. Keimpulan :
1.
Anak yang lahir diluar
perkawinan atau dalam hal ini adalah kawin kontra berhak untuk mendapatkan
harta warisan hal ini berkaitan dengan hak anak yang salah satunya adalah
berhak untuk mendapatkan harta warisan, hal ini dikemukakan oleh Ketua MK
berdasarkan hasil Judicial Review pasak 47 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan
keperdatan dengan ibu dan keluarga ibu dengan adanya hasil judicial review ini
anak yang lahir diluar perkawinan akan mempunyai hubungan keperdataan pula
dengan ayahnya begitu pula hak untuk mewaris, Jadi anak yang lahir diluar
perkawinan atau dalam hal ini adalah adalah kawin kontrak berhak atas hak
warisnya.
2.
Istri yang pindah agama tidak
berhak atas perkawinan karena Karena dengan pindahnya agama seseorang secara
otomatis Hukum yang digunakan untk pewarisan tersebut akan berubah, dan
pewarisan hanya dapat dilakukan apabila sang pewaris dan sang ahli waris memmiliki
agama yang sama, tetapiapabila antara ahli waris dengan oewaris berbeda
agamanya, begitu pulaberbeda hukum agamanya yang mengaturnys dikarenakan
aadanya perbedaan agama, sang ahli waris dapat kehilangan Hak mewarisnya
3.
Suami dalam perkawinan semendo
dalam massyarakat matrilineal tidak berha mendapatkan harta warisan karena suami atau ayah hanya dianggap sebagai tamu
dirumah istrinya dan datangpada malam hari kemudian kembali kerumah ibunya
padam pagi harinya ayah atau suami tidak mempunyai tanggung jawab penuh
terhadap keluarganya tetapi mamak mempunyai tyanggung jawab atas kemenakannya
B. Saran :
1.
Tindakan atau pemikiran dari MK
untuk menjudicial review pasal 47 (1) UU Perkawimam dapat dikatakan terlambat
karena sudah banyak kasus yang terjadi mengenai persoalan hak waris anak dalam
perkwinan kontrak dan hail keputusannya sebelum ada judicial review ini adalah
anak tersebut tidak mendapatkan hak warisnya karena belum ada peraturan yang
mengatur bahwa anak luar perkawinan mempunyai hubunhgan keperdataan dengan
ayah.
2.
Peraturan yang mengatur hak
waris istri yang pindah agama harus diperluas lagi karena sampai saat ini belum
ada alasan yuridis yang menyatakan bahwa istri yang pindah agama tidak berhak
mewaris, dalam peraturan hanya dinyatakan bahwa alasan dari tidak
diperbolehkannya istri yang pindah agama mewaris adlah karena dengan pindahnya
agama seseorang peraturan hukum agama yang mengatur warisnya akan berubah pula
dengan demikian istri yang pindah agama tidak berhak atas warisannya.
3.
Peraturan masyarakat
matrilineal agak cukup berbeda dengan system pewarisan adat lain yang berada di
Indonesia, dan dalam masyarakat matlineal cendrung akan merugikan salah satu
pihak dan disini adalah pihak suami atau ayah karena dalam masyarakat
minangkabau ayah atau suami dianggap dianggap
sebagai tamu dirumah istrinya dan datangpada malam hari kemudian kembali
kerumah ibunya padam pagi harinya ayah atau suami tidak mempunyai tanggung
jawab penuh terhadap keluarganya tetapi mamak mempunyai tyanggung jawab atas
kemenakannya, sebaiknya dalam pengaturan masyarakat minangkabau mengenai waris
menjadi perhatian pemerintah karena bagaimanapun system ini dapat merugikan
salah satu pihak ahli waris
Mksih infonya, smg brnilai ibadah aamiin
ReplyDelete